Menangani Krisis Sampah Plastik dengan Kerja Keras dan Teknologi
LONDON, SATUHARAPAN.COM – Tidak ada satu sudut pun di muka Bumi di mana kita tidak akan menemukan sampah plastik — tidak peduli seberapa jauh.
Di lereng Himalaya, di pantai-pantai Pulau Henderson yang tidak berpenghuni di Pasifik selatan, bahkan Antartika juga tidak lepas dari plastik.
Dan, tidak ada tempat yang membuat lebih sakit kepala akibat plastik daripada lautan.
Sementara membuang sampah di darat cukup mudah, begitu plastik masuk ke laut dalam, akan susah sekali untuk diambil.
Plastik bahkan telah ditemukan di titik terdalam di Bumi, Palung Mariana, 11.000m di bawah permukaan.
Diperkirakan 8 juta metrik ton sampah plastik memasuki lautan dunia setiap tahun — dan diam di situ selamanya.
Lebih dari sekadar merusak pemandangan dan mengkhawatirkan, sampah ini bisa mematikan bagi satwa liar di seluruh dunia: kantong, tutup botol, poros pena, dan lainnya ditemukan secara rutin di perut burung laut, kura-kura, ikan, dan bahkan paus yang mati.
Pada bulan November 2018, seekor paus sperma terdampar dan mati di pantai Indonesia dengan botol, kantong, sandal jepit, dan bahkan 115 gelas di perutnya.
Karena plastik dirancang untuk tetap utuh selamanya, maka benda ini tidak akan hilang, bahkan ketika kita tidak bisa melihatnya.
Plastik terurai menjadi potongan-potongan yang lebih kecil dan lebih kecil, akhirnya menjadi “mikroplastik” yang dapat dicerna oleh plankton dan organisme kecil lain, yang kemudian dimakan oleh makhluk yang lebih besar dan mengirimkan partikel plastik kecil melalui rantai makanan ke atas dan ke atas — termasuk ke manusia.
Saat kita dihadapkan dengan tugas yang tampaknya mustahil: membersihkan kekacauan plastik kita, ada satu solusi yang tidak boleh diabaikan: pengambilan plastik dengan cara kuno.
Sejumlah penemu dan pengusaha menjawab tantangan ini dalam skala besar. Zoe Cormier menuliskan ulasannya tentang sampah plastik dalam BBC Earth, yang dimuat di BBC Indonesia, Minggu, 28 Juli 2019.
Membersihkan Plastik di Pelabuhan
Tempat pertama untuk memulai adalah pelabuhan dan teluk — terutama di daerah perkotaan, tempat sebagian besar polusi plastik laut dimulai.
Diperkirakan lebih dari 90 persen plastik di laut sampai di sana melalui 10 sungai utama dunia.
Di Jepang, pihak berwenang mulai bereksperimen dengan jaring besar di atas saluran pipa selokan, yang tampaknya telah cukup berhasil — tetapi masih ada pelabuhan-pelabuhan lain di dunia yang harus diurus.
Sebuah tim di Australia merancang Seabin, ember yang menggunakan pompa bertenaga surya untuk menyedot air dan sampah, dengan tutup yang dirancang untuk mencegah ikan dan binatang laut lainnya ikut masuk.
Ember ini dapat menampung dalam jumlah besar. Berdasarkan uji lapangan, setiap ember dapat mengumpulkan 1,5 ton sampah per tahun.
Setelah pengembangan bertahun-tahun, Seabin komersial pertama tersedia untuk dijual pada Mei 2018 — sekarang mereka telah menerima lebih dari 400 pesanan dari 93 negara di seluruh dunia.
“Kami berharap tak perlu melakukan ini lagi, tetapi masalahnya tidak akan hilang sampai kita menyelesaikan sumber masalah,” kata David Turton dari Proyek Seabin.
“Sementara itu kami hanya berusaha melakukan yang terbaik untuk menghentikan sampah masuk ke lautan terbuka.”
Seabin bukan satu-satunya cara untuk mengumpulkan sampah plastik di dekat pantai.
Turton adalah penggemar WasteShark, dron otonom yang dimodelkan pada hiu paus yang dapat melompat-lompat di sekitar pelabuhan kota menelan sampah.
“Tidak ada satu jawaban yang akan menyelesaikan masalah besar ini — pembersihan global akan membutuhkan banyak ide dan banyak penemuan,” kata Turton.
Mr Trash Wheel asal Baltimore, sebuah alat roda dayung bertenaga surya yang sangat besar, mengangkut sampah ke dalam mulut sebuah pengumpul sampah bermata lebar dan berbentuk kartun.
Nafsu makannya terhadap sampah sangat besar: dalam satu hari, Mr Trash Wheel mengumpulkan 17.000 kg sampah.
Dengan bantuan kampanye pemasaran (menggunakan mainan lembut yang terbuat dari sampah plastik daur ulang yang dikumpulkan oleh alat itu), Kota Baltimore di Amerika Serikat mampu mengumpulkan dana untuk membangun roda kedua, Profesor Trash Wheel.
Newport Beach di California, dan Honolulu di Hawaii sama-sama siap untuk membuat roda mereka sendiri.
Sayangnya, karena roda itu mengumpulkan setiap jenis limbah yang dapat dibayangkan, hampir tidak mungkin untuk memilah plastik — sehingga sampah harus dibakar dalam insinerator industri untuk menghasilkan energi.
Plastik di Pulau Sampah Pasifik
Sulit untuk mengetahui berapa banyak plastik di lautan terbuka, tetapi para ilmuwan memperkirakan kita sekarang membuang lebih dari lima triliun keping plastik ke laut.
Karena arus lautan global, kebanyakan plastik itu terakumulasi dalam lima pilin berputar besar dan yang terbesar adalah “Pulau Sampah Pasifik” yang terkenal di Pesisir Pasifik Utara.
Kantong plastik, bak cuci, bungkus bergelembung, mainan, pernak-pernik, jaring ikan yang besar, seluruh kolam mandi — apa saja, semua ada di sana.
Namun, sebagian besar potongan plastik telah tercabik-cabik dan hancur menjadi kumpulan besar pecahan-pecahan dan sampah yang tidak dapat diidentifikasi, yang melayang perlahan-lahan dalam lingkaran besar di atas 1,6 juta km2.
Meskipun kita sudah tahu tentang pulau sampah ini sejak tahun 1997, tidak ada yang berani mengusulkan atau mengejar solusi apa pun.
Beberapa ide - jaring, pukat — telah dilemparkan, tetapi skala permasalahannya telah terbukti menakutkan bagi siapa pun yang berani memikirkannya.
Pada bulan Desember, sebuah nirlaba dari Belanda bernama Ocean Cleanup – dipimpin oleh seorang penemu berusia 27 tahun – meluncurkan apa yang hanya dapat digambarkan sebagai salah satu proyek lingkungan paling ambisius dalam sejarah manusia.
Perangkat itu terdiri atas tabung mengambang sepanjang 600m, yang disebut “pelampung”, dengan diameter sekitar 1m, dengan “rok” 3m yang menjuntai ke laut.
Setelah diseret ke laut, tabung panjang – disusun dalam bentuk-U – dirancang untuk secara pasif mengumpulkan plastik ke pusat melalui kecepatan diferensial dari sampah plastik dibandingkan dengan pelampung yang jauh lebih berat.
Atau seperti yang dikatakan tim: “Buat sebuah garis pantai yang tadinya tidak ada.”
Perahu-perahu akan secara berkala mengumpulkan sampah dari dalam zona di dalam pelampung.
“Keuntungan utama adalah bahwa tidak ada bagian yang bergerak — di kapal bertenaga mesin, 99 persen pemeliharaan dikhususkan untuk ruang kontrol untuk memelihara mesin yang kompleks,” kata Boyen Slat, penemu sistem dan pendiri Ocean Cleanup.
“Kami tidak terbebani oleh semua itu — tujuannya adalah membuat sistem yang cukup fleksibel untuk mengikuti ombak.”
Otonom, netral energi (panel surya memberikan daya ke wifi yang memungkinkan sistem GPS), dan dapat ditimbang, sistem saat ini – dikenal sebagai System 001, dijuluki “Wilson” – adalah prototipe pertama yang digunakan untuk Pasifik, membangun pengujian dan prototipe yang dilakukan selama pengujian lima tahun di Laut Utara di Eropa dengan 67 desain yang berbeda, masing-masing membangun yang terakhir.
Akhirnya mereka berharap untuk menyebarkan 60 sistem, yang mereka yakini dapat menghilangkan 50 persen sampah di Pasifik setiap lima tahun.
Sayangnya, The Ocean Cleanup telah mengalami hambatan sejak diluncurkan: dalam empat minggu pertama setelah penempatan pada bulan November, System 001 tidak mengumpulkan puing-puing plastik ke dalam lubang bentuk U sebanyak yang diharapkan. Selain itu, sampah akan masuk, tetapi lalu keluar lagi.
Tetapi yang lebih buruk, sepotong peralatan pecah pada 29 Desember 2018.
Awak menemukan bahwa salah satu kepala derek, bersama dengan sepotong pipa pelampung 18m dengan dua kerangka stabilizer hanyut menjauh dari sisa System 001.
Pada Maret 2019, seluruh sistem sedang merapat di Hawaii untuk perbaikan dan modifikasi, dan tim berharap untuk membawanya kembali ke lingkaran sampah dalam beberapa bulan.
“Jelasnya, kami menyadari bahwa kemunduran seperti ini tidak dapat dihindari ketika memelopori teknologi baru dengan cepat. Karena ini adalah sistem beta, kami mengharapkan hal-hal seperti ini,” kata Rachel Richardson, Communications Strategy Officer.
“Pesawat tidak terbang pada upaya pertamanya, dan pesawat ulang-alik tidak berhasil pada upaya pertamanya. Teknologi ini dirancang untuk sebuah tempat yang sangat sulit — seperti perjalanan udara atau luar angkasa, dan lautan sangat besar dan sangat jauh.”
Adil untuk membandingkan mengumpulkan semua sampah plastik di laut dengan mendaratkan manusia di bulan — dan kemungkinan besar, itu akan menjadi jauh lebih sulit, mengingat ukuran dan skala masalahnya.
“Tidak ada alasan untuk tidak mencoba,” kata Boyen Slat. (bbc.com)
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...