Menanggapi Papirus Istri Yesus
SATUHARAPAN.COM - Akhir-akhir ini media di Indonesia ramai memberitakan papirus istri Yesus. Singkatnya, seorang professor sejarah dari Harvard, Karen King, mempublikasikan temuannya akan secarik papirus yang berisikan tulisan berbahasa Koptik (bahasa Mesir yang digunakan sejak abad ke-3 hingga akhir abad ke-17dengan alfabet Yunani) di Harvard Theological Review (HTR, April 2014, vol. 107, 02, h. 131-159). Walau papirus itu sangat kecil, berukuran sebesar sebuah kartu nama, namun papirus itu mengandung suatu tulisan: “Dan Yesus berbicara kepada mereka, istriku…” (lihat juga http://www.satuharapan.com/read-detail/read/asli-hasil-uji-papirus-kuno-yesus-menikah)
King meminta rekannya melakukan pengujian kimiawi terhadap papirus itu yang menunjukkan bahwa tinta yang digunakan adalah tinta karbon yang biasa digunakan di antara abad ke-6 hingga ke-9. Demikian juga pengujian terhadap papirus tersebut menunjukkan hal yang serupa. Bahasa yang digunakan paralel dengan yang digunakan oleh naskah-naskah berbahasa Koptik seperti Injil Thomas. Atas dasar itu, King dalam sebuah Kongres Koptik Internasional (Roma, 2012) menyampaikan bahwa papirus itu asli dan bukan hasil pemalsuan dari zaman modern. Namun King menegaskan bahwa itu tidak berarti bahwa secara historis Yesus memang menikah.
Penemuan King dibantah oleh seorang profesor yang menggeluti bidang naskah-naskah kuno, yaitu Prof. Leo Depuyt, ahli Egiptologi dari Universitas Brown di Amerika Serikat. Depuyt menegaskan bahwa pengujian tinta hanya menunjukkan jenis tinta yang digunakan yaitu tinta karbon, yang memang lazim dipakai pada zaman itu, tetapi itu tidak dapat menentukan usia tinta tersebut. Papirus pun akhir-akhir ini banyak ditemukan di tempat-tempat penggalian arkeologis sehingga pemalsu yang baik tentu akan menggunakan tinta karbon serta bahan papirus yang banyak ditemukan tersebut.
Selain itu, ada beberapa indikasi pemalsuan modern dalam tulisan koptik tersebut, di antaranya penggunaan huruf cetak tebal yang tidak digunakan oleh penutur asli pada jaman itu. Ini juga dipublikasikan oleh Depuyt di HTR pada edisi yang sama (April 2014, vol. 107, 02, h. 172-189). Konklusi Depuyt adalah bahwa papirus itu palsu.
Perbandingan dengan Kasus-kasus Lain
Dalam dunia akademik, termasuk Biblika, gagasan-gagasan dan penemuan-penemuan baru terus-menerus muncul. Dua contoh yang sudah pernah terjadi dapat diberikan sebagai perbandingan.
Pertama soal Injil Markus sebagai Injil tertua. Penelitian-penelitian ilmiah membuktikan bahwa injil kanonik tertua bukanlah Matius melainkan Markus, walaupun Bapa-bapa Gereja mengatakan bahwa Injil Matius ditulis terlebih dahulu. Agustinus misalnya mengatakan bahwa Markus hanyalah ringkasan dari Matius. Namun pembuktian yang dilakukan para ahli sangat meyakinkan sehingga sejak saat itu kebanyakan ahli Biblika menerima Injil Markus sebagai injil tertua, walau tetap saja ada satu atau dua ahli yang mempertahankan Injil Matius sebagai injil tertua (contoh: C.S. Mann, penulis Mark, 1986).
Kedua, Injil Thomas sebagai injil yang lebih tua dari Injil Markus. Pada tahun 1945-1946 sekelompok buruh tani di Mesir menemukan sebuah kendi berisikan gulungan tulisan tangan koptik berupa 13 naskah kuno termasuk Injil Thomas di Nag Hammadi. Ini adalah wilayah biara Kristen Pachomian yang didirikan oleh Pachomius seorang rahib Gereja Koptik di Mesir pada tahun 320, biara Kristen pertama di sana.
Injil Thomas memikat banyak ahli karena kemiripan isinya dengan keempat Injil. Kegairahan ini timbul karena adanya teori Injil Markus sebagai sumber penyusunan Injil Matius dan Lukas (Mark priority), dan teori sumber (teori Q) bahwa Matius dan Lukas memiliki kesejajaran yang tidak ada dalam Injil Markus, sehingga Matius dan Lukas mungkin memiliki sumber lain selain Markus. Kekurangan teori Q adalah bahwa ini adalah teori tanpa bukti.
Kemunculan Injil Thomas membangkitkan gairah bahwa mungkin pada awalnya memang ada Sumber – Q. Para ahli memikirkan kemungkinan Injil Thomas sebagai Sumber – Q tersebut. Kompilasipun dilakukan; teks-teks yang kurang jelas direkonstruksi sehingga diperoleh teks yang lengkap, diterjemahkan dan dikomentari. Ini berlangsung dalam kurun waktu kurang dari 20 tahun.
Setelah beberapa dasawarsa, para ahli mulai menemukan bukti-bukti tekstual bahwa Injil tersebut ditulis dalam kerangka berpikir gnostisisme selain bukti historis bahwa Injil ini ditemukan dalam koleksi perpustakaan kelompok Gnostisisme bernama Sethian. R. McL. Wilson membuktikan muatan gnostik yang kental dalam Injil ini yang sejalan dengan agama misteri esoteris yang eksklusif pada zaman itu. Hal ini terlihat sejak awal Injil tersebut: “Ini adalah perkataan-perkataan rahasia Yesus yang Hidup yang berbicara, dan Didimus Yudas Thomas menuliskannya dan berkata: siapa yang akan menemukan arti perkataan-perkataan ini, ia tidak akan mengecap kematian” (logion 1).
W. Schrage menegaskan Injil Thomas tidak independen, bahkan sangat bergantung kepada Injil-injil Sinoptik. Contohnya, Logion 65, yang oleh sebagian orang dinyatakan lebih tua daripada paralelnya di Mk. 12:6, justru dibuktikan sangat bergantung pada Lk. 20:9-19 versi Sahidik. Pembuktian ini didukung pula kemudian oleh Martin Hengel, W. G. Kummel, dan lainnya. Kesimpulannya Injil Thomas adalah upaya mendealegorisasi Injil-Injil Sinoptik dan ditujukan kepada komunitas Gnostik di Mesir. Sejak itu, diterima secara umum bahwa Injil Thomas jauh lebih muda dari Injil Markus.
Kemungkinan Perkembangan yang Ada
Berkaca dari dua contoh tersebut, ada beberapa hal yang perlu disampaikan menyangkut papirus istri Yesus. Pertama, sulit sekali untuk menyimpulkan apa pun dari secarik kecil papirus karena isinya yang sangat sedikit untuk dikaji. Dapat dikatakan itu tidak membuktikan apa pun. Karenanya perlu ditunggu penemuan manuskrip lain yang berkaitan dengan papirus istri Yesus, jika ada, sehingga dapat digunakan untuk mendukung atau menentangnya.
Kedua, perdebatan ilmiah terkait papirus tersebut belum selesai. Dukungan maupun tentangan masih bergulir yang mungkin akan berujung pada penerimaan (seperti kasus Injil Markus) ataupun penolakan (seperti kasus Injil Thomas) para ahli secara umum. Proses ini panjang dan cukup bergantung pada apakah ini menggairahkan para ahli atau tidak. Namun nampaknya, secarik kecil papirus tidak begitu menggairahkan.
Ketiga, bahasa yang digunakan adalah Koptik yang mulai digunakan mulai abad ke-3. Ini menunjukkan jatidiri papirus tersebut yaitu berasal dari periode waktu yang jauh lebih muda dari injil-injil kanonik serta berasal dari daerah Mesir. Jika pun disepakati papirus ini asli dan didukung oleh papirus-papirus lain, hal ini tidak menjadi fakta bahwa Yesus pernah menikah. Ini hanya menunjukkan pada jaman itu ada kelompok Kristen tertentu yang meyakini Yesus memiliki istri di wilayah Mesir. Secara historis ini bermanfaat untuk menambahi wawasan tentang kelompok Gnostik Kristen yang ada pada jaman itu.
Keempat, walaupun papirus tersebut asli namun secara ilmiah itu tidak dapat digunakan untuk menilai injil-injil kanonik, mengingat injil-injil kanonik berusia jauh lebih tua (Markus ditulis sekitar tahun 70 dan sebagian ahli memperkirakan lebih muda lagi. Prinsip dasar kajian naskah kuno adalah naskah yang lebih tua menilai naskah yang lebih muda, dan bukan sebaliknya.
Jadi tidaklah perlu bingung menghadapi temuan papirus itu.
Penulis adalah Mahasiswa PhD bidang studi Perjanjian Baru dan Teologi Biblika di Fakultas Teologi Universitas Goettingen, Jerman.
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...