ANALISIS
Penulis: Benny Susetyo Pr
05:00 WIB | Selasa, 26 April 2016
Mencari Menteri yang Bekerja
SATUHARAPAN.COM - Pergantian kabinet yang tak kunjung terjadi akan menimbulkan situasi ketidak-nyaman di kalangan menteri akan diganti. Mereka berharap cemas apakah posisinya akan berganti dengan orang lain atau mereka akan tetap menduduki posisinya karena lobi kekuatan politik.
Pertarungan antar partai begitu kuat ini membuat posisi orang nomer satu mengalami situasi disorientasi kognitif. Situasi ketidak-nyaman karena partai politik pendukung pemerintahan dan relawan serta kelompok group think di dalam Istana memiliki andil untuk mempertahankan seorang dan menyodorkan nama baru. Kondisi ini membuat pergantian kabinet penuh dengan dinamika politik selalu dipenenuhi intrik dan tarik-menarik kepentingan. Dalam kondisi seperti ini seorang pemimpin berani keluar dari zona ketidak-nyaman secara politik, psikologis, kultural dengan mengembalikan spirit awal perombakan kabinet.
Perombakan kabinet adalah hal yang biasa terjadi dalam dinamika demokrasi guna memperbaiki kinerja pemerintahan. Persoalan mendasarnya sekarang adalah bagaimana agar dalam perombakan kabinet ke depan tidak lagi mengedepankan politik do ut des. Selama ini, Parpol masih sering menempatkan orang-orang yang tidak memiliki prestasi karena tidak adanya kemampuan teknis, kurangnya pemahaman birokrasi dan bahkan tidak tahu apa yang harus dikerjakan.
Sementara dalam teori organisasi Max Weber ditekankan bahwa birokrasi akan berjalan dengan baik dan bisa terkoordinasi jika orang-orang yang ditempatkan memiliki kualitas di bidangnya, tahu fungsinya dan bisa berperan dalam penguatan network kerja. Jabatan menteri bukan semata-mata jabatan politik saja, karenanya seorang calon menteri harus memiliki keahlian, kemampuan birokrasi dan komunikasi supaya mereka bisa bekerja dengan baik.
Kriteria semacam itu sebenarnya juga diimpikan oleh presiden Jokowi, yakni untuk mendapatkan sosok menteri yang mampu bekerja keras serta tidak suka membuat kegaduhan. Visi pergantian kabinet adalah bekerja untuk mencapai terwujudnya Nawacita, dan karenanya maka dibutuhkan pribadi yang ungul dalam keahlianya dan memiliki jiwa merdeka, lepas dari kepentingan politik praktis dan bisnis yang kerap kali membuat para menteri tidak bisa fokus dalam bekerja.
Harus disadari bahwa ekspektasi masyarakat yang terlalu besar dan berat atas tim kerja saat ini lambat laun pun sudah mulai tergerus. Apa lagi yang bisa diharapkan jika masalah demi masalah terus bermunculan tanpa adanya penyelesaian yang jelas dan terencana? Masa depan yang kian redup lahir karena pemimpin tidak memiliki tim yang solid dan bersatu untuk membawa perubahan konkret.
Dalam kegamangan seperti itu, mereka lantas banyak dituduh lupa pada janji masa lalu dan kinerjanya pun terkesan semakin merosot. Mimpi rakyat atas adanya pemerintah yang solid dengan visi ke depan yang kuat dan ambisius untuk membawa masa depan yang cerah bagi bangsa ini kembali menjauh.
Kita merasakan adanya partai politik yang masih terlalu dominan mengatur, intervensi dan terlalu banyak menyerobot ruang-ruang politik yang sebenarnya bukan haknya. Alam pikiran partai politik negeri ini masih satu suara, bahwa kekuasaan itulah jalan satu-satunya untuk mendapatkan pemujaan dan penghormatan. Dalam logika itu, buat apa malu untuk menitipkan pesanan ini itu kalau pada akhirnya hal itu menguntungkan (kelompok mereka).
Akibatnya, roda pemerintahan sering berjalan tidak aktif. Bahkan timpang. Visi bersama yang semestinya menjadi prioritas tidak bisa terbangun dengan baik. Mereka memang sangat sibuk, tapi sibuk bekerja dengan agendanya sendiri-sendiri. Tak jarang saling bertabrakan. Kondisi seperti itu jelas menyulitkan gerak kabinet untuk mencapai tujuan bersama, yakni untuk membangun masa depan bangsa ini. Yang terjadi, kita malah disuguhi orientasi kebijakan yang semakin semrawut dan tidak jelas semangat reformasinya.
Politik Balas Budi
Wacana pergantian kabinet seharusnya lebih dilekatkan pada pertanyaan sejauh mana kualitas menjadi pertimbangan utama, dan bukan semata-mata sebagai kompromi politik. Sejauh ini pergantian menteri banyak terlihat sekadar sebagai bagian dari kompromi politik saja tanpa adanya sebuah evaluasi yang mendalam mengenai keberhasilan dan kegagalannya. Pergantian menteri yang didasarkan pada politik balas budi inilah yang sungguh mengecewakan harapan publik. Maksud ideal pergantian kabinet ialah untuk memperbaiki kinerja pemerintahan.
Namun, dalam pemerintahan kita nampaknya sudah biasa bahwa yang ideal itu bukan merupakan tujuan utama, melainkan tujuan sampingan. Sering terjadi perbaikan kinerja justru dinomor-duakan. Yang penting partai politik dapat menerima keputusan pemerintah karena proses “bagi-bagi kekuasaan” sudah dilaksanakan semaksimal mungkin. Sebagai kebiasaan, pola demikian ini telah terjadi sejak lama, dan semakin marak pada era reformasi ini. Entah apa yang ada di benak Parpol bila ada kadernya yang menduduki jabatan tertentu dalam kementerian. Yang jelas, jabatan di sana bagaikan dewa yang dipuja dan disembah.
Untuk apa reshuffle? Jawabannya tentu berpulang kepada dasar filosofi untuk apa suatu jabatan diganti. Kalau yang menonjol ialah pembagian kekuasaan, jawabannya mudah ditebak, yakni kegagalan sudah menunggu di ambang pintu.
Namun, bila pergantian itu memang dimaksudkan untuk memperbaiki kinerja, berarti kita masih memiliki sedikit sisa-sisa harapan untuk perubahan. Walaupun “pekerja keras”, bila dipilih berdasarkan pertimbangan yang pragmatis, akibatnya tidak jarang di antara mereka memiliki keahlian yang tidak seimbang. Ini bisa dilihat dari kemampuan mereka dalam mengorganisasikan jalannya roda pemerintahan. Lebih celaka lagi jika kebijakan-kebijakan yang dibuat ternyata tidak mengacu pada bagaimana membuat rakyat sejahtera, melainkan justru bagaimana menguras habis kekayaan badan-badan publik. Kalau para pejabat masih saja terus memikirkan urusan perutnya dan perut kelompoknya sendiri, tamatlah riwayat Republik ini. Tamat bukan karena kalah berperang, tetapi karena ulah pejabatnya.
Bencana alam yang datang bertubi-tubi ternyata tidak cukup kuat untuk menggugah bangkitnya kembali semangat berkebangsaan yang semakin pudar, juga tidak cukup kuat menggugah kepedulian pejabat untuk menegaskan visi kerakyatannya. Kehancuran publik sungguh sudah di depan mata ketika badan publik kita tidak bekerja untuk kepentingan publik, tapi untuk kepentingan pasar, dan ketika hasilnya tidak diperuntukkan bagi kepentingan publik, melainkan untuk kepentingan pemodal.
Masih bercokolnya masalah mentalitas dalam diri banyak pejabat, juga di lembaga-lembaga kenegaraan, birokrasi pemerintahan, maupun badan publik yang lain, menunjukkan bahwa reformasi yang didengung-dengungkan selama ini masihlah sebatas wacana. Profesionalitas, kejujuran, dan semangat menjunjung tinggi pengabdian bagi publik belum menjadi budaya kerja yang bisa dijadikan teladan.
Bagaimanapun, kunci persoalan ini memang ada pada pemimpinnya. Mari kita kembali berharap agar pemimpin saat ini benar-benar menjalankan keadilan untuk rakyatnya. Jika perombakan kabinet benar dilakukan, yang terpilih adalah sosok menteri yang mampu bekerja keras, memiliki kualitas di bidangnya, dan tahu fungsinya. Sosok yang lepas dari kepentingan politik praktis dan bisnis, tidak suka membuat kegaduhan dan satu visi dalam mewujudkan Nawacita.
Ini adalah momen yang baik untuk kembali berangkulan dengan pemikiran filsuf Agustinus yang dengan tegas berkata bahwa negara yang tidak dipimpin dengan semangat keadilan hanya akan menjadi tempat berkumpulnya para pencuri.
KABAR TERBARU
Daftar Pemenang The Best FIFA 2024
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Malam penganugerahan The Best FIFA Football Awards 2024 telah rampung dig...