Mendengarkan Generasi Remaja
SATUHARAPAN.COM - Global Teens Study merupakan survei yang dilakukan oleh Barna dengan didukung oleh Lembaga-lembaga seperti World Vision, Alpha International, Christian Vision melakukan survei dalam masa pandemic tahun 2020-2021 kepada anak remaja usia 12-17Th di 26 negara dengan total responden 25.000 remaja di 26 negara.
Indonesia termasuk salah satu negara yang disurvei, dengan jumlah 1000 remaja. Hasil untuk laporan Indonesia akan dilaunching di tanggal 22 November 2022 di Medan Sumatera Utara dengan panitia Wahana Visi Indonesia, Alpha Indonesia dan Christian Vision dalam kolaborasi denga aras seperti PGI, PGLII, PGPI, KWI, GGBI dan juga Parachurch selaku mitra-mitra gereja dan Lembaga Kristen dan Katholik. Bagian dari rangkaian pra launching dimulai dengan FGD tanggal 9 September 2022.
Kata kunci yang dipakai dalam survei ini adalah generasi yang terbuka dan “mendengarkan”. Mengapa mendengarkan? Karena mendengarkan merupakan gaya pelayanan Yesus yang sangat menonjol dalam pelayanannya. Hampir dalam seluruh pelayanannya Yesus mendengarkan orang-orang disekitarnya dengan belas kasihNya. Dia mendengarkan orang-orang yang dilayaniNya. Pendek kata mendengarkan semua orang, bahkan kaum yang tidak terdengarkan juga menjadi ciri khas pelayanan Yesus. Secara keseluruhan bisa disebutkan bahwa generasi usia 13-17 Tahun di seluruh negara yang disurvei menggambarkan ciri khas generasi yang terbuka dan inklusif, otentik dan sedang berubah. Sebagaimana kita tahu tahapan usia perkembangan remaja adalah pada tahap pembentukan identitas diri dan membangun karakter. Oleh karenya karakter generasi yang terbuka tersebut tidak terpisahkan dari tahapan usia perkembangan mereka. Dan jika dilihat dari konteks survei ini yang dilakukan pada masa pandemi, usia remaja merupakan kelompok usia yang paling optimis memandang hidup, khususnya dengan penggunaan teknologi informasi.
Spiritualitas Remaja
Yang menarik bahwa di Indonesia dalam survei ini tidak ada satupun remaja yang menyatakan afiliasi keyakinannya menyebutkan sebagai ateis, agnostik ataupun tanpa iman/no faith. Hal ini diduga disebabkan karena di Indonesia pengakuan pemerintah terhadap agama sangat kuat dan tinggi. Dalam Pancasila khususnya sila 1 (pertama) disebutkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang menegaskan pengakuan terhadap adanya dan kehadiran Tuhan YME dalam kehidupan yang integral dalam hidup berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Pluriformitas agama juga diberi ruang dimana keyakinan dan kesempatan menjalankan ibadah menurut keyakinan remaja dibuka ruang seluas-luasnya. Jumlah anak remaja Kristen adalah 17% dari total jumlah responden remaja Indonesia. Hasil ini juga menggambarkan bahwa agama dan keyakinan kepada Tuhan merupakan bagian integral dalam kehidupan keluarga, masyarakat dan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Spiritualitas remaja ini menjadi semacam kabar baik untuk mengasuh generasi ini dalam menjadikan landasan spiritualitas sebagai bagian dari kesatuan yang tidak terpisahkan dalam praktek kehidupan.
Secara emosi, remaja Indonesia mengatakan perasaannya merasakan aman. Sangat jarang mereka menyatakan perasaan kesepian, terisolasi atau dorongan tuntutan untuk menjadi pribadi yang sempurna. Meskipun sangat jarang juga remaja Indonesia menyatakan optimismenya terhadap masa depan, khususnya remaja Kristen pada umumnya merasa tidak aman meskipun teman-teman remajanya memberikan perhatian dan kepeduliaan kepada mereka. Hal ini jika ditelisik dari sejarah masa lalu mengenai konflik yang berbau agama yang pernah terjadi di Indonesia, menimbulkan sedikit kekwatiran bagi remaja mengenai relasi antar agama yang bisa saja memunculkan terjadinya gesekan, konflik, persekusi, diskriminasi di masa yang akan datang. Jika kita sandingkan dengan hasil penelitian PPIM UIN Jakarta tanggal 16 November 2020 yaitu perihal beragama di dunia maya yaitu media sosial dan pandangan keagamaan maka nampak bahwa terjadi dominasi narasi paham keagamaan konservatif di media sosial. Walaupun pemahaman keagamaan lain juga banyak mewarnai diskursus agama terutama di platform media sosial, namun dengung konservatisme menguasai perbincangan di ranah maya dengan persentase (67.2%), disusul dengan moderat (22.2%), liberal (6.1%) dan Islamis (4.5%). Sejak 2009-2019, penggunaan hashtag (tanda pagar, tagar) yang bersifat konservatif menjadi yang paling populer. Hashtag yang bersifat netral penggunaannya bahkan kerap dikaitkan dengan paham keagamaan konservatif. Dengan demikian relasi antar agama menjadi pekerjaan rumah yang perlu ditanamkan sejak remaja mengenai toleransi, inklusitas dan sebagainya.
Alkitab Sumber Pengajaran
Spiritualitas remaja dibangun salah satunya dari sumber Alkitab sebagai Firman Allah. Sebagai Firman Allah, Alkitab bermanfaat untuk mengajar, mendidik, menyatakan kesalahan, memperbaiki kelakukan dan memperlengkapi untuk pekerjaan baik bagi remaja. Remaja Indonesia juga lebih prefer menggunakan mode Alkitab digital daripada Alkitab yang cetak. Akan tetapi justru yang menjadi tantangan adalah cara menggunakan dan memahami Alkitab, karena tidak cukup dipahami secara literal akan tetapi juga perlu membutuhkan penjabaran dan penafsiran yang kontekstual dan bertanggung jawal dalam menjawab kebutuhan tumbuh kembang remaja, khususnya tumbuh kembang kehidupan spiritualitasnya. Program-program seperti sekolah Alkitab remaja, Pendalaman Alkitab Remaja, Alkitab dengan terjemahan bahasa remaja sehari-hari, renungan harian yang membahas secara topical sesuai dengan tema-tema remaja akan membantu remaja bisa mencintai Alkitab dan antusias untuk memahaminya. Temuan yang menyatakan bahwa ketidaktertraikan remaja kepada Alkitab disebabkan karena ketidakpahaman mereka tentang Alkitab dan bagaimana menggunakannya dalam hidup mereka.
Remaja dan Lingkungannya
Remaja juga peduli terhadap isu-isu global yang berhubungan dengan kemiskinan yang ekstrim (43%), pengangguran (37%) dan juga percabulan ataupun isu kekerasan seksual (36%). Isu-isu ini menggambarkan keprihatinan mereka bahwa secara politik, ekonomi dan sosial budaya serta keamananan, para remaja menaruh kepeduliaan yang dalam terhadap isu-isu tersebut. Keprihatinan tersebut bisa menjadi pintu masuk yang efektif untuk melakukan kampanye-kampanye yang bersifat pencegahan di kalangan remaja melalui model peer support system yang efektif. Karena remaja secara mental telah dapat berfikir logis tentang berbagai gagasan yang abstrak. Dengan kata lain berfikir operasi formal lebih bersifat hipotesis dan abstrak, serta sistematis dan ilmiah dalam memecahkan masalah daripada berfikir kongkrit. Orientasi masa depan merupakan salah satu fenomena perkembangan kognitif yang terjadi pada masa remaja. Sebagai individu yang sedang mengalami proses peralihan dari masa kanak – kanak mencapai kedewasaan, remaja memiliki tugas – tugas perkembangan yang mengarah pada persiapannya memenuhi tuntutan dan harapan peran sebagai orang dewasa. Oleh karenanya isu-isu yang menjadi bagian remaja ini tidak cukup hanya menjadi bagian keprihatinan mereka yang menuju pada pesimisme terhadap keadaan dunia yang buruk, akan tetapi menjadi keprihatinan aksi yang melahirkan idealisme cita-cita yang akan diwujudkan dalam upaya mereka menemukan masa depan untuk memilih pekerjaan yang akan merekan pilih kedepan, ataupu studi yang akan digelutinya kelak pada jenjang yang lebih tinggi.
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...