Mendevaluasi Ijazah Kita
Apakah ijazah asli kita telah berperan dengan semestinya?
SATU HARAPAN.COM – Teman saya, seorang general manager perusahaan internasional, mengeluh. Anak buahnya, lulusan perguruan tinggi terkenal, ternyata tidak mampu mengerjakan tugas standar, yang seharusnya dapat dikerjakan oleh semua lulusan dari jurusannya. Anak ini perlu banyak bimbingan untuk melakukan pekerjaan sederhana.
Sementara teman saya yang dosen mengeluh juga. Ibu Dosen ini diperintahkan untuk meluluskan semua mahasiswa yang duduk di kelasnya, tanpa peduli bagaimana pun buruknya prestasi beberapa mahasiswa.
Teman dosen dari perguruan tinggi lain mengalami pula nasib yang hampir sama. Ia ditegur karena banyak mahasiswa tidak lulus dari kelasnya. Kepada Bapak Dosen ini pihak universitas menggugat: ”Kalau banyak mahasiswa yang tidak lulus, mungkin saja dosennya yang tidak mampu.”
Tidak perlu berpikir terlalu rumit untuk segera menyadari bahwa dosen yang ”murah hati” disukai, tidak saja oleh para mahasiswa, namun juga oleh lembaga yang mempekerjakan mereka. Karena itu, tepatlah sebuah nasihat yang diberikan seorang dosen senior: ”Mahasiswa adalah customer kita, sudah menjadi kewajiban kita untuk melayani mereka dengan sebaik-baiknya.”
Mmm… ini mengingatkan saya pada kalimat sakti yang menjadi pedoman Walmart, raksasa swalayan asal Amerika: Pertama, pelanggan tidak pernah salah. Kedua, jika pelanggan salah, baca kembali pedoman pertama. Dari sebuah toko kecil di Arkansas, swalayan ini telah merambah lebih dari 27 negara, dengan 11.000 toko dan 2.2 juta tenaga kerja, serta meraup laba hampir setengah trilliun USD pada tahun fiskal yang baru berlalu.
Bukanlah sesuatu yang salah jika sebuah lembaga mengejar perkembangan dan laba. Namun, tidak demikian dengan pendidikan. Ijazah mudah berarti ijazah murah, nilainya bisa jatuh di bawah titik nol.
Ketika masyarakat tidak lagi memercayai ijazah sebagai tolok ukur kemampuan seseorang, maka biaya sosial menjadi mahal. Pencari kerja perlu mengupayakan hal lain untuk membuktikan kemampuan diri. Sementara pengguna tenaga kerja mengerahkan biaya dan waktu lebih banyak untuk mengembangkan alat uji mereka sendiri, ketentuan-ketentuan kerja yang lebih rumit, dan pelatihan kerja.
Terlebih dari itu, ketika ijazah tidak lebih bernilai dari secarik kertas promosi, keruntuhan moral suatu bangsa sedang terjadi. Tidak ada lagi keadilan bagi orang yang belajar, tidak ada kejujuran yang ditegakkan dari kegiatan yang menempa masa muda seseorang, bahkan menghabiskan kurang lebih 30 persen dari masa hidupnya. Jika sudah demikian, apakah keadilan dan kejujuran akan pernah dijunjungnya pada bagian kehidupannya yang lain?
Ketika kita mengecam ijazah palsu yang beredar di masyarakat, mari mempertanyakan pula apakah ijazah asli kita telah berperan dengan semestinya?
Editor: ymindrasmoro
Email: inspirasi@satuharapan.com
KPK Geledah Kantor OJK Terkait Kasus CSR BI
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah kantor Otoritas J...