Meneguhkan (Lagi) Pancasila
SATUHARAPAN.COM - Sebenarnya agak mengherankan, bahwa istilah “empat pilar” tiba-tiba populer dan, seakan-akan, sudah diterima oleh semua pihak tanpa pertimbangan kritis. Dengan itu pula, seakan-akan sudah ada semacam konsensus, bahwa Bhineka Tunggal Ika, Pancasila, UUD 1946 dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) memang merupakan empat pilar yang menyangga kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sengaja saya mengulang kata “seakan-akan”, sebab setahu saya konsensus dan penerimaan semua pihak belum pernah ada. Istilah “empat pilar” tetap masih menjadi jargon atau semboyan politik, dan mungkin saja menjadi program—dengan dana melimpah ruah—dari MPR. Akan tetapi jelas istilah itu belum menjadi konsensus yang diterima semua pihak, apalagi sudah menjalani proses deliberasi kritis bersama. Padahal keempatnya merupakan sendi-sendi paling dasar di atas mana bangunan kehidupan berbangsa dan bernegara ini ditegakkan.
Di sini saya tidak mempertanyakan kandungan dari istilah tersebut, yang bagi saya merupakan raison d’être negara-bangsa Indonesia sebagaimana dicita-citakan para pendirinya. Juga saya tidak mempertanyakan urgensi kebutuhan untuk mengangkat kembali keempat sendi dasar tersebut, di tengah carut marut situasi sosial-politik kiwara, khususnya eksperimentasi “reformasi” pasca Mei 1998.
Apa yang jadi persoalan, menurut saya, lebih pada pemakaian istilah “empat pilar” itu sendiri yang problematis. Dan masalahnya bukan sekadar masalah semantik, tetapi jauh lebih fundamental: pada bagaimana kita menempatkan keempat sendi dasar itu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebab setiap istilah, pada dasarnya, mengandung penilaian terhadap apa yang dirujuk olehnya.
Tidak Setara
Masalahnya segera terlihat saat keempat isi istilah itu dijajarkan: Bhineka Tunggal Ika, Pancasila, UUD 1945, dan NKRI. Dengan segera tampak gamblang, posisi dan kedudukan keempat sendi dasar itu sesungguhnya tidak setara. Yang satu menjadi dasar dan mengimplikasikan yang lainnya, dan karena itu urutannya tidak dapat saling ditukar.
Maksud saya begini: Bhineka Tunggal Ika merujuk pada fakta kebhinekaan masyarakat yang membentuk bangsa dan negara ini, dan sekaligus cita-citanya untuk selalu menyatu. Kedua sisi ini mendapat pendasarannya di dalam kelima sila yang membentuk Pancasila. Sebab di dalam Pancasila, baik kebhinekaan maupun kesatuan dijaga lewat keseimbangan kritis yang dilandasi oleh nilai ketuhanan, kemanusiaan, musyawarah-mufakat, dan cita-cita guna mencapai keadilan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Nilai-nilai dan cita-cita luhur itu kemudian memperoleh wajah konkretnya dalam UUD 1945, yang sekaligus menjadi landasan keberadaan dan tolok ukur untuk menilai NKRI. Karena di dalam konstitusi itulah nilai-nilai Pancasila dijabarkan. Kita dapat menemukan dalam konstitusi bagaimana hubungan antara negara dengan warganya diatur, sistem dan tata pemerintahan seperti apa yang dicitakan, hak-hak dan jaminan konstitusional apa yang dimiliki warga, kewajiban apa yang harus dipenuhi negara, dstnya. Pasca Mei 1998, lewat serangkaian amandemen UUD 1945, cita-cita negara demokratis konstitusional modern yang dibayangkan para pendiri bangsa makin tegas bentuknya, lewat sistem trias politica dan penghormatan pada HAM.
Akhirnya, NKRI merupakan bentuk negara yang dipilih, sebagai wahana guna mencapai cita-cita luhur tersebut. Keberadaan NKRI karena itu selalu harus terbuka untuk dinilai secara kritis berdasarkan tolok ukur sejauhmana negara itu mampu memenuhi hak-hak konstitusional warganya yang dijamin oleh UUD 1945.
Uraian ringkas di atas memperlihatkan posisi keempat sendi dasar itu tidak setara. Ada semacam hierarki di antara keempatnya yang tidak boleh diabaikan. Mengabaikan hierarki itu hanya akan mengaburkan philosofische grondslag, untuk menyitir pidato Soekarno, di atas mana negara-bangsa ini didirikan.
Pancasila: Tolok Ukur
Memang harus diakui, di tangan rezim Orde Baru Pancasila sempat menjadi alat ideologis yang sangat berbahaya. Pada satu pihak, Pancasila seakan-akan mendapat posisi yang sangat tinggi dan diagung-agungkan lewat repetisi bebal pidato para pejabat, maupun berbagai aturan. Tetapi, pada pihak lain, dan bersamaan dengan itu, rezim Orde Baru sesungguhnya telah melakukan pembusukan nilai-nilai Pancasila. Tidak heran, ketika rezim itu tumbang, Pancasila pun ikut "dinajiskan."
Dewasa ini orang menjadi sadar, bahwa Pancasila tetap merupakan cara terbaik untuk menghormati perbedaan—apalagi jika perbedaan itu menyangkut keyakinan dasar seseorang atau suatu kelompok—tetapi sekaligus menjaga kesatuan (dan bukan meleburkannya). Begitu juga, Pancasila tetap mampu memberi kita horizon dan sudut pandang ke arah mana negara-bangsa ini seharusnya melangkah. Sebab dalam kelima silanya itu terangkum apa yang menjadi cita-cita dasar saat negara ini didirikan: mengupayakan keadilan sosial bagi warganya.
Karena itu Pancasila perlu diteguhkan lagi. Bukan sebagai ideologi yang hanya dihafal dan diulang-ulang dalam pidato, tetapi sebagai sumber nilai guna mengukur perjalanan negara-bangsa ini. Dan itu hanya mungkin jika Pancasila kembali jadi asas atau dasar, bukan salahsatu pilar saja!
Penulis adalah koordinator penelitian Biro Litkom-PGI, Jakarta
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...