Menelisik Keberadaan Abangan di Alam Indonesia
Ada banyak salah kaprah tentang “abangan”, terutama sejak pemerintah memaksakan definisi “agama” yang sempit. Namun, jika ditelisik, “abangan” sebenarnya mewakili tradisi religiositas asli orang Jawa.
SATUHARAPAN.COM - Kehidupan beragama di Indonesia hingga sekarang masih menyisakan banyak persoalan. Tarik menarik penghapusan kolom agama dalam KTP, pelayanan catatan sipil terhadap penghayat kepercayaan dan agama suku, masih belum bisa diputus oleh Negara. Nampak Negara dalam keadaan gamang.
Negara membiarkan masyarakat bingung, karena Negara mengikuti pemahaman tertentu bahwa suatu agama itu harus memiliki kitab, memiliki nabi, dan pengikutnya minimal sekian ratus ribu orang. Karena itu jumlah agama pun dibatasi hanya 6, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Kong Hu Cu. Yang terakhir itupun diakui setelah KH Abdurrahman Wahid menjadi presiden. Sebelumnya Kong Hu Cu dimaksukkan ke Buddha. Persoalan yang hingga kini masih belum putus adalah, bagaimana dengan agama-agama suku seperti Kaharingan di Kalimantan dan Sunda Wiwitan di daerah Pasundan?
Selama ini agama-agama suku dipaksa bergabung dengan agama yang diakui, seperti Kaharingan di Kalimantan Tengah dimasukkan ke agama Hindu, sementara Sunda Wiwitan dimasukkan ke Islam dan seterusnya. Akibatnya banyak orang yang beragama hanya dalam KTP. Praktik-praktik keagamaan tidak dilakukan. Orang-orang yang seperti itulah yang seringkali disebut sebagai Abangan. Di jaman pemerintahan Sukarno, istilah Abangan tidak hanya dikenakan pada orang Islam tetapi juga pada orang Kristen. Ada Kristen Abangan, yaitu orang-orang yang mengaku Kristen dalam KTP tetapi tidak pernah ke gereja.
Istilah Abangan menjadi populer ketika tahun 1960 terbit buku Clifford Geertz yang berjudul Religion of Java. Dalam buku itu ia menggambarkan struktur masyarakat ke dalam kelompok agama sesuai kadar komitmen atau perilaku keberagamaannya, yaitu Santri, yaitu kelompok masyarakat yang melaksanakan syariat agama Islam secara ketat dan teratur; Abangan, kelompok masyarakat yang mengaku beragama (Islam) tetapi tidak tidak menjalankan syariat (bahkan shalat pun tidak); dan Priyayi, yaitu kelompok masyarakat yang mengaku beragama Islam tetapi lebih menekuni kebatinan.
Banyak sosiolog yang mempersoalkan tesis Geertz tersebut. Pada umumnya mereka menyoroti sebutan priyayi sebagai bagian dari struktur agama. Untuk istilah Abangan yang diperhadapkan pada Santri, masih banyak yang dapat menerima. Bahkan untuk mempertajam dikotomi abangan dan santri, Geertz menggunakan istilah putihan untuk santri, sehingga kelompok yang secara tegas dibedakan secara dikotomis adalah abangan dan putihan!
Abangan, Agama Jawi
Hampir seratus tahun sebelum Geertz mempopulerkan istilah Abangan, istilah itu sudah digunakan oleh Pekabar Injil dari Eropa, SE Harthoorn. Dalam bukunya Het Inlandsche karakter en de Dederlandsche invloed yang terbit di Batavia tahun 1875 Harthoorn membedakan struktur agama menjadi dua golongan saja, yaitu bangsa putihan dan abangan. Hal serupa juga digunakan oleh C. Poensen dalam artikelnya “lets over Javaansche Naamgeving en Eigennamen” tahun 1870.
Putihan dan abangan adalah sebutan terhadap dua kelompok penganut agama yang dilihat dari kadar komitmennya terhadap praktik-praktik syariat. Tetapi ada yang menambahkan bahwa kelompok Abangan selain tidak mempraktikkan syariat agama Islam, masih memiliki komitmen yang kuat dalam menjalankan praktik-praktik kepercayaan lama yang dianutnya seperti misalnya membakar kemenyan, melakukan sesaji, mengadakan slametan dan sebagainya.
Orang Jawa mengakui, Islam Abangan itu sebagai agami Jawi atau agama orang Jawa. Salah satu ciri yang kuat dari Abangan adalah lebih toleran terhadap perbedaan, dapat menerima pernik-pernik agama apapun. Dilihat dari daerah penyebarannya, kelompok abangan tersebar di daerah pedalaman sedangkan yang disebut putihan berada di pesisir utara pulau Jawa.
Salah Kaprah
Kalau dilihat dari pengertiannya bahwa semua orang beragama hanya dalam KTP itu bisa disebut Abangan, maka kelompok Abangan adalah kelompok terbesar dalam masyarakat. Itu sebuah kenyataan! Namun pengertian seperti itu salah kaprah, yaitu sebuah kesalahan tidak disadari (salah), namun diakui dan diberlakukan secara umum (kaprah). Bahkan kesalahan itu dianggap sebagai kebenaran. Pertanyaannya, kenapa muncul istilah Abangan dan sejak kapan istilah itu digunakan? Siapakah yang disebut Abangan itu?
Menelisik istilah Abangan tidak bisa melepaskan diri dari sejarah penyebaran agama Islam di Jawa. Menurut catatan sejarah, sebelum tumbuhnya kerajaan Islam di Demak, agama Islam sudah disebarkan di Jawa oleh pedagang dari Persia dan India. Mereka menyebarkan agama Islam yang bercorak mistik (tassawuf). Islam yang disebarkan itu adalah paham Syiah. Sementara itu penyebaran agama Islam juga dilakukan oleh ulama-ulama dari pesisir yang nantinya diangkat sebagai wali di kesultanan Demak. Kemenangan yang dicapai oleh Jimbun atas Majapahit menandai berdirinya Kerajaan Islam di Demak. Jimbun meneguhkan dirinya sebagai Sultan dengan nama Al Fatah, yang kemudian dikenal dengan nama Raden Patah!
Kesultanan Demak yang dipimpin Raden Patah dinyatakan sebagai Kerajaan Islam. Ulama-ulama diangkat sebagai anggota Dewan Wali (Wali Sanggha). Para ulama tersebut lalu disebut dengan gelar Sunan, yang berasal dari kata susuhunan yang berarti Junjungan. Hingga sekarang orang masih mengenalnya dengan nama Wali Songo. Mereka itulah yang menyebarkan agama Islam dan paham mereka adalah Hanafi.
Dalam penyebaran agama Islam di Jawa Tengah pada abad 15 – 16 itulah terjadi benturan-benturan di antara para wali. Salah satu benturan yang keras terjadi antara para wali dengan Syeh Siti Jenar. Dalam buku Siti Djenar Ingkang Toelen, tulisan Kangdjeng Soenan Giri Kadhaton tahun 1457, yang diterbitkan oleh Tan Khoen Swie ing Kediri tahun 1931, disebutkan bahwa Syekh Siti Jenar itu juga disebut dengan Syekh Siti Lemah Abang, dikenal sangat cerdas. Syekh Siti Jenar pernah mengalahkan Sunan Giri dalam adu (debat) ngelmu sehingga namanya semakin terkenal.
Murid para wali dari pesantren-pesantren banyak yang membelot menjadi pengikutnya. Disebutkan dalam pupuh kedua tembang Sinom: “sangsaya kasusreng Janma, akeh kang amanjing murid, ing praja-praja myang desa, dalah akeh ing ngulami, kayungyun ngayum sami, kasoran kang wali wolu, gunging paguronira, pan anyuwungaken masjid, karya suda kang maring agama mulya” (semakin terkenal di masyarakat, banyak yang menjadi muridnya, baik di kota maupun desa-desa, bahkan banyak ulama yang tunduk dan mengikutnya. Perguruan delapan wali yang lain kalah terkenal, dan itu membuat mesjid-mesjid menjadi kosong, dan pengikut agama Islam berkurang banyak).
Apa sebenarnya yang diajarkan oleh Sunan Lemah Abang atau Syekh Siti Jenar itu? Syekh Siti Jenar adalah penganut Syiah, yang menganut faham Wujudiyah, yang mengajarkan kesatuan antara manusia dengan Tuhan (manunggaling kawula – Gusti). Oleh orang Jawa ajaran itu dipahami sebagai ngelmu kasampurnan. Ajaran itu sangat digemari karena memang dekat dengan kepercayaan lama mereka.
Selain itu Syekh Siti Jenar juga tidak mementingkan agama yang legal formalistik. Ajarannya justru menekankan bahwa syariat tidak berlaku selama manusia masih hidup, sehingga orang untuk tidak perlu melakukan praktik syariat dalam kehidupan sekarang. Tentang ajaran Syeh Siti Jenar, Abdul Munir menulis, “Syekh Siti Jenar berpendapat bahwa ketika sahadat, salat, dan puasa itu tidak diinginkan, maka hal itu bukanlah sesuatu yang perlu dilakukan. Demikian pula dengan salat dan naik haji, semuanya dipandang sebagai omong kosong sebagai kedurjanaan budi dan penipuan terhadap sesama manusia” (Abdul Munir Mulkan, Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar, 2001, h. 65-66)
Banggalah Menjadi Abangan
Ajaran itulah yang diyakini dan dipraktikkan oleh pengikutnya. Karena panutan mereka adalah Sunan Lemah Abang maka pengikutnya lalu disebut sebagai Abangan. Pengikut Syekh Siti Jenar itu menyebar di daerah-daerah pedalaman, di perdesaan-perdesaan. Di kesultanan Demak, penyebaran agama yang dilakukan para wali memang belum memasuki daerah pedalaman, dan baru menyentuh pesisir.
Namun justru ketika Raden Patah telah tiada, terjadi perebutan kekuasan di Demak yang berujung pada perpindahan pusat kerajaan dari Demak ke Pajang oleh Sultan Hadiwijaya, menantu Sultan Trenggana. Pemindahan pusat kerajaan itu tidak semata-mata karena intrik politik di antara keturunan Sultan Demak, tetapi juga karena perbedaan paham dalam Islam. Hadiwijaya berasal dari daerah Pengging, pusat penyebaran Islam Syi’ah. Kraton Pajang lalu menjadi pelindung kelompok Abangan, pengikut Syekh Siti Jenar. Slamet Muljana dalam bukunya Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa (Jakarta, 1968) menyatakan, “Pada jaman pemerintahan sultan Hadiwijaya di Pajang ajaran wujudiyah mempunyyai pengaruh besar di masyarakat Islam Jawa di Jawa Tengah. Falsafah wujudiyah di Jawa dipelopori oleh Syekh Siti Jenar atau Syekh Lemah Abang” ( h. 156).
Pertarungan paham dalam Islam itu berlangsung cukup intens. Panembahan Senopati yang merupakan anak angkat Hadiwijaya mendirikan Kerajaan Mataram yang berpusat di Kotagede Jogjakarta ketika Pajang masih eksis. Kerajaan itu ditahbiskan sebagai kerajaan Islam dengan paham Sunnah wal jamaah. Ia juga mengambil gelar Senopati ing ngalaga sayidin panatagama yang berarti bahwa ia selain senopati juga pemimpin agama. Selain itu ia juga menganggap diri sebagai kalifatullah ing tanah Jawa yang artinya wakil Allah di tanah Jawa. Dengan begitu jelas, Mataram adalah kerajaan Islam dengan paham sunni, bukan syiah seperti Pajang. Namun penduduknya tetap mengikuti ajaran Syech Siti Jenar, Abangan. Sebutan itu terus digunakan untuk menggambarkan penganut agama Islam yang tidak melaksanakan praktik syariat, walaupun mereka tidak lagi mengenal Sunan Lemah Abang, atau Syekh Siti Jenar, Sang Panutan!
Pemahaman bahwa raja adalah wakil Allah di Jawa terus dikembangkan. Dalam Wulang Reh karya PB IV di awal abad 19 dituliskan, “mapan ratu kinarya wakil Hyang Agung” (pupuh VI, 2) artinya menjadi raja itu sebagai wakil Tuhan. Raja menetapkan agama kerajaan. Tetapi untuk kawula (rakyat) yang sebagian besar tidak paham akan agama diajar untuk mencukupkan diri sebagai orang Jawa. Dalam Wedhatama karya Mangkunegaara IV (1853-1881) diajarkan, “….rehne ta sira Jawi, sethithik wae wus cukup, aja guru aleman, nelad kas ngepleki pekih…” (karena kamu orang Jawa, sedikit saja sudah cukup, jangan suka disanjung kepingin meniru ahli fikih).
Dari pengajaran seperti itu jelas, bahwa orang Jawa harus tetap menjadi Jawa (Abangan). Banggalah menjadi Abangan, tidak perlu berkeinginan atau bercita-cita menjadi ahli agama, atau meniru-niru nabi!
Penulis adalah pencinta kebudayaan Jawa, mantan wartawan.
Editor : Trisno S Sutanto
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...