Meneropong Komitmen Trisakti Jokowi - JK
SATUHARAPAN.COM – Persisnya tanggal 28 Januari 2015 yang lalu, genap sudah 100 hari Joko Widodo dan Jusuf Kalla menjabat pasangan Presiden dan Wakil Presiden Indonesia, yakni sejak dilantik pada 20 Oktober 2014. Tentu sudah banyak kerja-kerja nyata dari segenap jajaran pemerintahan baru ini yang bisa dijadikan kajian bersama, mengingat momen 100 hari memang selalu jadi ukuran penting bagi masyarakat untuk meneropong keteguhan komitmen politik penguasa terpilih selama satu periode kepemimpinannya kelak.
Karenanya wajar saja jika muncul banyak reaksi dari kelompok masyarakat yang menggelar protes mencurahkan ketidakpuasannya, atau pun yang tetap mengungkapkan optimismenya pada pemerintahan baru ini. Menarik jika mengamati beragam fenomena kritiknya, ada yang bernada dendam kesumat bawaan pilpres, tapi ada juga yang nadanya seperti patah hati merasa diingkari. Paduan dari keduanya ini terkadang melahirkan protes-protes keras yang blak-blakan, tapi dalam kadar tertentu kerap nampak irasional.
Memilih Dengan Rasio
Kedewasaan demokrasi Indonesia memang sedang mendapatkan momentum pengujiannya. Satu tahapan sudah berhasil dilalui ialah berlangsungnya pemilu yang kondusif, meski masih menyisakan banyak drama di parlemen dan parpol. Tahap paling krusial tentu ada pada kesadaran politik masyarakatnya, apakah sudah sungguh-sungguh mengedepankan rasio? Ataukah masih terjebak dalam banalitas pesona kedekatan emosional, primordial, loyalis, fans, dan atau malah dilatari motif transaksional semata?
Penting kiranya menguji benarkah kita sudah memilih dengan rasio. Artinya sejak awal sadar dan konsekuen akan segala potensi keberhasilan sekaligus kegagalan yang inheren dalam pilihan politik yang diambilnya. Semisal menakar personalitas sang pemimpin dan kolektif politiknya, juga situasi objektif negeri yang mencakup seluruh kompleksitas masalah yang dimilikinya. Dengan demikian kita akan terhindar dari kesesatan sikap yang sibuk menghakimi rezim baru ini kualitasnya hanyalah sekelas Rukun Tetangga, atau sikap yang galau sampai mengumpatinya bagai pengkhianat.
Ini tidak berarti harus pasrah pada status quo, sebab prasyarat terbangunnya demokrasi yang matang sangatlah membutuhkan hadirnya publik yang partisipatif, bukan yang manggut manut hanya mengafirmasi semua langkah yang diambil pemerintah. Sebab sekalipun seorang pemimpin itu hanyalah manusia fana biasa yang patut dimaklumi keterbatasannya, tetapi bangsa yang besar ini membutuhkan sosoknya yang kuat dan andal, bukan yang sudah terlahir dengan nama besar tetapi yang ditempa hingga menjadi besar. Di situlah hakikatnya kritik rakyat, sebagai penempa manusia pemimpin yang telah diberi amanat.
Pun demikian pemerintahan Jokowi-JK ini membutuhkan kritik yang massif, apalagi beberapa langkah yang diambilnya belakangan memang tampak kontroversial. Mulai dari pembentukan kabinet yang tidak ramping karena tetap 34 kementerian, dengan perimbangan yang tak proporsional antara latar profesional dan parpol. Ditambah penunjukkan komandan paspampres yang tak lain menantu dari penasehat Rumah Transisi, diangkatnya Jaksa Agung yang tak lain seorang politikus parpol, hingga polemik jenderal yang punya rapor merah sebagai kandidat tunggal Kapolri.
Semua ini dikesankan sebagai bentuk praktek politik balas budi yang di masa kampanye sangat ditolak oleh duet Jokowi-JK. Namun, dalam teori politik mana pun juga sangat bisa dimaklumi jika pemerintahan yang baru terpilih akan membangun jajaran yang mayoritas berisikan pihak-pihak yang masuk dalam barisan pendukungnya secara proporsional. Tak lain tujuannya adalah untuk menjamin soliditas dan kohesifitas jalannya pemerintahan yang dipimpinnya. Terpenting dalam proses ini adalah menjunjung tinggi komitmen untuk memilih orang-orang yang kredibel dan bersih, di samping terbangunnya hubungan yang seimbang dengan kelompok oposan di parlemen.
Trisakti Sebagai Pedoman
Timbul juga prasangka yang menyebut pemerintahan baru ini hanya berbeda kulit dari rezim sebelumnya, karena masih saja menambahi beban kehidupan rakyat. Terutama jika menyorot kebijakan ekonominya, Jokowi-JK dianggap inkonsisten pada jalan kemandirian bangsa yang sempat dikemas dalam buku tebal semasa kampanye. Ini lantaran diterapkannya subsidi tetap solar, mencabut subsidi premium, listrik 1300 watt, dan gas LPG 12 kg yang tak lain merupakan barang kebutuhan paling mendasar bagi rakyat, serta melemparkannya pada mekanisme pasar yang labil.
Tak urung tudingan neoliberalisme juga mulai dilekatkan pada rezim baru ini. Namun, di sisi lain kita juga perlu objektif mengingat betapa anggaran tahunan negara selalu defisit karena banyaknya sektor pembiayaan yang inefisien, sementara pendapatan negara belum mampu dipacu naik signifikan. Utang luar negeri pun masih membengkak dengan tuntutan cicilan bunga tahunannya. Hingga akhirnya memangkas biaya subsidi harus jadi pilihan demi menyehatkan neraca keuangan negara di tahap awal pemerintahan ini.
Sejak awal musim kampanye Pilpres lalu, duet Jokowi-JK sebenarnya secara eksplisit telah menyebut Trisakti yang dahulu sempat digaungkan Bung Karno sebagai visi politiknya. Ini saja sudah jadi istimewa mengingat sekian lama gagasan besar ini diabaikan hingga negeri menjadi karut marut sedemikian rupa. Dilengkapi juga dengan misi Nawa Cita sebagai program unggulan yang isinya cukup padat membangun negeri. Namun, tantangan dalam mengimplementasikannya tak hanya berkutat soal birokrasi, tapi juga soal kebutuhan pembiayaannya yang besar karena harus dilakukan secara simultan dalam lima tahun.
Visi politik Trisakti yang menyentuh segaa aspek problematika bangsa memang bukan main mendesaknya untuk ditegakkan kembali. Kedaulatan politik kita yang makin dipandang sebelah mata dan tak berdaya di kancah dunia, kemandirian ekonomi kita yang keropos karena ketergantungan pada utang luar negeri dan terkuasainya kekayaan alam, hingga kepribadian bangsa yang kian luntur dilumuri ketamakan, perpecahan saudara, dan kesilauan pada asing pun sudah jadi fakta yang memilukan.
Tapi persoalannya memang tak pernah bisa semudah membalikkan telapak tangan, sangat dibutuhkan keteguhan tekad dan kerja yang berlipat lebih keras. Sederhananya, Jokowi-JK tentu membutuhkan dan memang masih punya waktu untuk membuktikan komitmennya pada segenap rakyat Indonesia. Tanpa muluk-muluk, jika dalam kurun waktu menjelang lima tahun kedepan seluruh program yang terejawantah dalam Nawa Cita itu bisa diwujudkan separuhnya saja di masing-masing bidang, tentu akan menjadi torehan prestasi yang membanggakan.
Maka jika protes keras di momentum 100 hari dianggap sangat prematur, mari bersabar seraya awas mengawalnya bekerja. Tak hanya itu, siapa pun pemimpin baru yang terpilih sudah sepatutnya kita sebagai warga negara menjadikannya sebagai motivasi lebih untuk bangkit menjadi bangsa yang produktif. Ada begitu banyak potensi yang menanti diolah-kembangkan oleh putra-putri bangsa ini, dan penting disadari juga bahwa kunci perubahan ada di tangan kita rakyat Indonesia. Tanpa rasa jumawa, kita wajib mendorong maju cita-cita besar ini agar tak menguap menjadi bualan belaka. Tabik !
Penulis adalah lulusan FISIP Universitas Lampung, aktif di Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND)
Ibu Kota India Tercekik Akibat Tingkat Polusi Udara 50 Kali ...
NEW DELHI, SATUHARAPAN.COM-Pihak berwenang di ibu kota India menutup sekolah, menghentikan pembangun...