Mengapa Meminta Maaf?
SATUHARAPAN.COM – Wakil Presiden Jusuf Kalla menyampaikan bahwa pemerintah tidak dalam posisi meminta maaf atas pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi pada masa lalu. Kendati demikian, menurut Kalla, pemerintah akan berusaha untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu. (9 Desember 2014).
Sementara itu di belahan dunia yang lain, justru muncul desakan: ‘Mereka yang kehilangan kerabat dan keluarga masih menderita seakan mereka yang telah mati terbunuh lagi. Mereka layak menerima kebenaran. Jika ada piatu dan keluarga tanpa makam, jika ada kuburan tanpa jasad,maka demikian juga tidak akan ada sejarah tanpa suara.’ (11 Desember 2014).
Pernyataan di atas keluar di antara airmata Presiden Perempuan Brazil, Dilma Rousseff saat menerima laporan pelanggaran HAM (ABC.net). Komisi Kebenaran Brasil mengikuti model Afrika Selatan yang tidak menghukum para pelaku. Dilma sendiri mengalami disiksa dan dipenjara oleh militer. Mungkn ini juga yang membedakan proses rekonsiliasi, yaitu pemimpin yang pernah mengalami menjadi korban.
Komisi Nasional Kebenaran Brazil telah mengumpulkan laporan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan oleh Diktator militer Brazil yang berkuasa dari 1964 sampai 1985. Satu perempuan diminta menari telanjang di depan polisi dan disetrum. Diperkirakan 20,000 orang disiksa dan 500 lainnya meninggal. Tahun 1979, militer mengeluarkan amnesti untuk mencegah pelakunya agar tidak diadili atau dihukum. Militer menyatakan mereka melakukannya untuk melindungi bangsa dari komunisme. Presiden Dilma mengatakan temuan yang ada bukan untuk pembalasan dendam namun untuk memperkuat demokrasi Brazil.
Tidak sulit tentunya bagi pembaca untuk membaca kemiripan kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi di Brasil dengan yang terjadi pada anggota PKI dan simpatisannya di Indonesia pada pasca peristiwa 1965 sampai awal dekade 80 an ketika mereka yang dipenjara atau diasingkan tanpa pengadilan akhirnya dibebaskan, meskipun tetap dialienasi dari masyarakat. Kehidupan mereka sampai hari ini belum juga tenang, kebebasan berekspresi dan berkumpul mereka masih terenggut.
Penyesalan dan pengungkapan kebenaran dari Dilma Roussef seharusnya menjadi teladan bagi Indonesia, melawati dinding-dinding hukum, sebagai negara yang mengaku ber-Tuhan, dengan melakukan hal yang sama. Meminta maaf seharusnya sangat dekat dengan tradisi Indonesia, apalagi dengan ritual maaf yang kita lakukan setiap tahun saat lebaran tiba. Meminta maaf bukan saja karena seluruh bangsa ini telah bersalah dalam tragedi 65, baik yang terlibat langsung atau memilih tidak tahu, bahkan generasi masa kini yang memilih diam. Namun sebagai bangsa yang mengaku sebagai bangsa yang besar yang mampu mempertanggungjawabkan masa lalunya.
Menurut Girma Negash, meminta maaf secara politis adalah pemintaan maaf kolektif dari satu kelompok pada kelompok lainnya yang didelegasikan pada pemimpinnya. Ia mengambil contoh Jerman yang meminta maaf kepada Israel setelah perang dunia II dan komunitas internasional yang meminta maaf pada bangsa Rwanda karena tidak berbuat apa-apa selama genosida. Dan kini kita melihat bagaimana Presiden Dilma mewakili negara Brasil masa kini meminta maaf kepada korban kejahatan atas kemanusiaan yang dilakukan negaranya pada masa lalu.
Permintaan maaf presiden secara formal dihadapan Korban tragedi 1965 dan keluarganya yang masih hidup di hadapan publik adalah simbol bagi rekonsiliasi. |
Mengapa meminta maaf menjadi begitu rumit dalam kasus 65? Kompleksitas identitas hasil propaganda and sejarah yang menyembunyikan pembantaian orde baru masih terasa hingga kini. Perbedaan bahasa dan pandangan tentang komunis seakan telah membutakan rasa kemanusiaan. Cap komunis yang kemudian disalahartikan dan dikaitkan dengan atheisme menjadi senjata yang masih digunakan untuk menciptakan komflik, mulai dari kampanye hitam selama pemilihan presiden sampai saat ini dengan pelarangan film Senyap oleh lembaga negara semacam Lembaga Sensor Film di beberapa daerah oleh sekelompok masyarakat dengan pengabaian polisi setempat. Sementara negara masih melanggengkannya dengan masih berlakunya TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966.
Permintaan maaf adalah suatu proses kesadaran dalam mengakui kejahatan dan akibat serta konsekuensi yang telah dilakukan. Fakta hilangnya jutaan nyawa telah terjadi, kejahatan terhadap kemanusiaan telah terjadi, negara seharusnya dan setidaknya mengakui peristiwa ini meskipun investigasi belum selesai. Selagi para korban masih hidup di sisa usia mereka kian renta, dan menyaksikan saudara –saudara mereka pergi satu persatu tanpa melihat kebenaran dimunculkan.
Permintaan maaf presiden secara formal dihadapan Korban tragedi 1965 dan keluarganya yang masih hidup di hadapan publik adalah simbol bagi rekonsiliasi. Hal ini belum juga dilakukan bahkan setelah 50 tahun peristiwa ini terjadi, terutama karena perhitungan politik yang masih saja diutamakan daripada tindakan kemanusian dan kesembuhan masyarakat dari stigma dan kebencian. Presiden Abdurrahman Wahid pernah mencoba melakukannya, dan tidak berlanjut. Jika revolusi mental masih menjadi cita-cita perubahan, maka perubahan itu seharusnya dimulai dari sini.
Permintaan maaf apalagi terhadap korban 65 memang menjadi resiko yang dianggap sangat besar misalnya resiko konflik horizontal pada pelaku atau keluarganya yang masih hidup yang mungkin takut harus masuk penjara di usia tua,sementara mereka merasa melakukannya sebagai pahlawan. Alih-alih menempuh risiko ini, negara melakukan penyangkalan dan penghindaran tanggung jawab secara langsung dengan membiarkan kelompok masyarakat saling mengancam, kebencian terus terjadi dan secara tidak langsung dengan mengubur dalam-dalam kebenaran itu sendiri.
Presiden dapat mengakomodasi laporan penyelidikan pelanggaran HAM berat peristiwa 1965-1966 yang selama ini macet di Kejaksaan Agung, untuk menunjukkan bahwa negara memulai penyesalannya secara publik dengan mengungkapkan kebenaran. Negara bisa memulai penggalian-penggalian kuburan massal, mengubah buku sejarah atau setidaknya mengubah museum lubang buaya, Misalnya, penelitian sudah menunjukkan bahwa setidaknya tidak ada perempuan Gerwani yang terlibat dalam pembunuhan para jendral, yang sangat bertolak belakang dengan diorama yang ada dalam museum itu. Atau membiarkan masyarakat yang ingin mencari kebenaran, meskipun hanya dengan menonton film Senyap.
Idealnya, tentu ada proses pengakuan, akuntabilitas, pernyataan kebenaran dan penyesalan secara pubik yang disertai rekonsiliasi sosial dan rehabilitasi korban, yang dilegitimasi dengan undang-undang. Dengan pernyataan wakil presiden Jusuf kalla di atas, sepertinya mimpi masih sangat jauh.
Jika negara begitu sulit mewakili masa lalu untuk meminta maaf, mungkin kelompok masyarakat seperti Gereja, yang masih dalam suasana Natal dan tahun baru, dapat memulai untuk meminta maaf karena tidak melakukan apa-apa ketika pembantaian terjadi bahkan mengalienasi umatnya sendiri. Gereja di NTT misalnya melarang umatnya yang anggota PKI atau simpatisannya untuk beribadah selama bertahun-tahun. Demikian juga dengan gerakan moral dan budaya, yang dilakukan oleh kelompok masyarakat, rekonsiliasi yang dilakukan di tingkat desa atau kota, seperti permintaan maaf resmi kepada para korban pelanggaran HAM tahun 65/66 yang diwalikota Palu. Ia bahkan telah mengalokasikan APBD untuk merehabilitasi korban.
Sementara itu pengampunan, keikhlasan dan dan pelepasan dendam yang merupakan anugrah terbesar yang dapat dilakukan oleh seorang manusia, telah diberikan oleh jutaan korban 65 dan keluarganya di seluruh Indonesia, tanpa menunggu permintaan maaf dari siapapun, meski sisa luka-luka tubuh dan batin tak akan pernah sembuh.
Penulis adalah penyair dan penerjemah
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...