Mengapa Tax Amnesty Kini Jadi Teror yang Resahkan Rakyat?
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Yang dari semula dianggap sebagai solusi, kini Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty berubah menjadi teror bagi masyarakat. Mimpi indah pemerintah yang merasa akan mampu menarik dana yang parkir di luar, kini beralih jadi menyasar rakyatnya sendiri yang sedang kesulitan di tengah pertumbuhan ekonomi yang melambat, dan sedang bekerja keras untuk sekadar mampu bertahan di tengah ketidak pastian yang ada.
Hal ini dikatakan pengamat ekonomi Ferdinand Hutahaean, dalam siaran persnya yang diterima satuharapan.com hari ini (27/8).
Menurut dia, Amnesti Pajak yang sudah efektif berlaku sejak awal bulan Juli lalu dan terus bergulir sampai sekarang ternyata hanya mimpi-mimpi indah dan jargon heroik. Yang katanya dulu akan menarik Rp 4.000 T uang parkir di luar negeri kini berubah jadi mimpi buruk dan jadi jargon teror.
"Tax Amnesty kini jadi mimpi buruk bagi rakyat dan bukan mimpi buruk bagi negara tax haven seperti Singapore. Tax Amnesty juga jadi jargon teror bagi rakyat dan bukan jargon heroik seakan bangsa ini mampu menakuti negara tax haven karena dananya akan berpindah ke Indonesia hanya bermodal UU TA yang sesungguhnya dari awal sudah banyak pihak yang menolak," tulis dia.
"Mimpi indah pemerintah yang merasa akan mampu menarik uang parkir di luar, kini beralih jadi menyasar rakyatnya sendiri yang sedang kesulitan," lanjut dia lagi.
Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia itu mengatakan, selama ini Presiden Joko Widodo dalam beberapa kali pidatonya mengatakan bahwa sudah mengantongi nama, alamat dan tempat penyimpanan dana di luar. Tetapi ia menilai, kini terbukti bahwa ternyata pemerintah tak mampu menarik dana tersebut.
Menurut Ferdinand, selama ini presiden bahkan seperti mengancam dan menakut-nakuti secara halus para pemilik uang tersebut. Hanya saja tampaknya presiden lupa bahwa kepastian politik dan kepercayaan pada pemerintah adalah modal utama arus modal masuk. Dan ini lah, menurut dia, yang tidak dimiliki oleh pemerintah.
"Setelah gagal menarik uang dari luar, sekarang pemerintah menjadikan rakyatnya jadi target Tax Amnesty. Pemerintah menjadikan aset sebagai sesuatu yang harus dipajak berganda. Aset rakyat harus diperas lagi untuk pemasukan negara. Pemerintah melakukan teror psikologis pada rakyatnya yang memiliki aset," kata dia.
Ia mengatakan, masyarakat jadi korban teror oleh pemerintah dan menjadi resah, takut dituduh macam-macam bahkan takut hartanya dirampas. Aset yang dengan susah payah didapat rakyat melalui sebuah proses kehidupan yang tidak mudah, lanjut dia, kini pemerintah merasa berhak atas aset tersebut dan meminta bagian dari aset tersebut atas nama Tax Amnesty.
"Ini kejahatan oleh rezim kepada rakyat," kata dia.
"Aset yang didapat melalui proses jual beli, yang mana rakyat sudah bayar pajak saat membeli aset tersebut dan membayar kewajiban pajak tahunan atas aset tersebut kini harus membayar lagi 'pajak preman' tax amnesty andai aset tersebut belum dilaporkan dalam SPT tahunan."
Ferdinand mengatakan tidak semua penduduk punya NPWP. "Bukankah PBB tanah dan rumah, PKB kendaraan serta pajak-pajak lain itu adalah bentuk pelaporan harta kepada negara? Mengapa sekarang jadi masalah dan dengan akal-akalan tax amnesty seolah rakyat yang menyembunyikan asetnya?"
Ia mengatakan sesungguhnya sistem pemerintah ini yang buruk dalam mengelola pajak yang jadi masalah. Sayangnya, rakyat yang diteror seolah menyembunyikan asetnya.
"Lazimnya pajak itu untuk produktifitas, untuk hasil atau pendapatan bukan kepada aset. Lama-lama sendok garpu di dapur juga harus masuk laporan tax amnesty," kata dia dengan sarkastis.
Oleh karena itu, dia berharap pemerintah sadar diri belum mampu meningkatkan taraf hidup dan pendapatan masyarakat. Dengan demikian, rakyat tidak seharusnya dibebani dengan pungutan macam-macam dan pajak.
"Pemerintah bahkan jika perlu membebaskan pajak untuk satu tahun menjadi insentif produktifitas bagi rakyat. Tidak elok rakyat harus dipaksa menanggung beban biaya pemerintah untuk menindas rakyatnya (pembayar pajak). Terlebih menggunakan teror terselubung lewat UU Tax Amnesty."
Ferdinand berharap pemerintah sebaiknya fokus pada tujuan awal, yaitu untuk memaksa uang di luar negeri untuk masuk ke dalam negeri, bukan malah menjadikan rakyatnya sebagai korban kebijakan.
"Ironi hitam bangsa ini ketika rezim menggunakan cara-cara berbau teror psikologis untuk menarik dana rakyat membiayai pemerintah yang tidak punya kemampuan bangkit," kata dia.
Editor : Eben E. Siadari
Penasihat Senior Presiden Korsel Mengundurkan Diri Masal
SEOUL, SATUHARAPAN.COM - Para penasihat senior Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol, termasuk kepala...