Mengapa Vonis Mati di Indonesia Diprotes?
SATUHARAPAM.COM – Eksekusi akhirnya terjadi pada delapan terpidana mati kasus narkotika pada Rabu (29/4) dini hari di Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, dan berlangsung di tengah berbagai protes dan tekanan untuk ditunda.
Tekanan datang dari pemerintah Australia, publik dalam negeri dan luar negeri, serta Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) yang ditanggapi Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah, dengan mempertanyakan mengapa PBB diam ketika ada WNI dihukum mati.
Masalah hukuman mati memang tengah dalam perdebatan dunia, dan ada kecenderungan negara-negara untuk tidak memberlakukannya lagi. PBB sendiri menyampaikan seruan untuk tidak dilaksanakannya hukuman mati, bukan hanya pada Indonesia, tetapi juga kepada sejumlah negara.
Hal itu dilakukan pada Bangladesh ketika hukuman mati dijatuhkan pada pimpinan partai oposisi yang terlibat dalam kejahatan perang pada tahun 1971, kepada Pakistan untuk kasus terorisme dengan mencabut moratorium hukuman mati, kepada Mesir yang benyak menjatuhkan hukuman mati kepada pemimpin Ikhwanul Muslimin.
Dalam bidang hukum, vonis mati memang tengah diperdebatkan dengan mengemukanya pandangan tentang hak hidup bagi setiap orang, dan tidak ada orang atau lembaga yang bisa merampas hak asasi tersebut, termasuk negara. Selain itu, keadilan juga tengah mempertanyakan masalah hukuman sebagai praktik balas dendam atau proses pemulihan. Oleh karena itu, protes yang melingkupi pelaksanaan hukuman mati harus direspons yang terkait upaya penegakkan hukum, hak asasi manusia dan keadilan.
Kredibilitas Proses Hukum
Protes yang muncul dari kalangan yang luas ini tampaknya pertama-tama bukan terkait diberlakukannya hukuman mati. Ketika terpidana kasus narkotika Schapelle Leigh Corby mendapatkan grasi oleh Presiden SBY dari hukuman mati menjadi seumur hidup dan kemudian mendapatkan pembebasan bersyarat, protes juga muncul dari publik. Banyak yang menyuarakan terpidana itu dihukum mati, dan menuding ‘’ada apa-apa’’ dibalik grasi itu.
Protes kali ini, yang akhirnya juga mendorong penundaan eksekusi bagi Mary Jane Veloso, juga banyak diarahkan pada masalah proses hukum. Ini berarti tekanan protes bukan pada hukuman mati masih ada dalam sistem hukum di Indonesia, tetapi pada kredibilitan Indonesia dalam penegakkan hukum dan keadilan.
Protes pemerintah Australia jelas diarahkan kepada pengusutan dugaan korupsi di pengadilan. Apalagi Fairfax Media juga menerbitkan laporan dugaan korupsi oleh hakim yang menghukum duo Bali Nine pada tahun 2006. Hal yang ’’menimbulkan pertanyaan tentang integritas hukuman dan proses grasi,” kata Menteri Luar Negeri Australia, Julie Bishop.
Masalahnya, memang terkait sebelum vonis itu dieksekusi. Dan hal ini pertanyaan yang sangat sering dan kronis dari publik Indonesia tentang hukum dan keadilan. Itu berarti mempertanyakan integritas penyidikan oleh polisi, penuntutan oleh jaksa, dan pengadilan oleh hakim. Bahkan ketika vionis dijatuhkan, situasi penjara pun masih mengusik rasa keadilan dengan berita bandar narkotika menjalankan organisasi kriminal dari dalam penjara.
Selama integritas proses hukum tidak bisa mencerminkan keadilan dan kepastian hukum, dan terukur, vonis akan menjadi masalah, bahkan bisa menjadi bentuk kriminal yang lain. Akibatnya, hukuman mati bisa menjadi keputusan yang mengerikan.
Luar Bisa atau Istimewa
Di tengah arus dunia yang ingin menghapus hukuman mati, memang ada fakta bahwa publik menghendaki vonis ini masih berlaku, mengingat sejumlah kejahatan menimbulkan dampak dalam kategori luar biasa, yaitu kejahatan terorisme, narkotika, dan korupsi.
Tentang ini, kredibilitas penegakkan hukum dan keadilan di Indonesia disorot dengan sinis, karena vonis mati untuk kejahatan luar bisa hanya terjadi pada kasus terorisme dan narkotika. Sementara di hadapan koruptor, hukum kita ‘’keder’’, dan jangan-jangan lebih sebagai kejahatan istimewa ketimbang luar biasa. Dan eksekusi mati yang baru terjadi, kembali mengusik kredibilitas hukum dan rasa keadilan.
Respons Presiden Joko Widodo tentang hal ini, misalnya dia menyebutkan lebih baik media membahas dampak narkotika daripada pelaksanaan eksekusi mati, dan disebutkan setiap hari 50 orang meninggal karena narkotika. Respons ini bisa kurang elok, karena cenderung memberi bingkai bahwa protes publik sebagai hanya peduli pada bandar narkotika dan abai pada korban.
Masalah obat terlarang memang serius, sehingga Indonesia disebut darurat narkoba, juga darurat korupsi, bahkan mungkin juga darurat terorisme. Kriminal ini tumbuh menjadi organisasi yang sulit diberantas, dan membuat Indonesia sampai pada kedaruratan, adalah akibat. Salah satu penyebabnya adalah rapuhnya penegakan hukum yang berkeadilan, bahkan banyak kasus keadilan bergantung pada uang. Jadi, beranikah kita mengatakan sekarang juga sebagai kondisi darurat hukum dan keadilan?
Indonesia menjadi ‘’surga’’ bagi bandar narkotika dan koruptor, karena kekuasaan dan perlindungan negara sering absen dalam kehidupan rakyat dan wilayah Indonesia. Dalam konteks itu, protes terkait eksekusi mati harus ditanggapi sebagai pentingnya memperbaiki kredibilitas hukum dan keadilan kita.
Jika masalah protes hukuman mati tidak direspons secara substansial sampai pada masalah ketegasan hukum yang adil, maka revolusi mental yang menjadi jargon pemerintah ini hanya akan menjadi kata-kata yang suaranya pun terdengar menyedihkan.
Albania akan Blokir TikTok Setahun
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Pemerintah Albania menyatakan akan memblokir media sosial TikTok selama s...