Mengenang Gereja Fanörötödö
SATUHARAPAN.COM – Pertemuan Raya Perempuan Gereja (PRPrG) sebagai aktivitas Pra-Sidang Raya PGI ke XVI telah dilangsungkan di Teluk Dalam tanggal 5-8 November 2014. Walaupun telah usai, kegiatan itu meninggalkan kesan bermakna dalam ingatan. Salah satunya melalui gereja tempat kegiatan PRPrG ini dilaksanakan. Gereja itu Banua Niha Keriso Protestan (BNKP) Yohanes, merupakan salah satu gereja terbesar di kabupaten Nias Selatan. Ia berada di atas pertapakan di Jalan Saönigeho di kawasan strategis di pusat kota Teluk Dalam. Gedung gereja berukuran 20x33m yang didominasi warna putih dengan interior berciri gereja di Eropa serta penataan ruang ibadah bertradisi Lutheran, berdiri indah dan megah. Pada buku acara PRPrG dituliskan renovasi interior megah ini menelan biaya sekitar Rp 1,8 miliar. Memilihnya sebagai tempat penyelenggaraan PRPrG tentu beralasan, paling tidak pada daya tampung dan letak strategis. Sejak ditetapkan sebagai tempat kegiatan, sejak itu pula gereja yang memiliki sekitar 1.835 jiwa anggota jemaat atau 612 KK ini pun berbenah di bawah koordinasi Panitia Pembangunan Gereja BNKP Yohanes. Walaupun belum rampung sepenuhnya, dengan menyiasati bangunan lain di lokasi gereja ini, maka gereja yang dirancang bangun berdaya tampung 1.600 orang ini, memadai digunakan untuk acara gerejawi berskala nasional.
Menapak tilas sejarah gereja ini menguak ingatan pada peristiwa-peristiwa penting. Gereja ini merupakan satu dari banyak gereja di kepulauan Nias yang sarat dengan pergulatan kehidupan gerejawi dan kisah fenomenologis. Gereja BNKP Yohanes ini awalnya merupakan Gereja BNKP Filial Kota Teluk Dalam yang berlokasi di bukit berhadapan dengan Lapangan Orurusa. Gereja ini dikenal pula sebagai gereja Fanörötödö. Fanörötödö adalah kata dalam bahasa Nias yang artinya mengenang kembali atau peringatan. Disebut ‘gereja fanörötödö’ karena dibangun oleh Gereja Evangelist Westfalia Jerman dan diserahkan kepada BNKP sebagai ‘peringatan’ 100 tahun berita Injil masuk ke Nias. Untuk membangunnya, bahan dasar bangunan seperti semen, pasir, batu, dan material lainnya didatangkan dari Jerman. Gereja fanörötödö ini diresmikan pada tanggal 27 September 1965 melayani di tengah kehidupan masyarakat Nias Selatan yang masih terbilang tertinggal.
Sejarah mencatat, gereja ini menjadi saksi pergolakan di tengah BNKP yang berujung dengan skhisma yang melahirkan organisasi gereja baru. Pada tahun 1993-94, terjadi perpecahan yang berujung dengan lahirnya Banua Keriso Protestan Nias (BKPN). Pada tanggal 7 Mei 1994, BKPN mendeklarasikan diri mandiri dan resmi berpisah dari BNKP. BKPN menempati gedung gereja BNKP Filial dan melaksanakan ibadah di situ sampai saat ini. Sementara jemaat BNKP, menempati Balai Pertemuan BNKP. Dari atas bukit, gereja ini pindah menata kehidupannya kembali di dataran yang lebih rendah, di tempat saat ini. Balai pertemuan ini kemudian terus 2
menerus mengalami renovasi. Pada tahun 2000, Gereja Yohanes diresmikan sebagai jemaat BNKP sektor 10, menjadi 1 dari hampir 1000 gereja BNKP yang ada saat ini. Saat ini dipimpin oleh Pdt. F. Y. Zega S.Th, M.Si. sebagai Pendeta Jemaat.
Dinamika Kebangkitan
Baru saja mengalami masalah perpecahan gereja, bencana alam melanda Nias. Setelah tsunami Aceh-Nias tanggal 26 Desember 2004, terjadi gempa bumi berskala 8 SR pada tanggal 28 Maret 2005 yang berdampak kehancuran merata di seluruh kepulauan Nias. Gereja BNKP Yohanes juga hancur rata dengan tanah. Dalam situasi yang sulit dan penuh keterbatasan, gereja tanpa bangunan tetap melaksanakan pelayanan ibadah. Pagar gereja yang hancur telah membuat batas-batas tanah menjadi kabur sehingga ia berhadapan dengan masalah penyerobotan tanah oleh warga sekitar. Masalah batas tanah di Nias menjadi salah satu kasus yang banyak terjadi hingga kini. Bagaimana ia menyelesaikan kasus ini merupakan pengalaman berinteraksi dengan realitas kehidupan di kabupaten ini.
Proses pembangunan gedung gereja ini mengalami dinamika dan stag panjang karena berbagai masalah terutama pendanaan. Pembangunan kembali tercatat dimulai pada bulan Mei 2005. Di tengah keterpurukan perekonomian masyarakat Nias, berharap pada dukungan dan uluran tangan dari luar gereja terutama pemerintah adalah realitas yang terjadi di kepulauan ini pascabencana. Lokasinya yang strategis membawanya dekat pada elit pemerintahan, tetapi tidak serta merta membuat proses pembangunan itu berproses cepat. Kegiatan gerejawi besarlah juga memberi andil besar mendorong gerakan pembangunan itu berjalan kembali. Di antaranya, kegiatan Sidang Sinode BNKP ke-54 pada tahun 2007. Berkaitan dengan kegiatan itu, aliran sumbangan mengalir. Walaupun pembangunan tersendat, tercatat gereja ini tidak absen melaksanakan fungsi diakonianya sebagai tempat perlindungan bagi masyarakat di antaranya saat bencana banjir besar yang pernah melanda wilayah Nias Selatan dan lain-lain. Setelah pembangunan vakum sejak 2008, barulah tahun 2013-2014 kemudian berproses kembali selaras dengan persiapan perhelatan PRPrG Pra SR-PGI ke-16.
Gereja Fanörötödö
Tema Sidang Raya PGI ke XVI adalah ‘Tuhan mengangkat kita dari samudra raya’ yang didasarkan pengalaman bencana alam di negeri ini terutama yang melanda tanah Nias. Samudra raya merupakan pula kiasan realitas kehidupan yang kelam. Bukan saja akibat bencana alam yang kerap melanda Nias, namun berbagai ‘tsunami dan gempa’ yang berwujud kemiskinan, berbagai ketidakadilan dan kekerasan, ketertinggalan, diskriminasi, serta berbagai ‘tehom’ lainnya. Sebagaimana kita melihat bencana alam Nias dengan ‘blessing in disguise’ yang mengikutinya, maka dengan kacamata iman kita pula melihat penyelenggaraan SR PGI di 3
Kepulauan ini juga sebagai rencana ilahi. Tentu ada maksud Tuhan sekaligus pesan yang perlu diingat, mengapa PRPrG ini diperkenankan berlangsung di Gereja BNKP Yohanes di Teluk Dalam ini.
Menilik sejarah panjang kehidupannya, Gereja BNKP Yohanes tidak hanya patut diingat sebagai lokasi perhelatan gerejawi secara nasional. Sesungguhnya, gereja ini pula menjadi simbol kehadiran Tuhan dalam pergulatan mengarungi samudra raya, yaitu realitas kehidupan warga masyarakat di Nias Selatan. Ia pula menjadi simbol gereja Tuhan dalam persekutuan yang hidup dan berkeesaan. Pergulatan untuk bangkit dan merekonstruksi kehidupannya dari kehancuran adalah perjalanan perjumpaan dengan Allah dan proses memahami panggilan pelayanannya. Dari pengalaman fenomenologis yang sarat makna, kiranya ia bertumbuh menjadi gereja yang tidak hanya berbicara teologi dan spiritualitas umat dari atas mimbar yang megah, tetapi mewujudnyatakannya melalui pelayanan berbasis umat, yang transformatif dan tanpa sekat. Dalam proses dinamis rekonstruksi ini, gereja dapat mengembangkan segala potensi yang ada dalam semangat falulusa (kegotongroyongan), fabanuasa (kerja sama, kebersamaan), dan fa’ohe tanga (saling menopang), yang menjadi ciri kehidupan masyarakat Nias. Dukungan sumber daya manusia gerejawi yang dimilikinya dengan latar belakang yang majemuk kiranya membentuk gereja ini berkemampuan mendialogkan pengenalan tentang Allah melalui realitas kehidupannya.
Yang pasti, kemegahan dan keramahan gedung telah dinikmati dan memberi kesan yang akan diingat oleh peserta SR-PGI. Itulah rumah bersama dalam saat menggumuli sesi-sesi dalam PRPrG. Kiranya kenikmatan yang sama dirasakan oleh seluruh warga gereja, sang tuan rumah, sebagai rumah persekutuan, rumah beribadah, dan rumah perteduhan. Perjalanan hidup gereja ini kiranya akan membentuknya sebagai gereja yang terus bertumbuh dalam citra ilahi (imago dei) yang mengayomi seluruh warga. Membangun gereja bukan hanya gedung dan lembaganya, tetapi jemaat Tuhan yang hidup melalui pelayanan marturia, koinonia dan diakonia dalam harmoni, damai dan sejahtera. Dengan mengingat penyertaan Allah dalam pengalaman hidupnya, menghindari tidak terjebak semata mempraktikkan aktivitas seremonial keagamaan, tetapi memberikan pemaknaan di balik kegiatan keagamaan tersebut.
Dukungan pada Perempuan Nias
Sejarah mencatat, di gereja ini telah berlangsung percakapan strategis para perempuan tentang bagaimana gereja melayani umat dan menjadi terang bagi bangsa terutama dalam penyelesaian masalah kemiskinan, kesetaraan dan ketidakadilan gender, radikalisme dan kerusakan lingkungan. Mempraktikkan dukungan dan pengembangan kepemimpinan alternatif perempuan, merupakan salah satu seruan penting dan relevan dari PRPrG. Kiranya hal ini menjadi komitmen gereja untuk mengangkat kualitas kehidupan perempuan Nias.
Ibu Kota India Tercekik Akibat Tingkat Polusi Udara 50 Kali ...
NEW DELHI, SATUHARAPAN.COM-Pihak berwenang di ibu kota India menutup sekolah, menghentikan pembangun...