Menggagas Gong Perdamaian Dunia di Bali
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Tiga sumpah perdamaian dunia yang terdiri atas bahasa dunia, etika dunia, dan hari raya bersama umat manusia sedunia, akan dideklarasikan di Bali pada 5 hingga 7 Juni 2014. Acara yang akan diikuti 202 negara itu merupakan gagasan The World Peace Committee, yang juga telah banyak membangun monumen gong perdamaian di luar ataupun di dalam negeri.
“Monumen Gong Perdamaian Dunia kami bangun pertama kali di Indonesia, yakni di Ambon, Maluku. Dalam konsep kami nanti, satu manusia adalah satu keluarga,” ujar Djoyoto Suntani, Ketua Forum Perdamaian, di Jakarta, Kamis (2/1). Forum itu berdiri 5 Maret 1997 di Jepara, Jawa Tengah.
"Dalam satu bahasa dunia nanti, semua bahasa yang ada akan diakomodasi, jadi tak hanya bahasa Inggris. Bila ada etika dunia maka akan ada harmoni," ia menambahkan.
Semua paparan di atas dikemukakan delegasi The World Peace Committee saat mengadakan audensi dengan pimpinan MPR. Lima belas anggota delegasi forum itu diterima Ketua MPR Sidarto Danusubroto, Wakil Ketua MPR Melani Leimena Suharli, dan Wakil Ketua MPR Hajriyanto Y Thohari, di Ruang Rapat Pimpinan, Lt 9, Gedung Nusantara III, Kompleks Gedung MPR/DPR/DPD, 2 Januari.
Mendapat paparan itu, Sidarto yang menggantikan alm Taufiq Kiemas merasa bangga. Apa yang direncanakan itu disebutnya idealisme yang luar biasa. Kepada delegasi, ia mengungkapkan selama menjadi Ketua MPR sering menerima berbagai keluhan dari kelompok masyarakat, di antaranya dari kelompok minoritas yang merasa terzalimi. Untuk itu masalah-masalah perdamaian bagi Sidarto merupakan pekerjaan rumah yang harus dikerjakan sampai kapan pun.
Sementara itu, Hajriyanto mengatakan, apa yang dilakukan The World Peace Committee merupakan kegiatan melengkapi apa yang sudah dilakukan forum-forum perdamaian dunia lainnya. Ia menambahkan MPR tahun lalu bekerja sama dengan Forum Lintas Agama menyelenggarakan bulan perdamaian dunia. Kegiatan diikuti oleh 700 orang ditandai dengan pembangunan Taman Perdamaian Dunia di Kompleks Gedung MPR/DPR/DPD.
Soal perdamaian, ia teringat dengan apa yang diujarkan oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta. Menurutnya, perdamaian bukan sesuatu hal yang berdiri sendiri atau berada dalam ruang vakum. Bagi Hatta tak akan ada perdamaian tanpa persamaan dan keadilan. Kalau hendak membangun perdamaian sejati harus membangun keadilan.
Hajriyanto menegaskan, kalau ada bangsa yang tanahnya dicaplok bangsa lain, kalau masih ada bangsa yang mendikte bangsa lain, serta membiarkan kemelaratan, maka tak bisa ada perdamaian. Untuk itu, ia mengajak gerakan kultural yang digaungkan oleh berbagai forum perdamaian harus diikuti dengan gerakan struktural.
“Gerakan kultural dan struktural harus berjalan bersama. Intinya, apa yang dilakukan The World Peace Committee adalah kegiatan positif. Gerakan kultural itu akan memiliki efek sentrifugal (bergerak menjauhi pusat atau sumbu) dan bisa menekan struktur kekuasaan untuk mewujudkan keadilan,” paparnya.
Mantan Ketua Pemuda Muhammadiyah itu berharap Forum Perdamaian bisa menekan negara untuk membuat APBN yang berpihak kepada keadilan. “Saya juga mengharap The World Peace Committee bersinergi dengan forum-forum perdamaian dunia lainnya,” harapnya.
Dalam kesempatan itu, Melani Leimena juga menceritakan mengenai perdamaian di Ambon. Dugaan Ambon baru akan kembali stabil 100 tahun setelah konflik antaretnis dan agama ternyata tidak terbukti. “Waktu 10 tahun Ambon sudah kembali seperti dahulu yang hidup aman dan damai,” perempuan berdarah Sunda dan Maluku itu membanggakan perdamaian dari tempat asal ayahnya. (mpr.go.id)
Editor : Sotyati
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...