Mengukir Kehidupan Yang Memuliakan Tuhan
"Enam perkara yang dibenci Tuhan, bahkan tujuh perkara yang menjadi kekejian bagi hati-Nya: mata sombong, lidah dusta, tangan yang menumpahkan darah orang yang tidak bersalah, hati yang membuat rencana-rencana yang jahat, kaki yang segera lari menuju kejahatan, seorang saksi dusta yang menyembur-nyemburkan kebohongan, dan yang menimbulkan pertengkaran saudara." (Amsal 6:16-19)
SATUHARAPAN.COM-Nilai atraktif sebuah dokumen tertulis terkadang dipengaruhi tidak saja oleh isinya, kontennya, tetapi juga oleh bentuknya, oleh cara mengekspresikannya. Hal ini utamanya berlaku pada dokumen (tertulis) di bidang sastra dan juga di bidang teologi/keagamaan. Bahkan, pada sastra, misalnya, nilai atraktif itu sudah dimulai pada judul, judul novel, atau judul puisi.
Kita tertarik pada sebuah buku novel misalnya, pada tahap awal pada layout buku, desain sampul, judul, penulísnya, penerbitnya, materi atau isu utama yang dibahas novel itu. Fakta-fakta itu yang kemudian memberi dorongan kepada kita untuk membeli atau tidak membeli buku itu.
Ada juga faktor lain selain butir-butir tadi yang membuat kita terdorong untuk membeli sebuah buku, yaitu tingkat kehebohan publik dalam mengomentari sebuah buku. Dalam kasus buku “Satanic Verses” atau “Ghost Fleet” tingkat kehebohan itu amat tinggi dan mendunia, sehingga kita memutuskan untuk membeli (dan membacanya).
Dokumen tertulis yang berisi peraturan perundangan, perjanjian kerja sama, dll, sudah memiliki bentuk dan format baku yang ditentukan undang-undang, sehingga tidak Iagi dicari nilai atraktifnya, tetapi apakah diktum-diktum dalam dokumen itu telah mengakomodasi kepentingan para pihak dan memiliki kekuatan hukum yang legitimatif.
Dalam hubungan dengan buku teks pelajaran yang digunakan di sekolah-sekolah, Pemerintah di zaman dulu melalui PP 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan telah menetapkan kriteria buku yang layak untuk digunakan di sekolah. PP 19 Tahun 2005 Pasal 43 ayat (5) menyatakan bahwa "kelayakan isi, bahasa, penyajian dan kegrafikaan buku teks pelajaran dinilai oleh BSNP dan ditetapkan dengan Peraturan Menteri".
Walaupun kriteria kelayakan sebuah buku teks pelajaran itu sudah amat jelas, dalam praktiknya masih banyak buku teks pelajaran yang di bawah standar sehingga tidak lolos dalam penilaian BSNP. Pengalaman penulis selama lebih dari enam tahun terlibat dalam proses penilaian buku teks pelajaran, dalam kapasitas sebagai anggota Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), ada kesan kuat bahwa aspek profesional dalam penerbitan buku belum sepenuhnya menjadi pegangan utama dari para penulis dan penerbit, kecuali kalkulasi-kalkulasi yang lebih bersifat ekonomis.
Dalam konteks itu peranan BSNP amat signifikan saat kasus heboh belum lama ini tentang buku Pendidikn Kewarganegaraan yang diterbitkn Pemerintah dan konten tentang agama Kristen dan Katolik dalam buku itu termasuk menyesatkan bahkan
menista agama Kristen, tidak terjadi.
Saat itu Penulis sebagai anggota BSNP bertugas menjadi Kordinator Penilaian Buku Teks Pelajaran hanya menemukan salah cetak atau gambar/foto takseronok yang dimuat dalam buku agama. Realitas itu diatasi dengan memanggil Penulis dan Penerbit ke Kantor BSNP di Cipete saat itu dan meminta agar buku seperti itu dikoreksi baru layak edar.
Berdasarkan peraturan yang ada saat itu sebuah buku layak edar dan bisa dipakai di sekolah setelah dilakukan penilaian oleh ratusan para ahli selama sePEKAN di Cisarua kemudian hasil mereka dikaji BSNP baru ditetapkan oleh Peraturan Menteri.
Dalam konteks itu memang ada juga masalah tentang konten buku teks yang kegrafikaannya tidak mempertimbangkan aspek agama dan realitas konteks sosiologis masyarakat kita. Contohnya, pernah ada buku teks pelajaran agama Islam yang kutipan ayat Alqurannya ternyata tidak menggunakan Alquran mushaf yang sesuai dengan ketentuan Kementerian Agama. Pernah juga terjadi ada gambar seronok menjadi ilustrasi buku teks pelajaran agama Islam yang menimbulkan protes publik.
Beberapa kasus yang berhubungan dengan buku teks pelajaran yang menimbulkan reaksi negatif dari publik memang dapat diselesaikan dengan baik. Kasus-kasus itu membuktikan bahwa adanya ketentuan perundangan tidak serta-merta bisa melahirkan buku yang baik. Namun, kasus yang terjadi pada buku teks (sekuler) tidak akan pernah terjadi pada Alkitab.
Kitab Amsal yang dikutip pada bagian awal tulisan ini memiliki makna yang amat khas dan spesifik baik dari segi bentuk narasinya maupun kontennya. Menurut para ahli PL (Perjanjian Lama-Red.), ada lima jenis sastra hikmat Sumeria, yang salah satunya adalah Amsal. Kata "Amsal" berasal dari kata Ibrani “masyal” yang kemungkinan besar diambil dari akar kata yang berarti 'menyerupai' atau 'dibandingkan dengan'. Pada mulanya Amsal sering merupakan semacam perbandingan (vide: Ams. 15:17; 16:24)
Kitab Amsal sebagai sebuah sastra hikmat dipahami para ahli sebagai buku petunjuk untuk hidup yang berhasil. Dengan memaparkan kebiasaan hidup yang positif atau negatif, Kitab Amsal menjelaskan perilaku yang benar dan salah dalam berbagai keadaan. Kitab Amsal, dalam gaya bahasa yang tidak terlalu sulit, berfungsi untuk memberi penjelasan elaboratif tentang hukum Kasih (Im. 19:6; Ul. 6:5).
Amsal 1-9 ini adalah semacam bagian pendahuluan dari seluruh kitab yang menurut ahli PL tidak ditulis langsung oleh Salomo, dan naskah ini sudah dikenal sejak lebih kurang tahun 600 SM. Gaya penulisan Amsal 6: 16-19 sangat spesifik. Kita lihat narasinya: "Enam perkara… bahkan tujuh perkara ...". Mengapa seolah penulis Amsal ini tidak pasti terhadap jumlah keseluruhan "perkara" (hal, isu, tema)? Bentuk seperti ini diulangi lagi pada Pasal 307: "Dua hal aku mohon…”
Sangat jelas imperatif dalam Amsal 6:16-19 ini yang menyatakan bahwa tujuh perkara yang dibenci Tuhan dan menjadi kekejian bagi hati-Nya adalah: mata sombong, lidah dusta, tangan penumpah darah orang tidak bersalah, hati jahat, kaki jahat, saksi dusta, dan penyebab pertengkaran. Ketujuh hal itu secara sadar atau tak sadar mungkin saja, dalam berbagai bentuk, telah kita lakukan dalam hidup kita dan itu membuat kita dibenci Tuhan dan menjadi kekejian bagi hati Tuhan.
Kita bersyukur diingatkan ulang oleh penulis Kitab Amsal agar kita tidak (lagi) melakukan hal-hal negatif seperti itu maupun perbuatan negatif lainnya yang dibenci Tuhan. Kita anak-anak Tuhan yang telah ditebus oleh Yesus dengan darah-Nya harus mewujudkan hidup yang menyukakan hati Tuhan. Hal itü tidak selalu mudah dalam dunia yang sangat garang seperti sekarang ini, tetapi tak ada pilihan lain!.
Kasus-kasus yang terjadi disekitar kita misalnya penembakan antar pejabat, mutilasi, kejahatan seksual dan kasus-kasus amoral yang sangat marak di medsos, sangat relevan kita cermati dalam angel Kitab Amsal yang dikutip dalam refleksi ini.
Hidup kita sebagai anak-anak Tuhan haruslah hidup yang memuliakan Tuhan, bukan yang sebaliknya!
Editor : Sabar Subekti
Kesamaan Persepsi Guru dan Orangtua dapat Cegah Kekerasan
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Co-founder Sehat Jiwa Nur Ihsanti Amalia mengatakan, kesamaan persepsi an...