Menjadi Sahabat: Mulai dari Kursi Gereja
Mulailah dengan bersikap peka untuk tidak meletakkan tas di atas kursi gereja.
SATUHARAPAN.COM – Waktu belum genap pukul 10.00 WIB. Jarum panjang masih menunjuk angka delapan. Masih 20 menit lagi sebelum ibadah dimulai. Meski demikian, gereja sudah mulai dipenuhi orang-orang yang rindu beribadah. Gereja memang cenderung lebih penuh pada perayaan hari besar kekristenan, seperti Natal dan Paskah.
Ketika Kursi Gereja Sudah Dipesan...
Pada Minggu Adven I saya memilih duduk di sisi paling pinggir, sebelah kiri pintu masuk gereja. Selain hendak khusyuk memaknai penantian kelahiran Sang Juru Selamat, juga untuk memudahkan orang-orang yang datang belakangan untuk mengisi kursi-kursi kosong.
Sambil menunggu ibadah dimulai, saya memperhatikan sekitar saya. Di depan saya, ada kursi yang kosong–belum ditempati. Namun, sebuah tas tangan berwarna coklat diletakkan di atasnya. Di sebelah kanannya, duduk sepasang pemuda yang bercakap santai menanti ibadah dimulai. Sementara di sebelah kirinya, dua orang perempuan yang rambutnya mulai memutih, sibuk membolak-balik warta jemaat.
Seorang laki-laki berambut keriting masuk menyusuri kursi kosong tersebut, dan mengisyaratkan hendak duduk di kursi kosong berisi tas tersebut.
”Maaf, ada orang”, ujar pemuda yang duduk di sebelahnya.
Laki-laki berambut keriting itu pun keluar dari deret kursi itu. Ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling, mencari kursi kosong. Kursi di depan saya rupanya sudah disiapkan untuk orang lain.
Sampai lonceng berbunyi pertanda ibadah akan dimulai, kursi di depan saya itu masih kosong juga. Setelah lagu pertama ibadah selesai dikumandangkan, barulah seseorang datang menempati kursi itu. Ia segera disambut dengan senyum hangat sepasang pemuda yang telah menyiapkan kursi itu baginya.
Disadari atau tidak, praktik pesan-memesan kursi–booking kursi istilah kerennya–juga jamak terjadi di gereja. Inilah ironi pertama pada masa penantian Natal.
Bagaimana kita bisa menjadi sahabat bagi semua orang, kalau kita masih bertindak tidak etis dengan menyiapkan kursi bagi orang lain sehingga menyulitkan orang yang telah lebih dahulu datang?
Ketika Tas Menjelma Manusia…
Pada minggu kedua Adven, lagi-lagi saya duduk di tempat yang sama seperti minggu sebelumnya–di sisi paling pinggir, sebelah kiri dari pintu masuk gereja.
Saya melihat jam di telepon genggam saya, lima belas menit sebelum ibadah dimulai. Orang hilir mudik mencari kursi kosong. Saya mengarahkan pandangan saya ke sebelah kanan saya. Berjarak empat kursi dari saya, saya melihat kursi yang ditempati oleh sebuah tas tangan berwarna hitam. Entah apa mereknya! Di sebelahnya, seorang perempuan terlihat asik menggerak-gerakkan layar telepon genggamnya.
Orang-orang masih hilir mudik mencari kursi kosong. Saya memanggil seorang perempuan berambut sebahu, dan mengarahkan telunjuk saya ke kursi yang berisi tas hitam tersebut.
”Maaf, Bu. Ada orangnya?” Pertanyaan perempuan berambut sebahu itu mengalihkan perhatian ibu yang sedang bermain telepon genggam. Ia menoleh, lalu menurunkan tas hitam dari kursi sebelahnya ke dekat kakinya. Perempuan berambut sebahu itu pun memperoleh tempat duduk.
Disadari atau tidak, kita sering bersikap acuh tak acuh pada orang yang sedang mencari kursi gereja untuk ditempati. Inilah ironi kedua pada masa penantian Natal.
Bagaimana kita bisa menjadi sahabat bagi semua orang, kalau kita tidak memiliki kepekaan untuk menurunkan tas dari kursi gereja dan berinisiatif menawarkan kursi kosong pada jemaat lainnya?
Mulai dari Kursi Gereja
Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia menetapkan ”Menjadi Sahabat bagi Semua Orang” sebagai tema Natal 2019. Tema yang relevan dengan konteks Indonesia yang belakangan ini kerap diwarnai oleh pertikaian karena politik identitas. Sebagai negara paling majemuk di dunia, persabahatan adalah modal sosial untuk mewujudkan Indonesia yang adil dan damai.
Sejatinya, seruan menjadi sahabat adalah seruan yang bernilai tetap, melampai Natal 2019. Ia mengandaikan kesadaran dan proses yang terus-menerus. Natal 2019 adalah gongnya, tetapi upaya menghidupi hidup yang menjadi sahabat, berlaku sepanjang hayat.
Gereja hendaknya menjadi garda terdepan dalam memberi teladan tentang hidup yang menjadi sahabat bagi semua orang. Bukankah menjadi sahabat adalah teladan Yesus yang telah lahir untuk semua orang, khususnya bagi mereka tersisihkan?
Tidak perlu muluk-muluk untuk menjadi sahabat, mulailah dari hal-hal yang sederhana, tetapi berdampak. Perayaan Natal di mana umumnya jemaat akan membludak merupakan momen di mana kita dapat mempraktikkan hidup sebagai sahabat bagi sesama.
Mulailah dengan bersikap peka untuk tidak meletakkan tas di atas kursi gereja. Berinisiatiflah untuk memberikan senyuman dan mengulurkan jabatan hangat kasih mesra persaudaraan. Jika tidak ingin membawa pulang kertas ibadah atau warta jemaat, setidaknya kembalikan ke tempat semula agar meringankan kerja petugas gereja.
Menjadi sahabat adalah sebuah refleksi internal, yang mewujud lewat perilaku yang tampak terlepas apapun respons orang lain. Jadilah sabahat: mulai dari hal sederhana, mulai dari sekarang, mulai dari diri sendiri!
Editor : Yoel M Indrasmoro
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...