Menjadi Tua dan (Tidak ) Bahagia
Menjalani waktu dengan ketidakbahagiaan dan menimbulkan luka bagi sekitar, tentu saja bukanlah berkah.
SATUHARAPAN.COM – ”Panjang umurnya, panjang umurnya, panjang umurnya serta mulia….” Tentu kita hafal cuplikan lagu itu, yang sering dinyanyikan saat kita berulang tahun, memanjatkan harap agar berumur panjang dan mulia, berbahagia. Umur panjang sering dilambangkan dengan berkah, hidup dalam masa tua dengan bangga melihat keturunan yang dibesarkan dengan jerih payah. Namun, bagaimana jika umur panjang itu diberi, namun tidak dengan kebahagiaan?
Namanya Oma Liani, terakhir kali saya menjumpainya saat Christmas Carol tahun lalu. Tubuhnya yang sepuh, tampak sedih, dengan langkahnya yang tertatih rapuh. ”Apa yang mau didoakan, Oma?” tanya kami. Dia hanya terdiam. Dengan mata berkaca, anaknya mengatakan, keinginan ibunya hanyalah satu, pulang ke rumah Bapa segera. Mengapa? Karena Sang Oma mengalami kepahitan terhadap suaminya sejak awal perkawinan, dan tahun yang akan dimasuki beberapa hari kemudian adalah tahun ke-50 perkawinan dengan suaminya. Ketidakrelaan memasuki usia perkawinan emas, yang biasanya dinanti-nantikan keluarga, menghantui hidupnya.
Menjadi tua, seharusnya bahagia. Namun, ternyata tidak semua demikian.
”Bagaimana bila Papi hidupnya masih lama, dia selalu menimbulkan keonaran?” keluh seorang pelayan gereja yang memang untuk kehidupan keluarganya sehari-harinya pun dia harus berjuang, sedangkan ayahnya tidak dapat diajak berkomunikasi.
”Ayo kamu cepat cari pacar. Nenekmu sudah bersumpah tidak akan mati sebelum melihat kamu menikah!” seru seorang penatua pada anaknya yang beranjak remaja, melihat kelakuan ibunya yang sudah tua, tidak hentinya mengasari dan menghujat orang-orang di sekitarnya.
”Lalu bagaimana, Pak Pendeta… jika Ibu, yang seharusnya saya panuti, malah bertindak sebaliknya? Tidak hanya mencerca, bahkan dia pun melakukan tindak kekerasan secara fisik?” tanya seorang jemaat kepada pendetanya. Pendeta itu menjawab, ”Walaupun jahat, kita harus sayang padanya.”
Hidup memang tak terduga. Menjadi tua, ternyata tidak selalu menjadi berkah bagi diri dan keluarga. Lalu jika demikian, salahkah kita mengharapkan umur panjang?
”Mungkin Tuhan sayang kepada Oma… diberi kesempatan untuk melepaskan luka batin.”
”Mungkin Tuhan sayang pada kita semua, untuk melihat betapa sulitnya menghadapi orangtua yang jahat, supaya kita tidak melakukan tindakan yang sama kelak.”
Berjuta kemungkinan dapat saja terjadi. Waktu adalah anugerah yang Tuhan beri pada kita. Waktu tidak dapat kembali, waktu pun tidak dapat dibeli. Menjalani waktu dengan ketidakbahagiaan dan menimbulkan luka bagi sekitar, tentu saja bukanlah berkah. Namun, Sang Maha Penyayang pasti memiliki rencana yang indah dengan waktu yang diberi. Karena itu, jangan menyerah menghadapi waktu.
Email: inspirasi@satuharapan.com
Editor : Yoel M Indrasmoro
AS Laporkan Kasus Flu Burung Parah Pertama pada Manusia
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Seorang pria di Louisiana, Amerika Serikat, menderita penyakit parah perta...