Menjauhi yang Pesimis, Menghampiri yang Optimis
”Seorang pesimis adalah ia yang menemukan kesulitan dalam kesempatan; si optimis adalah ia yang melihat kesempatan dalam kesulitan” (Harry S. Truman, Presiden Amerika Serikat).
SATUHARAPAN.COM – Melihat donat saja, kaum pesimis bisa amat berbeda dengan para optimis: Si optimis melihat kenikmatan donatnya, si pesimis melihat lubangnya! Pasti Anda bilang: rugi besar si pesimis itu, tak bisa menikmati enaknya donat.
Sayangnya, para pesimis itu sulit diubah pola pikirnya. Sekali sudah dicangkokkan dalam pikirannya sesuatu yang negatif, asupan positif apa pun jarang bisa mengubah dan menjadikannya positif.
Pada awal kehidupan saya ketika memasuki dunia kerja, pernah untuk masa tertentu saya dikelilingi oleh sejumlah orang berorientasi pesimisme. Saya mendengarkan keluhan mereka, mencerna kekhwatiran mereka terhadap masa depan, nasib buruk yang mereka alami, pengaruh dan perlakuan buruk orang di sekitar mereka.
Semua itu membuat saya menjadi terbawa murung. Dalam kurun waktu beberapa minggu, saya merasakan diri saya menjadi kuyu, enggan melakukan yang baik, merasa yang baik itu amat jauh dari jangkauan, dan tentunya pada akhirnya saya tak menghasilkan sesuatu yang produktif.
Ada keengganan berbuat. Jangankan berbuat untuk orang lain, bagi diri sendiri saja terasa enggan. Kesannya: kok Tuhan jahat betul kepada dunia ini. Sampai saya terkejut saat mengevaluasi diri: apa yang telah terjadi dengan diri saya? Mengapa hidup terasa bagai menjadi kutukan, bukan menjadi berkat?
Lalu saya mencari penyebab hilangnya semangat. Tentu tidak sulit menemukan bahwa semua berawal sejak saya dikelilingi oleh orang orang pesimis, mendengarkan mereka serta menaruh simpati yang terlalu dalam kepada mereka. Itulah penyebab dunia terasa seolah terdiri atas keburukan semata. Apa yang harus dilakukan?
Sikap terbaik tentunya adalah mempengaruhi sekeliling saya untuk tidak pesimis. Namun, karena terasa sebagai tanggungjawab yang teramat berat, maka saya memilih untuk menjauhi mereka.
Setelah masa itu saya berketetapan hati untuk menjaga jarak dengan pemikiran pesimisme, serta membangun relasi yang baik dengan optimisme. Bukan menjaga jarak dengan orangnya, melainkan dengan pola pikirnya.
Alangkah besar perbedaan yang dihasilkan. Saya menolak untuk melihat lubang dalam donat, melainkan selalu berusaha untuk melihat nikmatnya donat melingkar. Saya berusaha melihat kesempatan dalam kesulitan, bukan sebaliknya.Saya mendengarkan suara-suara yang berkata, ”Si pesimis melihat lorong gelap, si optimis melihat cahaya di ujung lorong”; ”Optimisme itu bagai magnet, jika Anda terus menerus bersikap positif, maka hal baik dan orang baik akan mendekat”.
Dan tentunya dari masa ke masa, saya juga mengamati mereka yang menjalani kehidupan dengan optimis dan mereka yang pesimis. Di kemudian hari terlihat jelas, mereka yang senantiasa optimis, terlihat memancarkan keceriaan, terlihat lebih sehat, ketimbang mereka yang pesimis.
Jadi benarlah kata orang: you are what you think. Kau adalah apa yang kau pikirkan. Pancaran optimisme Anda akan tampak dari wajah Anda. Wajah kuyu biasanya merupakan pancaran pesimisme. Wajah yang terang biasanya mencerminkan kehidupan penuh harap.
Dan entah bagaimana, hidup yang ceria dan penuh harap acap kali berkaitan dengan kepuasan dalam menolong orang.
Ilustrasi berikut ini selalu muncul dalam ingatan saat terpapar dengan pemikiran optimis versus pesimis.
Seorang anak muda sedang menyusuri pantai. Di kejauhan ia melihat seorang laki yang berjalan ke arahnya, sesekali menunduk, memungut sesuatu, lalu melemparkannya ke laut. Semakin dekat, anak muda itu melihat bahwa lelaki tua itu sedang memungut dan melemparkan kembali bintang laut ke air.
Ketika cukup dekat untuk berbincang, anak muda itu bertanya, ”Kakek, apa yang sedang Kakek lakukan?”
Jawabannya: ”saya sedang menyelamatkan bintang laut agar mereka tidak mati kekeringan.”
”Kakek, bintang laut di pantai ini ada ribuan, apakah Kakek sanggup menyelamatkan semuanya?”
”Tidak,” balas sang Kakek, ”tetapi setiap bintang laut yang kembali ke laut adalah satu kehidupan yang diselamatkan.”
Sang Kakek berbuat sesuatu bagi alam lingkungannya, meskipun hanya hal kecil. Ia tidak kecut hati dengan tugas raksasa yang dihadapinya, melainkan besar hati karena ada hal kecil yang terus-menerus bisa dilakukannya. Perbuatan kecil pun adalah bentuk optimisme.
Upaya kita dalam menyelamatkan lingkungan juga merupakan bentuk optimisme, sekaligus kepedulian. Memulai untuk menolak kantong plastik, dan menggantinya dengan kantong yang dibawa sendiri dari rumah atau menggunakan kantong ”I am not Plastic” buatan orang muda Bali, adalah upaya yang kecil, dan entah kapan akan bergema di masyarakat. Namun, untuk setiap kantong plastik yang Anda tolak dari supermarket, Anda telah melakukan sesuatu untuk menyelamatkan lingkungan. Mulailah sekarang! Dengan optimisme, suatu saat pasti akan terjadi perubahan sikap dalam masyarakat.
Mari kita mencobanya!
Editor : Yoel M Indrasmoro
Kekerasan Sektarian di Suriah Tidak Sehebat Yang Dikhawatirk...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Penggulingan Bashar al Assad telah memunculkan harapan sementara bahwa war...