Menjelang Natal di Kalangan Kristen Suriah
DERIKE, SATUHARAPAN.COM – Tidak ada lampu Natal menghiasi kota Derike, kota Kristen kecil di timur laut Suriah yang tertisolasi karena perang sipil. Listrik hanya beberapa jam menyala setiap hari dan kebanyakan orang Kristen hidup dalam suasana suram.
Puluhan ribu orang Kristen telah meninggalkan kota di Provinsi Hasaka itu, karena ancaman keselamatan akibat perang sipil yang telah berlangsung tiga tahun, dan entah kapan akan berakhir. Di sana mayoritas penduduknya adalah orang Kurdi. Mereka menghadapi ancaman keselamatan, tekanan ekonomi, ditambah teror yang ditebar milisi Negara Islam Irak dan Suriah (NIIS) sejak awal tahun ini.
Penduduk Kristen berjumlah sekitar 2,2 juta atau 10 persen dari populasi Suriah. Mereka terutama tinggal di timur laut negeri itu. Kebanyakan mereka meninggalkan wilayah itu karena tuduhan oleh para pemberontah bahwa mereka mendukung pemerintah Suriah. Namun sebagian dari mereka bertahan di tanah mereka dan menolak tuduhan itu.
Warga yang pergi mengungsi dari wilayah itu diperkirakan mencapai dua pertiga, membuat kota sepi dan etalase toko kosong. Satu-satunya tanda kehidupan pada sore hari, ketika orang-orang berkumpul untuk mendiskusikan politik di salah satu dari dua warung kopi yang masih terbuka.
Makanan Secukupnya
Dajad Hagopian, 68 tahun, seorang pendeta Kristen, adalah di antara mereka yang telah menolak untuk meninggalkan kota itu. Dia memakai pakaian pendeta setiap hari meskipun hanya sekali dalam sepekan memberikan khotbah di depan beberapa orang di Gereja Ortodoks Armenia di kota itu.
"Tuhan mengajarkan kami berdoa: berilah kami makanan kami yang secukupnya, dan kami mendapatkannya," katanya. "Kami mungkin tidak mendapatkan banyak, tapi kami memiliki buah, daging dan roti, dan itu adalah semua yang kami butuhkan.
Sebagian besar wilayah kota Derike terhindar dari kekerasan perang sipil, namun hanya ada sedikit kesempatan kerja, dan mengalami kenaikan harga pangan, kekurangan listrik dan air. Warga yang tersisa tidak cukup optimistis tentang masa depan mereka.
"Kami dulu punya perayaan Natal yang besar di sini, dan sekarang lihatlah ke jalan-jalan. Apa yang masih ada untuk merayakan?" kata seorang pria berkumis tebal abu-abu. Dia hanya menyebut namanya George, untuk melindungi keselamatannya. Namun "Saya tidak bisa dan tidak akan meninggalkan rumah saya," katanya.
Milisi Kristen
Untuk melindungi warga Kristen yang tersisa di kawasan itu, Partai Uni Syriac membentuk milisi Kristen, yang disebut Sutoro, pada awal 2013. Mereka menentang rezim Presiden Suriah, Bashar Al Assad, dan memiliki seribu anggota yang rutin berpatroli dan menjaga pos pemeriksaan.
"Kami melindungi apa yang kami punya sejak ratusan tahun. Kami adalah pemilik asli tanah ini," kata salah seorang anggota milisi, yang hanya menyebut nama depannya, Aboud, juga untuk alasan keamanan.
Meskipun memiliki tradisi berabad-abad sebagai orang Kristen Timur, wilayah besar masyarakat Kristen Syriac, baru beberapa waktu lalu mereka mendapatkan status daerah otonom.
"Orang-orang tidak menganggap warga Kristen sebagai bagian dari populasi Suriah," kata Ashur Abu Sarkun, komandan umum Sutoro. "Maka hal ini sangat penting bagi kami untuk tetap terikat dengan Tanah Air. Orang tidak menginginkan warga Kristen di sekitar sini... Kami menyambut daerah otonom di mana orang-orang Kristen membuat keputusan bersama warga Kurdi dan Arab."
Sutoro sering mengirimkan anggotanya ke garis depan pertempuran untuk berjuang bersama sayap militer dari Dewan Militer Suriah, yang dipimpin oleh ahli tempur dari Swiss, Johan Cosar, yang berdarah Suriah.
Cosar menjadi anggota Angkatan Darat Swiss selama lima tahun, dan dia datang ke Suriah lebih dari dua tahun yang lalu, awalnya bermaksud bekerja sebagai wartawan.
Dia adalah komandan umum dewan militer yang bekerja bukan hanya untuk mengalahkan NIIS, tetapi untuk membantu melindungi hak-hak warha Kristen Syriac. "Akar kami di sini," katanya di garis depan pertahanan, di Tel Hamis, di timur laut Suriah.
"Jika perang di Suriah telah selesai dua tahun yang lalu, kita sebagai orang-orang tidak akan menjadi apa-apa, karena kita tidak memiliki organisasi, kekuatan apapun tidak ada," katanya. "Masyarakat internasional tidak tahu apa-apa tentang orang-orang Syriac. Sekarang semua orang memanggil kami Syriac, tidak hanya menyebut orang Kristen," kata dia.
"Jika kami sudah mendapatkan hak kami di sini, jika kami mendapatkan keamanan di sini, jika kami memiliki kekuatan yang benar-benar kuat, maka saya bisa mengatakan, oke, misi saya selesai. Tapi sekarang hal itu belum terpikirkan."
Sumber: www.ankawa.com
Otoritas Suriah Tunjuk Seorang Komandan HTS sebagai Menteri ...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Penguasa baru Suriah telah menunjuk Murhaf Abu Qasra, seorang tokoh terkem...