Menkes Minta Produksi Vaksin untuk Difteri Dipercepat
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Menteri Kesehatan RI, Nila Moeloek meminta PT Biofarma mempercepat produksi vaksin (DPT-HB-Hib, DT, Td). Stok vaksin saat ini hanya cukup untuk Outbreak Response Immunization (ORI) pada 2017.
''Kami kemarin sore rapat dengan Biofarma, ketersediaan vaksin untuk sisa tahun 2017 ini mencukupi untuk ORI. Kami meminta untuk segara dibuat lagi sehingga Januari 2018 bisa mulai (ORI) lagi,'' kata Menkes Nila di Kediaman di Jakarta Selatan, Minggu (10/12).
ORI akan dilakukan secara bertahap yang akan diawali Senin (11/12) di 12 kabupaten/kota di 3 provinsi (DKI Jakarta, Jawa barat, dan Banten). Selanjutnya akan dilakukan pada Januari dan Juli 2018.
''Kita fokus kepada 3 provinsi dulu. Kami meminta Biofarma membuat vaksin ini lebih dipercepat. Jadi tahun 2017 untuk ketersediaan vaksin, kami meminta untuk lebih difokuskan,'' kata Menkes Nila, dilansir situs depkes.go.id.
Pada kesempatan lain, Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Mohamad Subuh mengatakan, pihaknya sudah berkomunikasi dengan WHO di India dan Geneva untuk membantu dalam hal mencari obat difteri Anti Difteri Serum (ADS). WHO sudah merespons akan menyiapkan yang Indonesia perlukan.
ADS lebih berperan untuk menurunkan membran putih, biasaya dalam waktu 3 sampai 5 hari bisa turun. Selain ADS, perlu antibiotik terutama bagi orang yang dekat dengan penderita.
Imunisasi difteri, kata Menkes Nila, dilakukan saat bayi berusia 2 bulan setelah lahir, 3 bulan, dan 4 bulan, kemudain diulang pada usia 18 bulan. Setelah itu, imunisasi kembali diberikan saat anak kelas 1, kelas 2, dan kelas 5 sekolah dasar.
''Ini akan kami lakukan, dan saat ini pengulangan akan dilakukan kepada anak-anak yang berusia 1 sampai 18 tahun,'' kata Menkes Nila.
Selain itu, Menkes menjelaskan perbedaan imunisasi difteri dan campak. Imunisasi campak akan memberikan imunitas pada tubuh dengan menetap. Lain halnya dengan imunisasi difteri yang hanya memberikan imunitas sementara, karena itu imunisasi difteri harus dilakukan secara berulang.
''Kami mencoba lakukan penelitian antibodi masyarakat, ternyata memang rendah, hanya mencapai sekitar 60 persen. Saya kira ini membuktikan bahwa telah terjadi gap imunisasi di masyarakat. Dan memang setelah kita coba melihat orang yang tidak punya antibodi mungkin salah satunya karena penolakan atau tidak lengkapnya melakukan imunisasi,'' kata Nila.
Karena ORI merupakan program Kemenkes, maka imunisasi diberikan secara gratis di Puskesmas. Masyarakat terutama orangtua di wilayah yang akan dilakukan ORI diharapkan memanfaatkan kesempatan ini untuk memberikan imunisasi difteri.
Apa itu difteri?
Difteri merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium Diptheriae. Mudah menular melalui percikan ludah penderita yang dikeluarkan saat bersin atau meludah.
Gejalanya berupa demam yang tidak begitu tinggi, sekitar 38ºC, timbulnya pseudomembran atau selaput di tenggorokan yang berwarna putih keabu-abuan dan mudah berdarah jika dilepaskan.
Pasien akan merasakan sakit ketika menelan, dan dalam sejumlah kasus disertai pembesaran kelenjar getah bening pada leher dan pembengkakan pada jaringan lunak leher (bullneck).
Penyakit ini dapat menyebabkan kematian akibat sumbatan saluran napas atas atau toksinnya yang bersifat patogen, selain itu dapat menimbulkan komplikasi miokarditis atau peradangan pada lapisan dinding jantung bagian tengah. (bbc.com)
Laporan Ungkap Hari-hari Terakhir Bashar al Assad sebagai Pr...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Presiden terguling Suriah, Bashar al Assad, berada di Moskow untuk menghad...