Menkeu: Kartel Perdagangan Ibarat Penyakit Jantung
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan praktik kartel yang masih mewabah ibarat penyakit jantung yang berbahaya sehingga harus dibersihkan untuk menjaga budaya perdagangan tetap sehat.
"Praktik kartel di bidang perdagangan dan industri itu penyakit berbahaya, sama seperti di tubuh manusia, dia adalah penyumbatan di jantung," kata Sri Mulyani dalam acara rakernas Kementerian Perdagangan di Jakarta, Rabu.
Sri Mulyani mengharapkan upaya kartel perdagangan, yang bisa membuat biaya tinggi dan menghambat kinerja ekonomi, dapat dihilangkan karena tindakan itu telah membatasi pasokan barang dan semangat berkompetisi.
"Kementerian Perdagangan punya peranan penting untuk mengatasi ini agar Indonesia bisa memupuk industri dalam negeri menjadi kuat dan kompetitif," katanya.
Dalam acara tersebut, Sri Mulyani juga mengharapkan sinergi antara Kementerian Keuangan dan Kementerian Perdagangan dapat terus terjalin, terutama terkait dengan penyusunan tarif maupun kebijakan ekspor impor lainnya.
Ia juga meminta Kementerian Perdagangan dalam merumuskan kebijakan tidak berpikir satu dimensi dan hanya bermanfaat jangka pendek yang tidak memberikan manfaat bagi masyarakat secara keseluruhan.
Salah satunya terkait dengan harmonisasi tarif bea masuk antara industri hulu dan hilir, yang dalam jangka pendek bisa membebani masyarakat dan memberikan dampak tidak langsung terhadap kinerja konsumsi.
"Konsumsi itu mesin pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, kalau Anda ingin tarif naik atau turun, tolong dipertimbangkan keseluruhan `linkage`-nya sehingga bisa dibuat perhitungan benefit dan `cost` siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan," kata Sri Mulyani.
Ia menjelaskan bahwa saat ini kebijakan yang menguntungkan satu industri belum tentu menguntungkan bagi industri yang lain sehingga apa pun kebijakan yang dihasilkan, sebaiknya bermanfaat agar dapat menyejahterakan rakyat.
"Kalau Anda melindungi satu industri, ada yang membayar ongkos. Kalau yang membayar itu rakyat miskin, kita tidak bisa menurunkan tingkat kemiskinan. Kalau mereka tidak punya daya beli, tidak ada yang membeli barang itu," ujarnya.
Sri Mulyani juga menyampaikan apresiasi atas membaiknya neraca perdagangan yang mengalami surplus dalam 2 tahun terakhir, dengan surplus tercatat mencapai 7,6 miliar dolar AS pada tahun 2015 dan sebesar 8,8 miliar dolar AS pada tahun 2016.
Namun, dia mengingatkan pencapaian itu diraih karena basis ekspor dan impor yang rendah akibat masih lesunya permintaan di negara maju maupun negara berkembang dan fluktuasi harga komoditas global. (Ant)
Editor : Eben E. Siadari
Kremlin: AS Izinkan Ukraina Gunakan Senjata Serang Rusia Mem...
MOSKOW, SATUHARAPAN.COM-Kremlin mengatakan pada hari Senin ( 18/11) bahwa pemerintahan Presiden Amer...