Loading...
EKONOMI
Penulis: Sabar Subekti 10:45 WIB | Kamis, 17 Februari 2022

Menkeu: Pemulihan Ekonomi 2023 Mengandalkan Sumber Non APBN

Menteri Keuangan, Sri Mulyani, memberikan keterangan pers terkait hasil sidang kabinet paripurna di Kantor Presiden, Jakarta, pada Rabu, 16 Februari 2022. (Foto: BPMI Setpres/Lukas)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM-Kebijakan ekonomi makro tahun 2023 akan diarahkan untuk mendorong pemulihan yang berasal dari sumber-sumber pertumbuhan yang tidak hanya tergantung pada APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara).

Untuk itu, pemerintah akan menyusun anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) tahun 2023 dengan sangat hati-hati dengan tetap memperhatikan ancaman pandemi serta tantangan-tantangan baru seperti inflasi global.

Menteri Keuangan, Sri Mulyani, dalam keterangannya selepas Sidang Kabinet Paripurna yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta, pada Rabu (16/2), mengatakan, “APBN tetap akan suportif, namun sekarang peranan dari non-APBN menjadi penting,” katanya

Menurut Sri Mulyani, saat ini perbankan, dengan dana pihak ketiga mencapai Rp 7.250 triliun dan loan to deposit ratio hanya 77 persen, memiliki ruang untuk memulai mendukung pemulihan ekonomi dengan menyalurkan kredit. Pertumbuhan kredit saat ini juga sudah mulai pulih dan tumbuh di angka 5,2 persen, dari sebelumnya mengalami kontraksi pada tahun lalu.

Selain itu, sumber pertumbuhan juga berasal dari pasar modal, dalam hal ini pasar saham dan obligasi. Pasar saham mencapai Rp 7.231 triliun dan selama ini naik 3,77 persen, sementara pasar obligasi yang mencapai Rp 4.718 triliun naik 9,65 persen.

“Bisa menjadi sumber bagi pemulihan ekonomi dengan perusahaan-perusahaan bisa melakukan IPO rights issue maupun mengeluarkan obligasi. Ini karena investor domestik kita sekarang sudah mencapai 7,5 juta,” katanya.

Level Sebelum Pandemi

Menteri Keuangan menjelaskan bahwa Indonesia termasuk negara yang pemulihan ekonominya sudah bisa mencapai level sebelum pandemi COVID-19, bahkan di atasnya. Hal tersebut didukung oleh pemulihan baik dari sisi permintaan seperti konsumsi, investasi, dan ekspor, maupun dari sisi produksi yaitu manufaktur, perdagangan, dan konstruksi.

“Ini adalah suatu pemulihan yang cukup cepat hanya lima kuartal kita sudah bisa kembali ke GDP sebelum terjadi musibah COVID-19. Banyak negara tetangga ASEAN maupun emerging country di dunia yang belum mencapai pre-Covid level, bahkan mereka GDP-nya masih ada di sekitar 94 sampai 97 persen,” katanya.

 

Menteri Keuangan menjelaskan bahwa Presiden menekankan agar pemulihan ekonomi harus didasarkan pada produktivitas yang tinggi. Produktivitas yang tinggi hanya bisa muncul dari perbaikan sumber daya manusia (SDM), infrastruktur, dan kualitas birokrasi serta regulasi. Hal tersebut yang kemudian menjadi pokok bagi Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF).

Pemerintah juga mengidentifikasi pusat-pusat atau tren baru dari pertumbuhan ekonomi yang berasal dari beberapa hal. Pertama, sisi pola hidup normal baru sesudah pandemi, terutama berbasis kesehatan. Kedua, reformasi di bidang investasi dan perdagangan. Transformasi di sektor manufaktur baik itu industri mesin, elektronik, alat komunikasi, kimia, dan hilirisasi mineral menjadi sangat penting untuk menjadi roda atau lokomotif bagi pemulihan ekonomi.

“Ketiga, yang perlu untuk terus ditingkatkan adalah kesadaran ekonomi hijau di mana nilai ekonomi yang berasal dari karbon dan teknologi energi terbarukan akan menjadi sumber atau diandalkan menjadi sumber pertumbuhan yang baru. Ini yang akan didukung oleh APBN untuk tahun 2023, di mana kita berharap pertumbuhan ekonomi tadi seperti disampaikan ada dalam range 5,3 hingga 5,9 (persen),” katanya.

Inflasi dan Dinamika Global

Tentang kondisi global yang harus diwaspadai menurut Menteri Keuangan adalah lonjakan inflasi dunia, terutama di negara-negara maju. Seperti diketahui, Amerika Serikat mencatatkan inflasi sebesar 7,5 persen pada bulan Februari ini dan hal tersebut akan mendorong kenaikan suku bunga dan pengetatan likuiditas.

“Tentu ini akan memberikan dampak spill over atau rambatan yang harus diwaspadai, yaitu dalam bentuk capital flow akan mengalami pengaruh negatif dari kenaikan suku bunga, dan juga dari sisi yield atau imbal hasil dari surat berharga, yang tentu akan mendorong biaya untuk surat utang negara,” jelasnya.

Selain di negara-negara maju, inflasi juga terjadi di negara-negara berkembang seperti Argentina dengan inflasi mencapai 50 persen, Turki mencapai 48 persen, kemudian Brasil 10,4 persen, Rusia 8,7 persen, dan Meksiko 7,1 persen.

“Kenaikan inflasi yang tinggi tentu akan bisa mengancam proses pemulihan ekonomi karena daya beli masyarakat tentu akan tergerus. Ini yang akan diwaspadai,” tandasnya.

Editor : Sabar Subekti


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home