Menkopolhukam: Budaya di Papua Harus Dipertahankan
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Tedjo Edhy Purdijatno mengatakan budaya yang sudah ada di Papua selama berabad-abad harus dipertahankan.
"Budaya yang ada di Papua tidak boleh ditinggalkan. Saat ini tugas pemerintah adalah bagaimana meningkatkan kehidupan dan kesejahteraan di sana," ujar Tedjo di sela diskusi bertema "Suara untuk Papua" di Jakarta, hari Rabu (29/7).
Namun, Tedjo menekankan, kesejahteraan itu bukan berarti masyarakat Papua, misalnya, harus memakai jas atau harus mengubah kebiasaannya yang telah dilakukan secara turun-temurun.
"Di negara lain, masyarakatnya bisa bebas berpakaian sesuai adat di tempat umum bahkan di acara resmi kenegaraan. Jadi tidak ada masalah, karena itu dalam hal budaya masyarakat Papua jangan disamakan dengan daerah lain," katanya.
Dia pun bercerita saat dirinya diundang dalam acara resmi di Papua Nugini. Dalam kegiatan tersebut para undangan yang datang mengenakan pakaian adat masing-masing.
"Bahkan perempuannya mengenakan pakaian adat yang terbuka. Memang budayanya seperti itu. Jadi tidak ada masalah," tutur Tedjo.
Selain itu dia mencontohkan dalam hal kebiasaan warga mengunyah sirih. Hal tersebut bukanlah persoalan, hanya Papua pemerintah memberikan imbauan agar tidak membuang air liur sembarangan demi kebersihan bersama.
Tedjo melanjutkan, tugas pemerintah saat ini adalah bagaimana menyelaraskan kesejahteraan warga Papua dengan kebudayaan yang ada di sana.
Oleh karena itu, dalam kebijakannya, pemerintah berjanji akan selalu melibatkan warga setempat.
"Pembangunan harus dilakukan di Papua, bukan hanya di Jawa dan Sumatera saja misalnya, tetapi hal itu perlu dilakukan dengan seimbang," ujar menteri yang pernah menjabat sebagai Kepala Staf TNI Angkatan Laut periode 2008-2009 itu.
Presiden akan Punya Rumah Singgah di Papua
Dalam diskusi tersebut Tedjo Edhy Purdijatno juga mengatakan Presiden Joko Widodo akan mempunyai sebuah rumah singgah (guest house) di Papua agar lebih dekat dengan masyarakat di daerah tersebut.
"Pihak istana yang meminta karena Presiden Joko Widodo bisa tiga atau empat kali ke sana dalam setahun. Tempat itu digunakan untuk bekerja dan lebih dekat dengan masyarakat," kata Tedjo.
Tedjo melanjutkan lokasi rumah singgah ini masih dalam kajian oleh tim khusus.
Untuk gambaran bagaimana nantinya rumah tersebut, dia menuturkan tidak akan semewah tempat bekerja presiden lainnya, seperti misalnya Istana Bogor.
"Tidak seperti Istana Bogor, tidak perlu terlalu mewah. Yang penting bagaimana presiden bisa dekat dengan rakyat dan masyarakat mudah untuk bertemu dengan beliau," ujarnya.
Sementara terkait keamanan presiden selama di sana, Tedjo mengatakan tidak ada masalah karena menurutnya Presiden Joko Widodo dicintai oleh warga Papua.
Hal tersebut telihat dari tingginya suara dari warga Papua untuk presiden ketika masa pemilu di tahun 2014. "Dukungan terbesar justru datang dari Papua," katanya.
Selain itu, menurut dia, Presiden Joko Widodo secara pribadi juga tidak pernah mencemaskan keamanannya selama di Papua.
"Selama ini bapak presiden selalu turun dekat dengan warga Papua. Beliau tidak pernah merasa ada hal yang mengancam dirinya di sana," tutur Tedjo.
Diskusi "Suara untuk Papua" juga dihadiri oleh Menteri Perhubungan Indonesia periode 2009-2011 Freddy Numberi dan Duta Besar Indonesia untuk Filipina sekaligus mantan panglima Kodam VII/Trikora atau sekarang dikenal sebagai Kodam XVII/Cendrawasih letnan jenderal purnawirawan Johny Lumintang. (Ant)
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...