Menlu Tolak Tuduhan Solomon tentang Pelanggaran HAM di Papua
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi, menolak tudingan Perdana Menteri Kepulauan Solomon, Manasseh Sogavare yang mengatakan Indonesia melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua.
Retno Marsudi mengatakan posisi Indonesia dengan tegas menolak pernyataan-pernyataan Solomon Islands yang disampaikan di Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) dengan menyampaikan data yang sebenarnya.
"Kalau mereka menuduh mengenai masalah human rights, kita sampaikan semua datanya. Mungkin enggak sih di negara dengan sistem demokrasi yang penuh dan komitmen kita sangat diakui dunia di bidang human rights, terus kemudian terjadi hal-hal yang dituduhkan oleh mereka dan kita tidak address?,” kata Retno dalam sebuah wawancara dengan televisi di Indonesia hari ini (28/9).
Ia mengatakan,Indonesia sesudah menandatangani sembilan convention mengenai human rights, delapan di antaranya sudah diratifikasi. Karena itu, ia menganggap tuduhan Solomon Islands tidak berdasar dan tidak mungkin terjadi.
"Itu merupakan suatu hal yang tidak mungkin terjadi. Yang kita sayangkan tuduhan-tuduhan tersebut diputar terus, diputar terus dan disinilah kita harus berdiri tegak membela Negara Kesatuan Republik Indonesia," kata dia.
Pekan lalu enam negara Pasifik memanfaatkan kesempatan berpidato di Sidang Umum PBB dengan mengangkat isu pelanggaran HAM di Papua. Enam negara itu, Solomon Islands, Vanuatu, Nauru, Marshall Islands, Tuvalu dan Tonga.
Salah satunya, Solomon Islands, melalui PM-nya pada 23 September, mengatakan pelanggaran HAM di Papua untuk memperjuangkan penentuan nasib sendiri adalah dua sisi mata uang yang sama.
"Banyak laporan pelanggaran HAM di Papua menekankan melekatnya antara hak untuk menentukan nasib sendiri yang menghasilkan pelanggaran langsung HAM oleh Indonesia dalam upaya untuk meredakan segala bentuk oposisi," kata dia.
Hal yang kurang lebih sama disampaikan juga oleh Marshall Islands, Hilda Heine, Presiden Nauru, Baron Divavesi Waqa, Perdana Menteri Tonga, Samiuela 'Akilisi Pohiva, Perdana Menteri Vanuatu, Charlot Salwai Tabimasmas, dan Perdana Menteri Tuvalu, Enele Sosene Sopoaga.
Pada kesempatan tersebut, Indonesia telah memanfaatkan hak untuk menjawab pernyataan itu. Diplomat Indonesia di PBB,
Nara Masista Rakhmatia, mengatakan tindakan para pemimpin Pasifik mengangkat isu Papua merupakan pelanggaran terhadap piagam PBB dengan mencampuri kedaulatan dan integritas teritorial negara lain.
Menurut dia, pernyataan-pernyataan negara-negara Pasifik tersebut merupakan retorika dan manuver politik, untuk mengalihkan perhatian dari masalah dalam negeri mereka. Pernyataan-pernyataan bermotivasi politik itu, kata dia, didesain untuk mendukung kelompok separatis yang telah terlibat dalam berbagai aksi terorisme bersenjata yang menyerang anggota masyarakat sipil dan militer.
Nara Masista juga menekankan bahwa posisi Indonesia di berbagai lembaga HAM internasional diakui dunia. Indonesia termasuk pendiri Dewan HAM PBB dan juga termasuk pendiri Komisi HAM Organisasi Kerjasa Islam (OKI).
Ia juga menyindir negara-negara Pasifik itu dengan mengatakan Indonesia telah meratifikasi delapan dari sembilan instrumen HAM internasional ke dalam undang-undang dalam negeri, sementara Solomon baru empat dan Vanuatu lima. Ditambahkannya pula bahwa Komnas HAM di Indonesia berjalan sangat aktif. Demokrasi berfungsi secara penuh pada semua level.
Atas jawaban diplomat Indonesia tersebut, diplomat Solomon Islands kembali memanfaatkan hak menjawab. Diplomat itu mengatakan, walaupun upaya pemerintah RI menyelenggarakan mekanisme HAM di Indonesia seperti juga meratifikasi konvensi terhadap penyiksaan, tetapi belum ada upaya untuk menjelaskan penyiksaan yang terjadi dan melakukan pencegahan dan pemberantasan terhadapnya.
Diplomat itu juga mengatakan bahwa pihaknya menerima berbagai laporan dari negara anggota PBB lainnya, termasuk juga kelompok-kelompok masyarakat, tentang pelanggaran HAM di Papua dan karena itu menyerukan agar PBB mengutus pelapor khusus untuk melakukan penyelidikan ke Papua.
"Bagaimana mungkin negara-negara di PBB, sebagai pembela HAM, membiarkan kekerasan terhadap 500 ribu rakyat Papua dalam 50 tahun terakhir?," kata diplomat itu.
Atas pernyataan ini, Nara Masista kembali memberikan jawaban dengan mengatakan bahwa pernyataan-pernyataan tersebut didasarkan pada data yang salah.
Editor : Eben E. Siadari
Kepala Militer HTS Suriah Akan Membubarkan Sayap Bersenjata
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Kepala militer "Hayat Tahrir al-Sham" (HTS) Suriah yang menang m...