Menteri Agama: Penting, Moderasi Agama
CISARUA, SATUHARAPAN.COM – Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menegaskan pentingnya moderasi agama, ketika tampil sebagai narasumber dalam kegiatan Capacity Building yang digelar oleh Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama.
“Moderasi itu artinya moderat, lawan dari ekstrem. Kita tidak ingin di republik tercinta ini ada paham apalagi pengamalan agama yang ekstrem atau berlebihan,” kata Menag di Cisarua Bogor, Rabu (7/3).
Ia menuturkan, semua agama yang ada saat ini dipahami melalui kitab suci karena semua agama rujukan utamanya adalah kitab suci.
“Kitab suci itu adalah teks, selain kitab suci, Tuhan juga menurunkan orang-orang suci, para teladan (role model), contoh nilai-nilai kebajikan melalui para nabi dan santo,” Menag menambahkan.
“Tapi karena sekarang kita tidak hidup bersama mereka, cara kita memahami orang-orang suci itu juga dari riwayat-riwayat mereka, dan itu adalah teks. Jadi teks itulah satu-satunya tempat kita memahami esensi ajaran agama,” kata Menag di hadapan 431 peserta.
Menag menambahkan, dalam memahami teks agama saat ini terjadi kecenderungan terpolarisasinya pemeluk agama dalam dua kutub ekstrem. Satu kutub terlalu mendewakan teks tanpa menghiraukan sama sekali kemampuan akal/nalar, “Apa yang tertulis di teks itulah yang disimpulkan, dipahami lalu kemudian diamalkan tanpa memahami konteks. Jadi betul-betul bertumpu kepada teks saja. Beberapa kalangan menyebut kutub ini sebagai golongan konservatif.”
Kutub ekstrem yang lain, sebaliknya, terlalu mendewakan akal pikiran sehingga mengabaikan teks itu sendiri. Liberalisme, terlalu bebas dalam memahami nilai-nilai ajaran agama sehingga kemudian mengabaikan bahkan meninggalkan teks. “Ini juga sama ekstremnya, sama berbahayanya,” ia mengingatkan.
Karena itu, salah satu misi Kementerian Agama adalah agar agama dipahami dan diamalkan oleh seluruh bangsa dengan paham dan bentuk pengamalan yang moderat. “Agar mereka yang berada di dua kutub itu kembali ke tengah-tengah, itulah moderat,” kata Menag.
Selain moderasi agama, Menag juga mengatakan seluruh program Kementerian Agama juga ditujukan untuk mencapai kesadaran pada umat beragama agar paham agama yang dianutnya tidak bertentangan dengan nilai-nilai kebangsaan, demikian juga sebaliknya.
“Dalam konteks Indonesia, beragama itu hakikatnya adalah berindonesia dan berindonesia adalah wujud dari pengamalan keagamaan yang dilakukan oleh setiap warga negara,” Menag Lukman menjelaskan.
“Jadi kalau saya mengamalkan ajaran agama, apa pun agama saya, maka bentuk pengamalan agama saya itu adalah manifestasi dari pengamalan saya sebagai warga negara Indonesia, demikian juga sebaliknya,” ia menambahkan.
Menurut Menag, pemahaman seperti ini membawa konsekuensi, misalnya tidak boleh ada agama yang secara esensial bertentangan dengan sendi-sendi kehidupan dalam berbangsa dan bernegara. Menag mencontohkan paham keagamaan yang menganggap menghormat bendera Merah Putih itu syirik.
Pemahaman seperti itu, menurut Menag, tentu bertentangan dengan nilai-nilai kebangsaan. Demikian juga sebaliknya, ada paham kebangsaan yang secara prinsipil bertentangan dengan nilai-nilai agama.
“Kementerian Agama harus hadir untuk mengawal hal tersebut. Wilayah Indonesia ini wajib kita jaga agar senantiasa dalam keadaan damai, di mana bangsa dan masyarakatnya rukun penuh dengan kasih sayang satu dengan yang lain, seperti jati diri kita penuh dengan kegotongroyongan tidak ada konflik tidak ada sengketa karena hanya dalam situasi seperti itu sajalah nilai-nilai agama itu bisa diaplikasikan,” Menag menjelaskan.
Karena itu, kepada para peneliti dan widyaiswara yang hadir, Menag mengajak agar senantiasa menjadikan moderasi agama serta kesadaran bahwa beragama itu hakikatnya berindonesia sebagai orientasi/acuan agar eksistensi Kementerian Agama dapat tetap terjaga dan terpelihara. (kemenag.go.id)
Editor : Sotyati
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...