Menyanyi di Gereja Perlu Keahlian, Bukan Hanya Buka Suara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Pendeta Rasid Rachman MTh dari Sekolah Tinggi Teologi (STT) Jakarta mengungkapkan sejak tahun 1990-an sampai sekarang, literatur musik gereja banyak ditulis oleh teolog, sehingga menimbulkan kesan ibadah itu persoalan iman dan hati. Padahal, kesan itu salah. Pendidikan musik dan ibadah itu sama-sama penting.
Pendeta yang telah melayani sejak 1992 di Gereja Kristen Indonesia (GKI) di beberapa wilayah di Indonesia itu menyoroti musik gereja terkait dengan ajaran dan tradisi gereja serta pemusik dan jenis musik yang dilahirkan, di mana ketiga hal itu saling terkait. Rasid menyampaikannya dalam acara Konsultasi Nasional Musik Gereja 2014 yang bertemakan “Nyanyikanlah Nyanyian Baru bagi Tuhan”, yang diselenggarakan Yayasan Musik Gereja (Yamuger) di Graha Bethel, Cempaka Putih, Jakarta Pusat, Senin (16/6).
“Memang betul ibadah itu persoalan iman dan hati, tetapi pada saat yang sama, orang-orang jadi mengesampingkan pendidikan musik dalam gereja. Justru jika kita memiliki hati dan iman yang betul-betul ingin beribadah, kita juga perlu menekankan pendidikan musik,” kata Rasid.
Tantangan zaman mendorong perlunya penyelenggaraan kembali dan pembinaan secara khusus bagi pemusik gereja. Tantangan bermusik dalam gereja adalah mengatur penampilan para petugas musik dalam beribadah agar tidak berlebihan.
“Ada ilmu yang mengajarkan kita bagaimana menyelenggarakan ibadah supaya sound system tidak terlalu besar volumenya, instrumen musik yang digunakan tidak berlebihan, mengatur orang bernyanyi, misalnya orang yang tidak bisa bernyanyi tidak mengeluarkan suara terlalu keras. Bahkan ketika ada penyanyi profesional yang hendak membawakan lagu pujian di gereja, harus tahu seperti apa konsepnya,” urai Rasid.
Pada 1998 di Yale Institute of Sacred Music, di Amerika Serikat, diadakan pertemuan serupa dihadiri para tokoh di bidang musik gereja. Ada tiga rekomendasi yang mereka berikan bagi pelayan musik. Pertama, formasi spiritual agar tidak terjadi konflik antarpelayan musik. Kedua, formasi liturgi agar mereka memiliki wawasan, tahu sejarah, dan teologi liturgi itu sendiri. Ketiga, formasi musikal.
Lebih jauh Rasid membahas musik memang bergantung pada selera. Tetapi, ketika berbicara tentang musik gereja, hal itu terkait dengan tentang pembinaan, pengajaran umat, dan pemberitaan kepada dunia, maka unsur komunalnya begitu tinggi.
“Kalau ditanya saya suka musik apa, saya jawab musik Benyamin S dan tembang kenangan. Tapi ketika bicara tentang nyanyian jemaat, itu nyanyian orang banyak (community singing) yang di dalamnya terdapat unsur alkitabiah, ayatiah. Musik yang saya sukai bukan community singing sehingga tidak semua orang bisa menyanyikannya,” tuturnya.
Begitu juga ukuran kualitas suatu lagu, jemaat sendiri yang mengukur. Ketika sebuah lagu baru dilahirkan dan mampu bertahan tidak hanya satu atau dua tahun dinyanyikan jemaat, tetapi sampai beberapa masa, berarti kualitas lagunya baik.
Maka, Rasid begitu menekankan perlunya sekolah penyelenggara pembinaan musik gereja terintegrasi dengan perayaan ibadah.
Editor : Sotyati
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...