Menyoal Istilah Mayoritas-Minoritas dalam Agama
• Istilah mayoritas-minoritas berasal dari dunia politik, jangan gunakan di ranah agama.
• Menggunakan dikotomi mayoritas-minoritas dalam hubungan antarumat berbeda agama, sangat berbahaya.
SATUHARAPAN.COM – Dalam wacana keagamaan, khususnya menyangkut status dan hubungan antarumat beragama di Indonesia, sangat sering kita menemukan penggunaan istilah “mayoritas” dan “minoritas” (atau besar dan kecil dalam jumlah angka). Dalam lingkup nasional, istilah mayoritas dipergunakan untuk umat Islam sedangkan minoritas untuk umat beragama Hindu, Buddha, Kristen dan Kong Hu Cu. Ini karena jumlah pemeluk Islam terbanyak, yaitu antara 80-85 % dari seluruh penduduk Indonesia, dan sisanya adalah penganut agama lain tersebut. Dengan begitu, umat Islam sering disebut sebagai umat mayoritas dan Islam sebagai agama mayoritas. Implikasinya adalah umat dan agama Islam mendapat fasilitas yang “mayor” atau besar dibanding umat dan agama lain.
Penggunaan mayoritas dan minoritas memiliki implikasi kekuasaan sosial-politis. Sesuatu yang berjumlah besar dianggap atau menganggap diri berkuasa, atau memiliki hak untuk menentukan situasi, sedangkan yang minoritas wajib mengikuti atau tunduk. Berhubungan dengan ini maka di Indonesia ada persepsi yang diterima dan dianggap wajar oleh banyak kalangan baik umat yang ‘mayoritas’ maupun kalangan pemerintah, yaitu bahwa yang mayoritas melindungi yang minoritas sedangkan yang minoritas wajib menghormati yang mayoritas. Pemahaman ini misalnya diungkapkan Prabowo Subianto sebagai capres dalam Pilpres 2014 ketika menyampaikan pidato “Manifesto Politik”-nya.
Istilah Mayoritas-Minoritas Berasal dari Dunia Politik
Sesungguhnya, istilah mayoritas-minoritas berasal dari lingkungan politik, khususnya dipergunakan di parlemen sehubungan dengan perolehan kursi atau suara dari partai atau kelompok partai tertentu. Perolehan kursi atau suara terbanyak, membuat satu partai atau koalisinya dijuluki kelompok mayoritas di parlemen. Status mayoritas ini membuat mereka menjadi pihak yang berkuasa dan menentukan kebijakan atau keputusan-keputusan yang dihasilkan oleh parlemen. Di pihak lain, partai dengan kursi sedikit atau minoritas wajib mengikuti dan menerima saja.
Ini misalnya terjadi ketika PDIP, Hanura dan PKB sebagai koalisi oposisi harus walkout dari Sidang Paripurna DPR dalam membahas Revisi Undang-undang MPR, DPR, DPD, DPRD (RUU MD3). Ada penolakan dari partai koalisi sebagai minoritas tetapi keputusan yang diambil dan disetujui mayoritas tetap sah. Karena kebutuhan menjadi kelompok mayoritas dalam parlemen, partai-partai koalisi pendukung Jokowi-JK, yaitu PDIP, Hanura dan PKB, berusaha mendapatkan dukungan partai lain dari koalisi Merah-Putih pendukung Capres Prabowo untuk menjadi “kawan” di parlemen nanti sehingga menjadi mayoritas. Dalam parlemen, pihak mayoritas berkuasa dan menentukan. Inilah politik-demokrasi dan di sini orang sering menyebut ungkapan “suara mayoritas adalah suara rakyat, dan suara rakyat adalah suara Tuhan”. Dalam agama ungkapan itu dapat berlaku sebaliknya, yaitu suara rakyat bukan suara Tuhan. Atau bahwa suara satu orang (nabi) dapat menjadi suara Tuhan di tengah rakyat.
Istilah mayoritas-minoritas sejatinya dipergunakan dalam terminologi politik yang berhubungan secara khusus dengan ‘power” atau kekuasaan. Kekuasaan ini biasanya memiliki potensi buruk yaitu diskriminasi dan pengabaian terhadap hak-hak kalangan “minoritas”. Jika demikian, layakkah istilah mayoritas-minoritas dipergunakan dalam hidup beragama? Bukankah dengan begitu, agama dituntun ke kancah politik praktis dengan paradigma dan intrik-intrik yang justru tidak agamis. Apakah layak, dalam kehidupan beragama, ada pihak yang berkuasa dan menentukan, sementara di pihak lain ada yang dikuasai dan ditentukan “nasib”-nya? Apakah layak bahwa ada pihak yang menjadi pelindung dan yang dilindungi, apalagi jika pihak yang dilindungi wajib memenuhi syarat yang diberikan pelindungnya? Bukankah umat beda agama memiliki hak yang sama untuk dilindungi oleh negara terlepas dari apakah jumlahnya banyak atau sedikit? Bukankah umat beragama sama-sama perlu saling melindungi dari musuh agama yang sebenarnya yaitu kejahatan?
Bahaya Dikotomi Mayoritas-Minoritas
Ada bahaya yang mengancam kehidupan beragama khususnya dalam rangka hubungan antarumat berbeda agama ketika istilah mayoritas-minoritas dipergunakan, yaitu diskriminasi. Diskriminasi sebenarnya sudah menunjuk kepada ketidakpantasan, tindakan tidak etis atau tidak baik bagi manusia dan di dalam hubungan antarsesama. Di dalamnya terdapat pengabaian terhadap atau pelanggaran hak-hak asasi manusia. Ini tentu bertentangan dengan nilai-nilai luhur agama. Hal buruk ini sudah terjadi dalam banyak kasus konflik, penghambatan dan bahkan penganiayaan dari satu kelompok umat agama yang merasa “mayoritas” terhadap kelompok yang dianggap “minoritas”.
Pandangan dan perilaku mayoritas-minoritas dalam hidup beragama bukan saja memiliki masalah etis-moral tetapi juga hukum atau konstitusional. Penutupan jalan umum karena dipergunakan untuk perayaan agama dari umat yang merasa diri mayoritas bermasalah dalam etika dan hukum. Sekelompok umat agama tertentu yang memaksa penghentian pelaksanaan ibadah atau penutupan tempat ibadah umat agama lain adalah umat yang melakukan pelanggaran etis dan hukum. Negara atau pemerintah yang memberikan fasilitas diskriminatif kepada umat beragama yang berbeda-beda dengan pertimbangan mayoritas-minoritas telah melanggar prinsip-prinsip etika dan konstitusi negara.
Jadi memang tidaklah layak menggunakan istilah mayoritas-minoritas dalam hidup beragama. Ini karena selain bukan istilah agama, tetapi politik, pembagian mayoritas-minoritas juga mengandung potensi pembangkangan terhadap ajaran utama agama. Ia menyalahi atau melawan arus nilai-nilai luhur agama itu sendiri yang mengusung kesetaraan, penghargaan terhadap hak asasi manusia, kerukunan dan perdamaian.
Kembalikan Penggunaannya ke Habitat Asli
Mayoritas-minoritas sewajarnya dipergunakan dalam politik-demokrasi. Di dalamnya ada persaingan dalam perebutan kekuasaan, permusuhan dan pertarungan, bahkan ada yang dilakukan dengan tidak adil, tidak jujur dan dengan kekerasan dengan akibat kekacauan dan penderitaan. Ajaran dasar agama tidak mengenal atau bahkan anti persaingan, perebutan kekuasaan, permusuhan dan pertarungan apalagi dengan kekerasan dan kerusuhan. Agama bertugas mengubah kekacauan, kekhawatiran, kegelisahan dan penderitaan menjadi teratur, tenteram dan damai sejahtera. Pembagian mayoritas-minoritas dalam umat dan masyarakat menghambat pelaksanaan tugas agama itu.
Jika demikian, hendaknya penggunaan istilah dan perwujudan makna mayoritas-minoritas dihilangkan dalam kamus hidup beragama. Umat beragama, masyarakat dan pemerintah seyogianya menggunakan dan membawa nilai-nilai dan paradigma mayoritas-minoritas di dalam ruang politik praktis saja sebagai habitat aslinya.
Stanley R. Rambitan/Teolog-Pemerhati Agama dan Masyarakat
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...