Menyoal Radikalisme Agama
SATUHARAPAN.COM – Konflik keagamaan yang disertai kekerasan tidak henti-hentinya terjadi di Indonesia. Masih hangat di benak masyarakat Indonesia, kasus perusakan dan pembakaran beberapa gedung gereja yang dilakukan oleh sekelompok umat Islam di Kabupaten Aceh Singkil di Aceh yang terjadi pada Selasa, 13 Oktober 2015. Peristiwa itu disertai dengan intimidasi dan ancaman terhadap penduduk beragama Kristen sehingga sekitar 7.000-orang dari mereka harus mengungsi ke daerah terdekat terutama Pakpak Dairi di Sumatera Utara. Saat ini, sebagian besar pengungsi tersebut telah kembali ke Aceh Singkil. Dan mulai 19 Oktober, terjadi pembongkaran belasan gedung gereja yang tidak memiliki izin dan hal ini disetujui oleh pemerintah dan ulama setempat. Tidak begitu lama berselang, di Kabupaten Tolikara terjadi peristiwa serupa yaitu pembakaran beberapa tempat berdagang dan sebuah musala, tempat ibadah umat Islam, oleh kelompok umat Kristen.
Ada yang mensinyalir bahwa peristiwa di Aceh Singkil adalah bentuk pembalasan dari kalangan umat Islam di Aceh terhadap umat Kristen atas pembakaran musala di Tolikara Papua. Pemerintah melihat bahwa penyebab konflik di Aceh itu lebih banyak unsur politis-nya dari pada agama; bahwa ada usaha-usaha untuk menciptakan kembali ketegangan atau konflik antara pemerintah pusat dengan masyarakat Aceh dengan mengangkat isu agama. Sementara, ada dugaan lain bahwa kecemburuan sosial dan ekonomi dari penduduk asli Aceh yang Muslim terhadap para pendatang yang umumnya berasal dari Sumatera Utara dan beragama Kristen. Para pendatang Kristen tersebut karena kemampuan bekerja, mereka dapat menikmati kehidupan yang lebih baik secara ekonomis-finansial. Mereka dengan begitu dapat mendirikan gedung-gedung gereja untuk kegiatan keagamaannya. Sementara, kebanyakan penduduk asli Aceh Singkil hidup dengan tingkat ekonomis-keuangan yang lebih rendah. Ini karena tingkat pengangguran di antara mereka tergolong tinggi.
Radikalisme Agama
Gejala umum memperlihatkan bahwa orang atau kelompok yang berinisiatif dan terlibat dalam konflik dengan kekerasan yang berlatar belakang agama adalah mereka yang menganut paham radikal. Radikalisme agama adalah ajaran, paham atau pandangan keagamaan yang sangat tegas dan keras. Ia mengizinkan penggunaan kekerasan dalam melaksanakan ajaran agama, baik terhadap anggota atau di dalam umatnya sendiri, maupun dan terhadap kelompok umat agama lain. Istilah yang identik dengan radikalisme dalam penggunaannya adalah ekstremisme dan fundamentalisme. Ekstremisme menekankan perbedaan atau pertentangan antara kelompoknya dengan kelompok lain dan mereka menganggap diri yang benar sedangkan yang lain salah. Karenanya sering ada ungkapan “ekstrem kiri ekstrem kanan”. Ia juga memperkenankan penggunaan kekerasan terutama dalam menghadapi pihak yang berbeda. Fundamentalism juga demikian, mengajarkan kebenaran hanya ada pada dirinya, sangat fanatik dan memperkenankan kekerasan. Jadi radikalisme-ekstremisme-fundamentalisme adalah paham dan gerakan garis keras yang umumnya berkaitan dengan soal keagamaan dan juga sosial-politik.
Tanda-tanda radikalisme pada penganut agama secara bertingkat adalah: 1) Fanatisme; ajaran dan praktik agama dianut dan diterapkan secara terperinci, baku dan formal, terutama pada sisi ritual atau upacaranya. 2) Cenderung ber-apologia dan ber-polemik tentang agama atau ajaran agama sendiri yang diperhadapkan dengan agama lain. 3) Memutlakkan kebenaran ajaran agama sendiri dan menyebut ajaran agama lain tidak benar. 4) Merasa tidak nyaman dan terganggu dengan kehadiran umat atau terutama tempat ibadah agama lain di sekitar tempat tinggalnya, dan menghendaki tempat ibadah itu ditutup atau dibongkar. 5) Menganggap umat agama lain sebagai musuh yang wajib dilawan, diserang atau dibinasakan dengan menganggap tindakannya benar dan mendapat restu dan pahala dari Tuhan. 6) Berusaha menghalangi keberadaan dan aktivitas umat agama lain dan bersedia melakukan kekerasan terhadap mereka. 6) Kemauan untuk membela agama dengan rela berkorban dan menjadi korban dengan bersedia mati untuk membela agama baik dalam mengikuti peperangan maupun melakukan tindakan bom bunuh diri.
Radikalisme sebagai Gangguan Kejiwaan
Radikalisme agama lahir dan tumbuh dalam diri seseorang atau sebuah komunitas karena berbagai sebab. Pertama, ketidakmampuan dalam memahami pesan-pesan yang benar, baik dan layak menurut akal sehat dari ajaran-ajaran agama. Ini menyangkut sumber daya yaitu pengetahuan, pemahaman dan mentalitasnya. Hal ini tentu berkaitan erat dengan pendidikan yang dialami. Kedua, indoktrinasi oleh pengajar agama. Biasanya jika tokoh agama atau pengajar sudah dikenal secara personal dan dinilai kharismatis dan berwibawa ilahiah maka apa yang diajarkan, termasuk radikalisme dan kekerasan, akan dituruti. Ketiga, mencontoh teladan praktik kalangan ekstremis agama di tempat lain melalui berbagai media. Keempat, pengaruh ketidakstabilan kondisi sosial, politik, ekonomi dan keagamaan di dalam masyarakat.
Radikalisme agama sebagai sebuah kelemahan dalam pemahaman dan penghayatan keagamaan yang terwujud dalam tindakan-tindakan kekerasan dapat dikategorikan sebagai kelemahan atau gangguan mental atau psikis-kejiwaan. Ini karena ketidakmampuan untuk menahan peningkatan emosi-kemarahan karena alasan agama. Itu seharusnya tidak terjadi jika orang memiliki mentalitas yang kuat, dapat menahan emosi dan menggunakan akal sehat. Hal ini dialami baik secara individual orang per orang maupun komunal atau oleh sebuah komunitas. Radikalisme agama yang terwujud dalam sikap dan tindakan permusuhan dan kekerasan terhadap pihak lain biasanya terjadi di dalam dan melalui kelompok dalam sebuah gerakan massa. Secara psikologis-sosial, seseorang menjadi berani berbuat anarkis khususnya dalam konflik agama jika dilakukan secara beramai-ramai.
Pendidikan yang efektif yaitu melalui pemberian pengetahuan dan penghayatan keagamaan yang tepat dan baik, yang mengutamakan penghargaan terhadap sesama manusia dan kelompok aliran dan agama lain yang berbeda adalah cara dan bentuk yang penting dalam menghadapi radikalisme. Demikian juga, melatih dan membiasakan kesediaan dan keterbukaan dalam berkomunikasi dan berdialog dengan berbagai pihak, seperti kelompok agama lain dan pemerintah. Juga, perlu pendampingan secara psikis, sosial dan kultural untuk membentuk mental yang kuat dalam menghadapi keragaman agama dan umat. Tidak kalah penting, ketegasan pemerintah dalam menerapkan undang-undang atau hukum yang ada.
Stanley R. Rambitan/Teolog Gereja Kristen Jawa dan Dosen Pascasarjana UKI
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...