Merenung Ulang Pancasila
SATUHARAPAN.COM - Di masa SMP hingga SMA di zaman orde baru itu, Pancasila terasa begitu sakral. Penataran Pedoman, Penghayatan dan Pengamalan Pancasila – yang hanya menyebut "P4" orang-orang sudah langsung tahu isinya, adalah kewajiban bagi setiap siswa memulai masa belajarnya. Begitupula dengan calon Pegawai Negeri Sipil. Dan sesungguhnya itu juga wajib bagi setiap warga negara.
Pancasila disebut-sebut sebagai dasar dan ideologi negara. Di masa orde baru itu, biasanya ia dikontraskan dengan cerita horor peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S), yang waktu itu tidak boleh tidak dalam penyebutan dan penulisannya termasuk juga kesadaran, harus ditambah kata ‘PKI’, menjadi ‘G30S/PKI’. Jadinya, seolah-olah kepentingan penataran itu hanyalah untuk mengatakan, 'tidak ada dasar atau ideologi lain' di negara ini selain Pancasila.’ Tidak boleh ada ‘komunisme’ atau ‘islamisme’, tapi pembangunisme yang menampakkan diri juga sebagai ideologi oleh rezim orde baru digalakkan secara massif.
Bagi rezim orde baru, rupanya untuk stabilitas politik dan keamanan yang harus kuat dijaga demi pertumbuhan ekonomi, Pancasila sepertinya dijadikan sebagai alat kontrol. Lima sila yang dikandung oleh Pancasila, bagi rezim ini adalah doktrin-doktrin suci, bukan pertama-tama untuk kebebasan, keadilan, kemanusiaan dan jaminan hak politik apalagi kesejahteraan jasmani dan rohani bagi semua warga negara, melainkan terutama agar ambisi rezim dapat terlaksana dengan mulus.
Terbukti kemudian, selama kurang lebih 32 tahun rezim orde baru berkuasa, hutang yang ditinggalkan sangat besar, ribuan triliunan rupiah; sistem politik yang kacau balau dengan sentralismenya; oligarki dan monopoli pengelolaan sumber daya alam, dan sudah pasti dampaknya adalah kemiskinan. Jadi, gelar "Bapak Pembangunan" yang disandang Soeharto adalah manipulasi tingkat tinggi.
Lalu, apakah dengan begitu dapat dikatakan bahwa Pancasila telah gagal? Rupanya, bagi rezim orde bagi mau dibikin kesan seperti itu. Sebab, hari nasional lain yang juga sakral buatan rezim ini, yaitu 'Hari Kesaktian Pancasila' yang diperingati setiap 1 Oktober, katanya mau mengenang kemenangan Pancasila terhadap rongrongan komunisme di tahun 1965 itu.
Sesungguhnya, bukan Pancasilanya yang gagal melainkan rezim itu sendiri. Rezim ini tidak menjalankan politiknya secara benar. Itu karena motivasi di balik pengagungan ideologi Pancasila adalah untuk penumpukkan kekuasaan dan modal. Jadilah rezim ini korup.
Tafsir atas Pancasila pasca orde baru berubah. Pancasila mau kembali didudukkan sebagaimana hakekatnya, sebagai filosofi dan dasar hukum negara. Begitu kesan sepintas. P4 yang di masa orde baru sebagai cara pemerintah mengidoktrinasi Pancasila kepada warga negara ditiadakan. Film "G30S" sebagai cara untuk menanamkan kesadaran palsu bagi generasi bahwa PKI adalah partai sekaligus ideologi yang pernah merongrong Pancasila sehingga partai dan ideologinya harus dijauhi bahkan harus ikut membantu memeranginya kalau ada gejala dia mau bangkit lagi, tidak lagi ditayangkan di TVRI setiap 30 September malam.
Namun, begitu pemerintah pasca orde baru melihat ada gejala, kata mereka "lunturnya semangat nasionalisme", maka sekali lagi jawabannya kembali ke Pancasila. Maka dibuatlah program Sosialisasi Empat Pilar (Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhineka Tunggal Ika). Kalau dulu 'P4', sekarang '4P'. Sepertinya hanya dibolak-balik saja. Jadi, logikanya tetap sama dengan orde baru: segala persoalan sosial, politik, ekonomi, budaya, agama disebabkan karena 'penghayatan dan pengamalan' jiwa Pancasila di kalangan warga negara tidak beres.
Padahal, sesungguhnya pada dirinya nilai dan semangat Pancasila itu sudah benar. Sudah mencakup semua filosofi atau dasar kehidupan bernegara. Masalahnya juga bukan pada 'penghayatan dan pengamalan', sebab ini soal tafsir. Lalu, di mana soalnya?
Soalnya karena yang disebut negara dan pelaksana kekuasaanya adalah pemerintah tidak hadir di ruang kosong. Sudah kodrat pemerintah untuk hadir pada sebuah pusaran arus kepentingan, yaitu kekuasaan. Arus yang saling bercibaku itu adalah: kepentingan partai politik, pemodal dan kepentingan-kepentingan lain baik dari dalam maupun dari luar. Sementara arus kepentingan hidup adil dan sejahtera dari rakyat lemah. Sengaja dilemahkan atau karena memang tidak terbangun kesadaran kritis yang membentuk kekuatan bersama untuk mengimbangi atau melawan kekuatan-kekuatan itu.
Dan ternyata pemilihan, baik anggota dewan, kepala daerah maupun presiden dengan menggunakan mekanisme demokrasi melalui pemilihan langsung belumlah cukup jika yang rakyat lakukan hanyalah datang ke TPS lalu mencoblos nama yang dipilih. Setelah 'hak' itu dilaksanakan pulang ke rumah, menunggu hasil lalu merayakan dengan euforia kemenangan atau menggerutu meratapi kekalahan. Semua itu tidaklah cukup, meski seolah-seolah sudah berjalan secara demokratis, jika rakyat sipil merasa seolah-olah tugas politik mereka sudah selesai sampai di situ.
Jadi, persoalan sesungguhnya ada pada implementasi makna sesungguhnya politik itu sebagai cara atau teknik mengolah kekuasaan untuk kesejahteraan bersama. Pancasila sudah memberi dasar- dasar filosofinya, tinggal bagaimana pemerintah dan warga negara memainkan politiknya. Tentu semua proses itu tujuannya bukan untuk keagungan Pancasila, melainkan untuk tujuan dan hakekat bernegara itu.
Demikian juga, jika di mana-mana masih terjadi korupsi, kekerasan, kemiskinan, dlsb, maka bukanlah 'penghayatan dan pengamalan Pancasila' itu yang gagal, melainkan karena rezim atau juga warga negaranya yang gagal memainkan politik itu secara benar.
Penulis adalah dosen dan pegiat di Mawale Cultural Center, tinggal di Tomohon-Minahasa
Kremlin: AS Izinkan Ukraina Gunakan Senjata Serang Rusia Mem...
MOSKOW, SATUHARAPAN.COM-Kremlin mengatakan pada hari Senin ( 18/11) bahwa pemerintahan Presiden Amer...