Meretas Harapan
Tampaknya sekarang ini, kita hanya bisa menetapkan sebentuk harapan sambil menjalani hidup dalam ruang globalisasi modern. Hanya isapan jempol siang hari atau mimpi tentang akhir zaman sajalah yang bisa membuat seseorang menolak ketentuan tadi.
Peraih Nobel Perdamaian, Al Gore bahkan mencatat hal ini dalam buku terbarunya, “The Future” (2013). Mengenai masa depan (yang tertaut erat dengan harapan itu) ialah mengenai gerakan globalisasi itu sendiri. Yang intinya antara lain: ekonomi pasar kapitalistik, kemajuan sains, penggerusan alam demi pertumbuhan, demokratisasi kekuasaan global, dan hari-hari kita yang ditandai revolusi digital yang akan memasukkan kita semakin dalam lagi ke dunia daring nan maya itu.
Dan banyak orang yang saat ini sedemikian besarnya menaruh harapan pada globalisasi itu sendiri. Sekolah-sekolah banyak yang dipacu berdwibahasa dan memohon cap “Cambridge” untuk ijazahnya; sambil di skala makro, pemerintah Indonesia mengundang pasokan modal asing masuk sedalam-dalamnya ke setiap pelataran Nusantara ini. Bumi kita pun dikeruk, dan hasilnya mentah-mentah dikirim ke pusat-pusat industri dan pasar dunia.
Memang inti globalisasi ada pada terkaitnya setiap ihwal hidup kita dengan pasar ekonomis yang terbuka namun terintegrasi. Tukang kopi sasetan yang hilir mudik di bilangan Menteng-Jakarta, misalnya, bergantung pada pasar kopi dunia. Jika terjadi krisis ekonomi, maka keperluan ‘kecil’ hidup kita sehari-hari pun menjadi krisis tak menentu. Hidup menjadi rentan, nasib kita begitu telanjang, tidak stabil dan anonim.
Globalisasi berarti juga bahwa ada sebuah kekuatan, atau, dalam bahasa lain: ada ‘roh’, yang meluas di segala bagian dunia dan menduduki semua sistem kehidupan. Globalisasi adalah akibat dari ideologi modernitas, di mana ada tekanan untuk kemajuan dan perkembangan. Globalisasi, kalau begitu, berarti bahwa waktu dan ruang manusia diringkus dan dilihat dari sudut pandang perkembangan ekonomi dan pasar.
Biografi
Maka meretas (baca: merintis) harapan ialah, mau tak mau, ikut bekerja dalam arus globalisasi itu, namun mencari setiap nama dan cerita sebagai hal yang tak boleh terabaikan samasekali. Dan ini memang termasuk kerja jurnalisme. Dan ini antara lain alasan hadirnya Satuharapan.com ini di tangan Anda.
Lyotard pernah berkata bahwa sebuah nama tak bisa disimpulkan, tapi hanya bisa dipelajari. Setiap nama membuka realitasnya yang konkrit, dan yang lokal; maka setiap nama menggangsir setiap niat memukul rata persoalan atau ihwal sebagai persoalan ekonomi atau materi semata, yang adalah inti roh globalisasi saat ini. Pada setiap nama ada cerita, dan di setiap biografi akan ada tali-temalinya dengan nama lain, –itu semua akan membentuk jaringan kehidupan. Maka, harapan diretas kalau kita mulai menyebut nama seseorang, dan mendengarkan biografinya yang selalu akan bertutur tak terperikan kayanya itu.
Selanjutnya, harapan tadi akan pula meretas (baca: memutus benang-benang) cengkeraman yang kerap keterlaluan dari globalisasi tadi. Menurut buku Gore di atas, kapitalisme telah mengintegrasikan kita ke dalam benang-benang korporasi dunia. Mimpi kita, ilmu kita dan ihwal yang kita kenakan, hampir semuanya berada dalam bayang-bayang “brand” korporasi mancanegara.
Berita di Satuharapan.com ini mencoba meretas agar kita relatif leluasa dari gurita globalisasi tadi, –dan ini memberi harapan- , sebab ia selanjutnya menautkan kita dengan cerita-cerita hidup sesama di seantero dunia. Dengannya, “network” kita menembus tembok-tembok pembatas, dan karenanya kita bisa bertukar nama dan biografi satu dengan lainnya. Dalam kepedulian, hormat dan kasih.
Penulis adalah Pengajar di STT Jakarta
Editor : Sabar Subekti
KPK Geledah Kantor OJK Terkait Kasus CSR BI
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah kantor Otoritas J...