“MeTal(i)k”, Pembacaan Realitas Hyperrealis Bambang Pramudiyanto
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Dua figur manusia bertelanjang dada dan menutupi kepala sepenuhnya dengan aluminium foil, berdiri berdampingan. Satu orang memegangi telinga sementara lainnya menutup mulutnya. Di antara keduanya tertulis “No Signal”. Lukisan dalam citraan monochrome abu-abu metalik berjudul “MeTal(i)K #9” tersebut adalah satu di antara sebelas lukisan karya seniman-perupa Bambang Pramudiyanto yang dipamerkan di Sangkring Art Project.
Beng beng tampil baru. Itulah yang terekam saat pembukaan pameran bertajuk “MeTal(i)k” di Sangkring Art Project, Jumat (13/9) malam. Sepuluh lukisan tunggal dan satu lukisan panel dalam ukuran sedang (antara 100 cm – 200 cm) dengan objek tunggal benda-benda di sekitarnya mulai sayuran jagung, kerupuk, pakan anjing palsu, blangkon, nasi bungkus, bungkus aluminium foil, potongan rantai, menjadi wilayah bermain Bambang membaca realitas yang sedang berlangsung hari ini. Tidak ada satu pun karya lukisan dengan objek mobil tua legendaris yang menjadi ciri khas karya lukisannya.
Masih ingat dengan lukisan moncong Mercedes Benz Batman seri 280S keluaran akhir tahun 1960-an dengan plat nomor B 3 NK? Lukisan moncong mobil karya Bambang Pramudiyanto tersebut dipamerkan dalam pameran bersama di Purna Budaya Yogyakarta (sekarang PKKH-UGM), 12-17 Agustus 1991. Itulah tahun-tahun awal Bambang dikenal dengan lukisan mobil-mobil kuno dalam gaya hyperrealis.
Pada tahun 1995 untuk pertama kalinya Bambang menggelar pameran tunggal di Bentara Budaya Yogyakarta mengangkat tajuk “Mobil-Mobil”. Selain menjadi penegasan dalam proses berkarya, pameran tunggal pertama Bambang saat itu mendapat respons publik yang beragam di tengah isu besar rencana pemerintah yang sedang gencar-gencarnya mengkampanyekan mobil nasional.
New-realism atau Hyper-realism mulai menggejala dalam khasanah seni rupa Indonesia sekitar pertengahan 1970-an. Secara visual kecenderungan tersebut ditandai dengan penggambaran objek secara realis yang ekstrem mendekati benda aslinya. Tangan seniman seolah berubah menjadi mata lensa yang detail dan tajam. Sering kali cat mobil yang mengkilap dengan pantulan cahaya dan bayangan objek lain digambarkan Bambang dengan detail. Di saat lain dalam kilapnya cat mobil kuno Bambang menambahkan objek karat di badan mobil.
Adalah Richard Estes yang gemar melukis refleksi cahaya yang jatuh pada kaca etalase dan berbias pada objek benda-benda di depannya. Pendekatan inilah yang digunakan Bambang sehingga lahirlah karya lukis dengan benda-benda industri dan produk-produk konsumerisme yang menjadi ikon-ikon kebudayaan pop. Dalam hal ini salah satunya adalah produk otomotif mobil.
Sikap sinis terhadap persoalan sosial, perubahan iklim politik, kesetaraan gender hingga gejala konsumerisme dituangkan Bambang dalam metafora karya-karyanya. Setidaknya hal tersebut terekam dalam tiga pameran tunggal sebelumnya. Dalam perjalanannya, Bambang Pramudiyanto pernah mengentak dunia seni lukis kontemporer ketika menggelar pameran tunggal bertajuk “Mobil-mobil” di Bentara Budaya, Yogyakarta (1995), “Iconic realism” di Kinara Gallery, Nusa Dua, Bali (1999) serta “Ketika Kegelisahan Terpelihara” di Bentara Budaya, Jakarta (2003).
Sebutlah lukisan kolase karya Bambang berjudul “Your Mind is Everything” dengan objek mobil, jam tangan, sepatu, korek api, dan pena, yang dianggap sebagai simbol kesuksesan, kemapanan, serta maskulinitas sekaligus sebagai bentuk konsumerisme yang menjadi tuntutan pergaulan dan gaya hidup seorang pria dalam karier dan kehidupannya. Tanpa menyertakan merk pada objek benda tersebut, orang dengan mudah mengenalinya dan secara tidak langsung menjadi standar tertentu atas simbol-simbol tersebut.
Atau lukisan berjudul “Fragrant of Femine” dengan kunci kontak berikut gantungannya berlogo mobil keluaran Jerman dan sebuah telepon genggam seri terbaru pada masanya. Melengkapi lukisan dalam rona biru pastel dan abu-abu, tambahan lipstik merah semakin menguatkan kesan feminin. Dan produk-produk yang menjadi simbol budaya popular kala itu menjadi pendorong meningkatknya sikap konsumerisme di masyarakat.
“MeTal(i)k”, Membaca Realitas sekaligus Memperbincangkan Diri Sendiri
Berbeda dengan tiga pameran tunggal sebelumnya, pada pameran “MeTal(i)k” ada kesan Bambang membebaskan diri dari teks-konteks dalam karyanya. Sepuluh lukisan tunggal dan satu lukisan panel keseluruhannya menjadi lukisan series dalam judul MeTal(i)k #1 sampai MeTal(i)k #11. Ini tentu berbeda dengan karya-karya Bambang sebelumnya berjudul “Crisis? What Crisis?”, “The Rose, Where You Are”, “Transition”, “The Power of Life”, “hingga “Underpresser” yang banyak membaca realitas sosial-politik-ekonomi yang sedang berjalan. Bahkan pada karya berjudul “Exoticapitalism” Bambang menyentil campur-aduk kehidupan sosialis-kapitalis di China dalam pembacaan teks-konteks secara bersamaan.
Setidaknya dalam pameran bersama beberapa waktu lalu Bambang Pramudiyanto masih bermain-main dengan isu sosial dalam karya berjudul “Remember the Time” dengan objek moncong mobil truk tua.
Meski begitu, dalam lukisan series yang minim teks Bambang tetaplah sedang melakukan pembacaan realitas. Apa jadinya ketika jagung, krupuk, permen, dan juga sayuran pare sebagai sumber makanan/energi yang selalu menggugah selera justru mewujud dalam objek-objek logam/metal?
Pada lukisan berjudul “MeTal(i)k #2” dengan objek potongan bonggol jagung Bambang melukiskan dalam citraan logam mengkilat. Pada satu biji jagung Bambang mewarnainya dengan warna emas (prada). Dalam citraan demikian bisa jadi tanpa disadari telah membawa pikiran pengunjung dalam asosiasi deretan gigi emas putih-prada sebagai upaya untuk meningkatkan gengsi dan status sosial penggunanya di masa lalu.
Realitasnya penggunaan gigi emas hari ini pun masih digunakan. Penyanyi rapp Drake menghabiskan ratusan juta untuk gigi palsu berbahan emas putih-prada yang digunakannya saat membuat video klip In My Feeling.
Tidak ada satu pun objek otomotif dalam lukisan series “MeTal(i)k” yang dibuat Bambang. Alih-alih Bambang justru melukis pembungkus makanan dengan menggunakan aluminium foil pada karya “MeTal(i)k #1” bahkan pada “MeTal(i)k #3” alluminium foil digunakan untuk membungkus nasi menggantikan daun ataupun kertas minyak. Budaya konsumerisme di masyarakat hari ini memiliki kecenderungan lebih mementingkan penampakan luar dibanding isinya. Industri makanan dan pelaku kuliner tentu paham dan menangkap perilaku konsumen sebagai peluang untuk meningkatkan penjualan. Dan masyarakat sebagai konsumen?
Perkembangan teknologi informasi dan telekomunikasi telah mengubah cara pandang dan cara baca atas realitas. Perubahan tersebut turut pula mendorong perubahan pola-moda komunikasi di masyarakat. Gawai pintar telekomunikasi yang seharusnya bisa mendekatkan dua dunia karena terbentang jarak, hari ini justru menjadi penyekat hubungan-komunikasi dua manusia yang berdiri berdampingan manakala muncul dalam di layar gawainya dua kata “No Signal”.
Pada karya berjudul “MeTal(i)k #9” menyentak kesadaran paling mendasar relasi manusia yang mensyaratkan kehadiran pihak-pihak dalam moda-pola komunikasi, hari-hari ini sudah banyak bergeser dan tergantikan hanya oleh kehadiran sebuah alat. Dan menjadi sebuah drama-tragedi manakala tidak ada sinyal dan “sinyal” yang bisa menghubungkannya. Sudah sejauh itukah darurat “sinyal” hubungan antar manusia sehingga suara terdekat pun nyaris tak terdengar?
Blangkon Yogyakarta mempunyai mondholan di belakang berbentuk bulat. Filosofi Blangkon gaya ini adalah masyarakat Jawa pandai menyimpan rahasia dan tidak suka membuka aib orang lain atau diri sendiri. Dalam bertutur kata dan bertingkah laku penuh dengan kehati-hatian, sebagai bukti keluhuran budi pekerti orang Jawa. Blangkon gaya Yogyakarta juga menyimpan makna jika orang Jawa senantiasa berpikir untuk berbuat yang terbaik demi sesama, meski harus mengorbankan dirinya sendiri.
Pada karya berjudul “MeTal(i)k #7” Bambang melukiskan sebuah blangkon dari arah belakang dalam citraan emas-tembaga lengkap dengan wiron, jabehan, cepet, waton, kuncungan, namun tanpa motif batik. Blangkon metalik Bambang menjadi pelindung kepala yang kokoh dari sengatan matahari. Di bagian tengahnya Bambang membuat lubang berbentuk segitiga. Blank on?
Metafora Bambang Pramudiyanto dalam sebelas lukisan series “MeTal(i)k” menjadi pembacaan sederhana atas realitas persoalan sosial, relasi antarmanusia, hingga gejala konsumerisme. Bisa jadi Bambang sedang memotret perubahan yang sedang terjadi di masyarakat sekaligus memperbincangkan dirinya sendiri. Dalam perenungan "MeTal(i)k #10" setidaknya Bambang masih menjaga relasi dengan Tuhannya: In God We Trust.
Pameran tunggal Bambang Pramudiyanto bertajuk "MeTal(i)k" berlangsung hingga 23 September 2019 di Sangkring Art Project, Jalan Nitiprayan No. 88 RT.01/RW.20, Sanggrahan, Ngestiharjo, Kecamatan Kasihan – Bantul.
Editor : Sotyati
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...