Metode SRI Tingkatkan Produksi Padi dan Pendapatan Petani
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Budi daya padi dengan metode SRI (System Rice Intensification) dinilai sebagai salah satu jawaban untuk meningkatkan produksi padi dan membangun ketahanan pangan. Produksi padi dengan sistem ini mampu meningkatkan produksi hingga 47 persen dari cara konvensional.
Permintaan akan beras terus meningkat dan secara global, menurut International Rice Research Institute (IRRI) dan Organisasi Pangan Dunia PBB (FAO), beras memasok sekitar 20 persen kebutuhan karbohidrat.
Di Indonesia, data Kementerian Pertanian menyebutkan bahwa konsumsi Indonesia mencapai 135 kilogram per kapita per tahun. Artinya Indonesia membutuhkan 32, 4 juta ton beras setiap tahun untuk sekitar 240 juta penduduk.
Beras bukan hanya menyangkut kebutuhan pangan, namun juga pondasi ekonomi kebanyakan masyarakat. Menurut organisasi nirlaba, Oxfam, di sejumlah daerah beras adalah pemasok 70 persen kebutuhan karbohidrat , dan budi daya padi adalah sumber pendapatan tunggal di daerah pedesaan.
Dampak Revolusi Hijau
Beras adalah produk biji-bijian penting tetapi masih diproduksi oleh pertanian rakyat dengan mayoritas petani dengan sawah yang sempit. Menurut berbagai sumber, petani memiliki sawah kuran dari dua hektare. Namun untuk petani Indonesia, menurut menteri pertanian, Suswono, hanya memiliki 0,3 hektare. Sebagai perbandingan, petani Thailand rata-rata memiliki tiga hektare sawah.
Masalah yang dihadapi pertain bukan hanya lahan yang terbatas, tetapi juga harga benih hibrida, pupuk kimia dan pestisida yang mahal dan terus meningkat. Hal itu menyebabkan pendapatan petani menjadi kecil. Ketergantungan itu dimulai dengan revolusi hijau (green revolution) pada era 1940- 1970 yang mengubah metode budi daya tradisional dengan memperkenalkan bibit, pupuk dan pestisida kimia untuk mengatasi hama.
Namun demikian menurut catata FAO, produktivitas budi daya padi hanya sekitar empat ton per hektare setiap panen. Dan tantangan baru berupa perubahan iklim menjadi ancaman lain produksi beras dunia.
Suhu yang meningkat di seluruh dunia yang ditunjukkan studi terbaru oleh tim ilmuwan yang dipimpin oleh Jarrod Welch juga memperingatkan bahwa sawah di Asia sensitif terhadap peningkatan suhu dan perubahan radiasi matahari.
Metode SRI
Salah satu metode budi daya padi yang diharapkan mampu mengatasi berbagai masalah itu adalah System of Rice Intensification (SRI), sebuah pendekatan yang dikembangkan oleh seorang romo di Madagaskan pada awal tahun 1983, Henri de Laulanie.
Ada bukti bahwa metode SRI telah menghasilkan padi hingga dua kali lipat rata-rata prodiktivitas dunia . Seorang petani kecil di India utara, Sumat Kumar, menggunakan metode SRI dan berhasil memproduksi 22,4 ton padi dari satu hektare pada tahun 2012. Dia membuat tercengang dunia dan memecahkan rekor dunia.
Metode SRI berbeda dari teknik pengelolaan tanah dan penanaman secara konvensional dan modern lainnya yang fokus pada benih khusus, pupuk dan pestisida (kimia) yang semuanya mempunyai konsekuensi pada biaya tinggi bagi petani.
Sebaliknya, metode SRI adalah pendekatan manajemen tanam yang disesuaikan dengan kondisi lokal dan persyaratan didasarkan pada prinsip yang saling terkait: awal, cepat, pertumbuhan tanaman yang sehat, penjarangan tanaman, peningkatan kondisi tanah melalui pengayaan bahan organik, pengurangan dan pengendalian air.
Prinsip-prinsip itu adalah dasar pelaksanaan SRI yang dapat disesuaikan dengan kondisi lokal seperti ketersediaan air, kondisi tanah, cuaca, ketersediaan tenaga kerja, dan akses pada benih. Menggunakan metode SRI juga tidak menuntut petani untuk mengkonversi pada pertanian organik sepenuhnya, meskipun dapat menampung model pertumbuhan organik.
Praktik SRI
Praktik metode SRI secara umum meliputi (1) pembibitan dan penanaman lebih awal, yaitu bibit berusia antara tujuh dan 12 hari setelah semai (HSS), (2) prinsip cepat, yaitu permindahan tanaman harus secepatnya, sekitar 30 menit setelah dicabut secara hati-hati agar akar tidak terputus.
Prinsip (3) jarak tanaman yang lebih lebar untuk memberi ruang hidup yang cukup untuk pertumbuhan maksimal, (4) tanaman tunggal, yaitu bibit ditanam secara tunggal. Hal ini bertentangan dengan motode sebelumnya menanam 3 – 6 individu tanaman di satu lubang.
Prinsip berikutnya (5) adalah pengendalian gulma sejak awal, sekitar sepuluh hari setelah tanam dan dilakukan 2-3 kali dalam interval 10 hari, dan (6) penggunaan atau penambahan pupuk organik, serta (7) sistem mengairan berselang, yaitu mengatur kapan air menggenangi sawah dan kapan dikeringkan.
Menurut lembaga nirlaba SRI International Networkand Resources Center, tujuan prinsip itu untuk menciptakan tanah menjadi kaya nutrisi dan menyediakan individu tanaman dengan ruang untuk tumbuh. Tanaman juga berkembang dengan sistem akar yang lebih kuat , yang menyebabkan tanaman lebih kuat dan secara keseluruhan, dan hasil yang lebih besar.
Menurut Oxfam, budi daya padi dengan sedikit air dan penggunaan bahan organik sangat penting untuk ketahanan pangan di masa depan dan kelestarian lingkungan. Metode SRI telah dikembangkan di 40 negara, dan Indonesia salah satu negara yang tengah berusaha mengembangkannya.
Menurut catatan Oxfam, hasilnya cukup mengesankan, yaitu meningkatkan sampai 47 persen hasil, mengurangi 40 persen penggunaan air, menurunkan 23 persen biaya, dan meningkatkan sampai 68 persen pendapatan rumah tangga petani .
Prinsip-prinsip dan praktik SRI juga diterapkan dengan memberi hasil pada budi daya tanaman lain. Menurut jaringan SRI dan Oxfam, metode ini dilakukan pada gandum, tebu, jewawut, teff, dan kacang-kacangan. (scmonitor.com / deptan.go.id)
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...