Milenial Kritis Tanpa Ada Beban Masa Lalu Sejarah Tahun ‘65
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Gubernur Lemhannas Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo, meminta generasi milenial untuk bersikap kritis terhadap sejarah masa lalu tanpa adanya beban masa lalu seperti tragedi 30 September 1965, pemberontakan DI/TII, pemberontakan PRRI/Permesta, Gerakan Aceh Merdeka, dan lain-lainnya.
Dalam Diskusi Buku "The Children of War" - Menang jadi arang, Kalah Jadi Abu, yang digelar dalam acara Webinar Forum Silaturahmi Anak Bangsa untuk Indonesia, hari Senin (15/6), Agus Widjojo mengajak milenial untuk mempelajari sebuah kasus sejarah masa lalu itu secara kritis untuk bisa mendapatkan pelajaran yang bisa ditarik dari sejarah.
Agus menjelaskan, untuk bisa menarik pelajaran dari sejarah tempatkan peristiwa sejarah secara kontekstual pada eranya, baru kita bisa mengambil pelajaran.
“Tetapi jangan seperti misalnya masih ada sebagian dari senior-senior kalian yang tidak bisa lepas dari masa lalu yaitu masih menempatkan diri seolah-olah bahwa sekarang ini masih tahun 65 -- kalau untuk peristiwa 65 -- sehingga masih ada keberpihakan, masih ada untuk menolak, masih ada untuk memperjuangkan. Itu harusnya sudah dilepas,” kata Agus Widjojo menjawab pertanyaan satuharapan.com melalui aplikasi Zoom.
Menurut Agus, sebetulnya generasi milenial tidak ada hubungan emosional dengan persitiwa masa lalu kecuali melalui garis keluarga, misalnya dari orang tuanya. Jadi kalau memang mau, ditinggalkan saja, kata Agus, tapi dengan catatan bahwa peristiwa masa lalu itu harus dicegah jangan sampai terjadi di masa depan yang mungkin bisa terulang kembali.
“Jadi di situ kita tidak mengajar siapa salah, siapa benar, bukan orangnya tetapi kenapa bisa terjadi bahwa kita dengan saudara sebangsa bisa saling bunuh dalam jumlah besar dan di dalam waktu yang berkelanjutan. Jadi bukan siapa yang salah, tetapi apa yang salah sih, terjadinya kok bisa seperti begitu. Itu yang perlu kita cari sehingga itu menjadi kekayaan kita,” katanya.
Dalam diskusi itu juga, Agus mengajak semua pihak, khususnya generasi milenial untuk berdamai dengan masa lalu dan berdamai dengan diri sendiri.
“Kalau ada contoh-contoh dari senior yang belum bisa (berdamai) seperti itu jangan ditiru, tetapi masa depan adalah milik generasi milenial,” katanya.
Agus mendorong agar genereasi milenial mengumpulkan semua pengetahuan dan pengalaman yang ada serta bergerak maju ke depan penuh dengan percaya diri.
“Dengan keyakinan apa yang anda rasa perlu Anda lakukan, lakukanlah itu dengan segala kepercayaan diri anda. Jadi jangan sampai bahwa kita itu masih membawa beban masa lalu dan kalau itu tidak atau terputus maka sebetulnya ada pada generasi itu -- kalau itu generasi milenial -- itu ada tanggung jawabnya pada generasi kolonial seperti saya ini,” katanya.
Menurut Agus, generasi milenial sebetulnya tidak punya salah apa pun terhadap peristiwa masa lalu itu meskipun belum terselesaikan masalah itu oleh generasi sebelumnya. Namun demikian generasi milenial dapat melangkah maju ke depan dalam keadaan bersih tanpa ada beban masa lalu tersebut.
“Jadi ini pun juga merupakan utang dari generasi kolonial, generasi saya, untuk bisa diselesaikan sehingga kita menyerahkan tongkat estafet kepada generasi milenial dalam keadaan bersih dan sepenuhnya generasi milenial bisa memulai yang bisa diklaim sebagai kinerja mereka sendiri tanpa ada beban masa lalu yang diestafetkan yang generasi lebih tua,” katanya.
Dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Forum Silaturahmi Anak Bangsa ini dihadiri juga pembicara utama Dosen dan Peneliti Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Dr Bagus Takwin, MHum, dan Pengamat Masalah Sosial, Dr Kristiya Kartika, MSi, dan dimoderatori oleh Ir Agustanzil Sjahroezah, MPA.
RI Resmi Tetapkan PPN 12 Persen Mulai 1 Januari 2025
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Pemerintah Indonesia resmi menetapkan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Ni...