Militer Mali Bebaskan Presiden dan PM Setelah Dipaksa Mundur
BAMAKO, SATUHARAPAN.COM-Militer Mali telah membebaskan presiden transisi dan perdana menteri dari tahanan, kata seorang pejabat tinggi.
Pembebasan Presiden Bah N’Daw dan Perdana Menteri Moctar Ouane terjadi setelah mereka mengundurkan diri pada Rabu (26/5) di hadapan arbiter internasional yang berada di negara Afrika Barat untuk menengahi krisis politik, menurut Mayor Baba Cisse.
"Memang, mantan presiden dan mantan perdana menteri dibebaskan," kata Cisse kepada The Associated Press, HARI Kamis (27/5)
Dewan Keamanan PBB mengindikasikan pengunduran diri itu secara paksa dan menuntut segera dimulainya kembali pemerintahan transisi yang dipimpin sipil, dengan mengatakan setelah pertemuan tertutup pada hari Rabu bahwa personel militer harus kembali ke barak mereka.
PBB, Uni Afrika, badan internasional lainnya, dan Amerika Serikat telah mendesak militer Mali untuk membebaskan Ouane dan N’Daw.
Keduanya ditangkap pada hari Senin (24/5), bersama dengan para pemimpin pemerintahan transisi lainnya, beberapa jam setelah pelantikan Kabinet baru yang tidak menyertakan dua pemimpin utama militer.
Dengan menggulingkan presiden dan perdana menteri, kepala kudeta Mali 2020, Kolonel Assimi Goita, yang telah menjabat sebagai wakil presiden transisi sejak September, mendapatkan kembali kendali atas negara Afrika Barat tersebut.
Goita mengatakan dia sekarang bermaksud untuk memimpin transisi, menurut seorang diplomat Afrika Barat yang terlibat dalam mediasi. Diplomat tersebut tidak diizinkan untuk mendiskusikan masalah tersebut dengan wartawan dan berbicara dengan AP tanpa menyebut nama.
Cisse, yang merupakan penasihat khusus Goita, mengatakan pada hari Rabu malam bahwa pembebasan dua pemimpin yang ditangkap "akan dilakukan secara bertahap untuk alasan keamanan yang jelas."
Dia membacakan daftar alasan penangkapan kepala pemerintahan Mali, termasuk tuduhan bahwa perdana menteri memblokir wakil presiden pada masalah pertahanan dan keamanan tertentu dan melanggar piagam transisi dengan tidak berkonsultasi dengan Goita tentang pembentukan pemerintahan baru.
Krisis politik di tengah transisi sipil selama 18 bulan menuju pemilihan yang demokratis setelah kudeta tahun 2020 berisiko menjerumuskan negara yang bermasalah itu ke dalam ketidakstabilan lebih lanjut dan telah memicu kecaman internasional.
Goita mengatakan dia akan tetap maju pada pemilihan 2022, tetapi langkahnya baru-baru ini memicu ketidakpercayaan.
Pernyataan DK PBB
Dewan Keamanan PBB yang beranggotakan 15 orang bertemu pada hari Rabu di Mali dan dalam sebuah pernyataan mengatakan bahwa "memaksakan perubahan kepemimpinan transisi dengan kekerasan, termasuk melalui pengunduran diri secara paksa, tidak dapat diterima."
Dewan Keamanan mengatakan khawatir perkembangan itu akan berisiko "upaya berkelanjutan untuk melawan terorisme, menerapkan Perjanjian tentang Perdamaian dan Rekonsiliasi di Mali, dan menstabilkan pusat Mali."
Perwakilan dari Uni Afrika dan kelompok regional Afrika Barat yang dikenal sebagai ECOWAS berada di Mali untuk menengahi krisis politik. Mantan Presiden Nigeria Goodluck Jonathan, yang menjadi penengah di Mali setelah kudeta tahun 2020, memimpin delegasi tersebut.
Presiden Prancis, Emmanuel Macron, menggambarkan peristiwa pekan itu sebagai kudeta dan memperingatkan akibatnya, termasuk sanksi yang ditargetkan. Uni Eropa juga memperingatkan bahwa mereka akan mempertimbangkan tindakan yang ditargetkan terhadap "pemimpin politik dan militer yang menghalangi transisi Mali."
Amerika Serikat mengecam keras penahanan para pemimpin sipil. Departemen Luar Negeri AS mengatakan akan menangguhkan bantuan keamanan untuk pasukan Mali. AS mengatakan akan mempertimbangkan tindakan yang ditargetkan terhadap para pemimpin yang menghalangi transisi yang dipimpin sipil.
Kerusuhan terbaru dapat semakin mengganggu kestabilan upaya untuk mengendalikan pemberontakan Islam yang telah berlangsung lama di Mali.
Kekosongan kekuasaan di tengah kudeta tahun 2012 yang menimbulkan kekacauan selama bertahun-tahun di Mali dan memungkinkan ekstremis Islam menguasai kota-kota di utara.
Pada akhirnya, operasi militer yang dipimpin Prancis mengusir para jihadis pada tahun 2013, tetapi mereka telah berkumpul kembali dan sejak itu memperluas jangkauan mereka. (AP)
Editor : Sabar Subekti
Kremlin: AS Izinkan Ukraina Gunakan Senjata Serang Rusia Mem...
MOSKOW, SATUHARAPAN.COM-Kremlin mengatakan pada hari Senin ( 18/11) bahwa pemerintahan Presiden Amer...