Mimika akan Alami Masalah Sosial Akibat UU Minerba
TIMIKA, SATUHARAPAN.COM - Tokoh masyarakat Mimika, Papua, Yosep Yopi Kilangin memperkirakan akan terjadi banyak masalah sosial akibat pemberlakuan UU Nomor 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara terutama soal larangan ekpor bahan baku tambang.
Yopi Kilangin di Timika, Papua, Kamis (27/2), mengatakan, dampak terburuk dari larangan ekspor bahan baku tambang yaitu akan terjadi pemutusan hubungan kerja ribuan karyawan PT Freeport Indonesia maupun perusahaan kontraktor dan privatisasinya.
"Dampak dari penerapan UU ini pasti akan memukul kita sendiri, baik kepada pekerja maupun masyarakat dan pemerintah daerah. Saat ini saja Mimika masih menggantungkan 90 persen APBD-nya dari sektor tambang Freeport," kata Yopi Kilangin.
Dari informasi yang diterimanya, dia mengemukakan saat ini sejumlah area operasi pertambangan PT Freeport Indonesia di Tembagapura sudah ditutup. Salah satunya yaitu area tambang bawah tanah Big Gossan.
Freeport harus menutup beberapa lokasi tambangnya untuk menurunkan jumlah produksi lantaran sejak 12 Januari 2014 perusahaan itu tidak lagi mengekspor bijih tambang ke manca negara.
"Kondisi yang terjadi saat ini sesungguhnya Freeport merasa tertekan karena sejumlah produksinya dihentikan. Dia juga diikat dengan pajak yang tinggi kalau mau mengekspor bahan tambangnya. Belum lagi harus ada ketentuan untuk memurnikan biji tambang sampai pada kadar tertentu, sementara industri pemurnian belum tersedia," tutur Yopi, putra almarhum Mozes Kilangin.
Dia menyarankan agar semua pihak mencermati situasi dan kondisi yang terjadi tersebut secara bijak agar permasalahan sosial yang akan timbul bisa diminimalisasi.
"Saya berpandangan agar pemerintalah yang menyiapkan industri smelter sebagai pabrik peleburan bahan tambang dari semua perusahaan tambang di Indonesia. Kalau memang Freeport harus membangun industri smelter sendiri, saya kira ini harus dipertimbangkan secara matang. Saya tidak yakin pemerintah di Papua sudah siap untuk membangun industri smelter," ujar dia.
Menurut dia, pembangunan sebuah industri smelter tidak semudah yang dibayangkan. Selain membutuhkan dana puluhan triliun, juga perlu didukung dengan keberadaan infrastruktur yang lain seperti ketersediaan daya listrik, air, ketersediaan lahan dan lainnya.
Tidak itu saja, pemerintah juga harus memikirkan dampak ekologis yang akan ditimbulkan dari adanya sebuah industri smelter.
"Saat ini saja kita sudah saling lempar tanggung jawab terhadap kerusakan lingkungan di wilayah dataran tinggi dan dataran rendah Mimika akibat aktivitas pertambangan Freeport. Apalagi kalau industri smelter dibangun di sini maka akan membuka peluang untuk terjadi kerusakan lingkungan yang lebih parah lagi," ujarnya.
Wakil Presiden Direktur PT Freeport Indonesia, Joko Basyuni mengakui Freeport terpaksa melakukan PHK karyawan kontrak karena saat ini produksi perusahaan berkurang terkait permasalahan pajak bea keluar yang sangat memberatkan.
"Pemutusan hubungan kerja terhadap karyawan kontrak yang bekerja di area PT Freeport saat ini sudah tidak terelakan lagi," kata Joko saat dengar pendapat dengan DPRD Mimika, Selasa (25/2).
Ia mengatakan, Freeport keberatan jika harus membayar pajak bea keluar sampai 20 persen. Sejak 12 Januari, katanya, Freeport hanya mengirim 40 persen dari total produksi tambangnya ke pabrik smelter di Gresik, Jawa Timur.
"Biasanya 60 persen diekspor, dan 40 persen dikirim ke Gresik. Dengan produksi hanya 40 persen maka pasokan dari pabrik pengolahan ke Pelabuhan Portsite Amamapare dikurangi mengingat kapasitas di pelabuhan terbatas," jelas Joko yang mengepalai SDM di PT Freeport itu. (Ant)
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...