MK Tolak Permohonan Uji Formil UU Kesehatan
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM-Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji formil Undang-Undang Nomor 17 tahun 2023 tentang Kesehatan. MK menyatakan proses pembentukan Undang-undang Kesehatan tidak bertentangan dengan Undang-undang Dasar (UUD) 1945 sehingga UU Kesehatan tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat.
“Menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK, Suhartoyo, saat membacakan putusan di Jakarta, hari Kamis (29/2).
Permohonan uji formil tersebut diajukan oleh lima organisasi terdiri dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI). Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI) dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI).
Uji formil merupakan pengujian untuk menilai apakah undang-undang terbentuk dengan cara yang telah diatur perundang-undangan. Dalam permohonan ini, pemohon mengajukan gugatan di antaranya terkait keterlibatan publik dalam penyusunan Undang-undang Kesehatan.
Dalam putusannya, MK menilai pembentuk undang-undang telah melakukan upaya menjaring keterlibatan masyarakat. Bahkan, pemerintah secara aktif mengundang melalui berbagai forum, termasuk membuat sebuah laman (website) yang dapat diakses oleh seluruh masyarakat, terutama para pemangku kepentingan yang hendak berpartipasi tidak hanya dari unsur profesi tenaga medis atau tenaga kesehatan.
“Artinya, pembentuk undang-undang dapat memilah dan memilih/menyaring seluruh saran dan masukan masyarakat untuk dijadikan bahan dalam mengambil keputusan dan perumusan norma dalam setiap pembentukan undang-undang,” kata Hakim Konstitusi, M. Guntur Hamzah.
Pertimbangan MK itu berdasarkan empat fakta hukum mengenai pelibatan masyarakat dalam penyusunan UU Kesehatan. Fakta pertama, pemohon yang mewakili lima institusi telah diundang untuk konsultasi publik atau public hearing dalam penyusunan Undang-undang Kesehatan.
Kedua, Kemenkes telah melakukan kegiatan public hearing, focus group discussion, dan sosialisasi sebagai upaya memenuhi hak masyarakat terhadap keterangan atau pendapat ahli serta masyarakat dalam pembentukan undang-undang. Hak-hak itu, yakni hak untuk didengar, hak untuk dipertimbangkan, dan hak untuk diberi penjelasan.
Ketiga, para saksi yang diajukan ke persidangan mengakui diundang dalam kegiatan konsultasi publik oleh Kementerian Kesehatan. Para saksi juga menyatakan dapat memberikan masukan dan saran terhadap materi muatan rancangan UU Kesehatan.
Keempat, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan telah memberikan akses kepada masyarakat terhadap rancangan undang-undang dan naskah akademik. Bahkan, Kementerian Kesehatan memberikan saluran untuk menyampaikan pendapat masyarakat melalui laman resmi, yaitu https://partisipasisehat.kemkes.go.id/ dalam bentuk pengisian form pendapat dan masukan secara daring (online).
Pembentukan UU 17/2023 juga dinilai telah mengakomodir sejumlah putusan MK sebagai salah satu alasan perlunya dilakukan perubahan Undang-undang Kesehatan meski hal itu tidak dicantumkan secara eksplisit dalam landasan yuridis RUU Kesehatan. Sebelumnya, MK memutus sejumlah perkara yang memiliki kaitan dengan substansi UU Kesehatan.
MK juga menilai proses penyusunan UU Kesehatan telah sesuai kaidah pembentukan undang-undang yang baik mengikuti metode omnibus. UU Kesehatan juga menerapkan struktur penomoran yang sistematis sehingga mudah dibaca dan dipahami oleh pengguna dan pemangku kepentingan. Dengan demikian, UU Kesehatan tidak cacat formil.
Editor : Sabar Subekti
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...