Momoa, Burung Kaki Besar yang Tidak Mengerami Telurnya
SATUHARAPAN.COM – Di daerah Ambon, burung ini dikenal dengan nama momoa. Di wilayah Pantai Simau, Kecamatan Galela, Halmahera, Maluku Utara, burung ini disebut salabia. Dalam dunia ilmu pengetahuan, burung ini disebut gosong maluku. Dan, berbagai nama itu disatukan oleh nama ilmiah Eulipoa wallacei.
Burung yang masih berkerabat dengan maleo ini menjadi salah satu atraksi Pantai Simau selain keindahan pemandangan pantai berpasir hitam dan laut birunya, hutan mangrove, serta pemandangan Gunung Dukono di kejauhan.
Namun, momoa, yang dalam bahasa Inggris disebut moluccan scrubfowl itu, saat ini masuk dalam kategori “Rentan Punah”. Lembaga konservasi dunia, The International Union for Conservation of Nature (IUCN), menyebutkan status momoa sebagai burung endemik rentan terhadap kepunahan (vulnerable).
Populasinya terus menyusut, karena kerusakan habitat hutan yang terus berlanjut dan keamanan yang sempat terganggu di Maluku, yang menghambat usaha perlindungan spesies ini.
Pemangsa utama telurnya, manusia, masih kerap memburu sarang-sarang momoa dan mengambil semua telurnya. Tetapi, di Simau, warga mulai sadar akan ancaman ini sehingga selain aktif berpatroli, warga juga membatasi jumlah telur momoa yang boleh diambil demi kelestariannya.
Predator telur lain adalah jenis kadal, ular, burung, juga kucing dan anjing.
Momoa, seperti dikutip dari situs resmi Burung Indonesia, masih berkerabat dengan maleo. Momoa termasuk dalam kelompok megapoda, yaitu burung berkaki besar, yang mempunyai telur besar. Kakinya yang besar digunakan untuk mencari makan maupun menggali sarang.
Sosok momoa sekilas mirip ayam kampung dengan ukuran tubuh antara 33-34 cm, berbulu cokelat zaitun, bulu sisi bawah abu-abu biru gelap, tungging putih, serta kaki cokelat kekuningan. Kulit sekitar mukanya berwarna merah muda, iris mata cokelat, paruh kuning keabu-abuan. Di punggungnya terdapat motif berbentuk palang dan penutup sayap yang berwarna merah gelap berujung abu-abu. Anak burung berwarna cokelat dengan kaki dan paruh berwarna hitam.
Burung ini mendiami hutan di beberapa pulau yang termasuk dalam Kepulauan Maluku. Pada malam hari, momoa meninggalkan hutan, pergi ke pantai berpasir untuk bertelur. Tetapi, momoa tidak mengerami telurnya. Momoa menggali lubang dan mengubur telurnya dengan pasir. Tujuannya agar panas matahari pada siang hari dapat menghangatkan pasir sehingga telur-telur tersebut dapat menetas.
Burung Indonesia menyebutkan hampir setiap hari momoa bertelur. Namun, pada hari-hari bulan baru atau bulan gelap, jumlah momoa yang bertelur jauh lebih sedikit dibanding pada saat bulan purnama.
Penelitian Gillian Baker dari University of Sussex, Inggris, menyebutkan ada beberapa kemungkinan penyebab momoa lebih memilih bertelur saat bulan purnama. Bulan purnama diduga berperan dalam mengurangi risiko predasi telur oleh pemangsa. Ketika langit terang, momoa dapat melihat predator dengan lebih jelas sehingga dapat menghindar. Dugaan lain, bulan purnama berperan dalam menyerentakkan waktu bertelur bagi momoa serta sebagai alat bantu navigasi bagi burung ini untuk menemukan lokasi bersarang.
Habitat dan Daerah Pernyebarannya
Mengutip dari Burung Indonesia, tercatat ada dua lokasi besar yang menjadi tempat bersarang momoa, yaitu Pulau Haruku di dekat Ambon dan Galela di Pulau Halmahera. Kedua tempat itu menyokong lebih dari separuh populasi total momoa. Sarang-sarangnya di Halmahera dibuat di pantai berpasir dan semak pesisir di tepi pantai hingga ketinggian 1.500 m di atas permukaan laut.
Burung ini juga mendiami hutan di beberapa pulau yang termasuk dalam Kepulauan Maluku, yakni Halmahera, Meiti, Ternate, Bacan, Buru, Boano, Seram, Ambon, dan Haruku, sehingga disebut burung endemik di Maluku. Wikipedia, mengutip dari BirdLife International (2001), burung ini juga dijumpai di Misool, Papua.
Habitat hidupnya adalah hutan perbukitan dan hutan pegunungan, namun momoa pergi ke pantai berpasir dan semak pesisir untuk pada saat musim bertelur.
Wikipedia menyebutkan burung jenis ini memiliki nama sinonim Megapodius wallacei Collar and Andrew (1988), Megapodius wallacei Sibley and Monroe (1990, 1993), Megapodius wallacei Collar et al. (1994).
Editor : Sotyati
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...