Mudik? Tunda Dulu!
UWM Gelar Webinar Nasional Tanggap COVID-19
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Polemik Mudik dan Pulang Kampung terkait dengan kondisi terkini pandemi Covid-19 telah memicu reaksi yang beragam di masyarakat. Himbauan pemerintah kepada masyarakat untuk tidak mudik pada musim lebaran Idul Fitri kali ini masih kerap diabaikan terlebih ketika himbauan mudik dianggap tidak memiliki ketegasan dengan adanya sanksi bagi yang melanggarnya telah disalahartikan oleh sebagian masyarakat untuk bersiasat atas himbauan tersebut melalui penyiapan berbagai persyaratan dan kelengkapan yang harus dipenuhi yang sesungguhnya cukup merepotkan dan “berbiaya” mahal.
Adanya himbauan pemerintah tersebut sebagai upaya untuk memutus matarantai penyebaran virus corona yang dalam dua minggu terakhir ini mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Bahkan pada Kamis (21/5) saat kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sedikit dilonggarkan, angka kasus pasien baru yang positif terinfeksi virus corona meningkat mendekati 1.000. Mudik ataupun pulang kampung berpotensi meningkatkan kasus baru dan mempercepat-memperluas penularan-penyebaran virus corona. Akibatnya, penanganannya bisa lebih merepotkan bahkan membahayakan jiwa mereka yang telah berjuang di garda depan dalam memutus penyebaran virus corona.
Menyikapi hal tersebut, sivitas akademika Universitas Widya Mataram (UWM) Yogyakarta pada Jumat (22/5) siang menggelar webinar nasional mengangkat tajuk “Mudik, Pandemi Covid-19, Relasi Negara, dan Masyarakat; Telaah Kritis dalam Berbagai Perspektif” menghadirkan tiga narasumber Dr. Phil. Sukri Tamma, M.Si., (dosen Program Studi Ilmu Politik Universitas Hasanuddin, Makassar), Dr. Franciscus Xaverius Wartoyo, M.Pd., M.H, (dosen Program Studi Pendidikan Sejarah STKIP PGRI Sidoarjo, Jawa Timur), serta Puji Qomariyah, S.Sos., M.Si., (dosen Program Studi Sosiologi sekaligus Wakil Rektor III UWM).
Sukri Tamma memberikan pemaparan mengenai posisi negara dan masyarakat, terutama pada situasi Mudik di tengah pandemi saat ini. Sukri menekankan, ada situasi kebijakan negara harus berhadapan dengan keinginan masyarakat. Dan keberhasilan kebijakan negara akan banyak tergantung pada peran aktif masyarakat. Akan tetapi kebijakan negara yang tidak populis pasti akan rentan kritik meski untuk menyelamatkan atau demi kepentingan bersama. Oleh karena itu di sinilah pentingnya koordinasi yang baik antar institusi pemerintah.
Sukri menegaskan pada situasi pandemi ini, bertepatan dengan momentum kultural masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam yang merayakan hari raya Idul Fitri dengan melaksanakan perjalanan mudik menuai pro-kontra dan kita menyaksikan sendiri banyak pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat.
“Dalam kondisi saat ini, kebijakan negara seolah-olah sedang berhadapan dengan keinginan masyarakat. Bagaimana sikap kita sebagai warga negara memandang kebijakan pemerintah dalam perspektif yang proporsional?” jelas Sukri Tamma mengawali perbincangan.
Sukri menyampaikan bahwa posisi masyarakat pada kondisi pandemi ini harus mengikuti aturan pemerintah demi kemaslahatan dan keselamatan bersama. Kebijakan pemerintah akan berhasil jika didukung oleh peran masyarakat yang aktif.
“Pandemi ini bukan masalah waktu, satu tahun pun jika tidak ada peran yang baik dari masyarakat untuk ikut memotong rantai penyebaran ini dengan mengurangi interaksi, maka akan mustahil kita bisa melawan pandemi ini.” tegas Sukri.
Sosiolog UWM Puji Qomariyah memaparkan perspektif mudik dalam tiga dimensi dalam tradisi mudik: dimensi spiritual-kultural, dimensi tradisionalistik, dan dimensi rasionalitas. Puji menjelaskan bahwa tradisi mudik erat kaitannya dengan petani Jawa yang mengunjungi tanah kelahirannya, berziarah ke makam leluhurnya, yang menjadi alasan utama dalam dimensi spiritual-kulturalnya.
“Ketika warga kota yang kehidupan tradisionalnya terkikis akibat bersentuhan dengan modernitas, mudik menjadi sebuah kebutuhan bersama secara asal-usul ataupun historis,” jelas Puji.
Dalam dimensi rasionalitas mengenai proses reproduksi ekonomi dan sosial dalam memperhitungkan untung rugi dalam relasi sosial dan ekonomi di tengah kehidupan kesehariannya. Dengan mudik akan terjalin proses interaksi sosial, membangun solidaritas organik yang lama tercerabut dari lingkungan modern yang dialami sehari-hari. Puji menambahkan bahwa keseharian yang dijalani dalam kehidupan masyarakat kota adalah solidaritas mekanik yang cenderung kaku, dan sangat mekanistis, kampung halaman dengan karakteristik pedesaan lebih ramah, lebih nyaman dan humanis. Sehingga tradisi mudik ini tidak tergantikan dengan teknologi.
Saat negara melakukan intervensi sosial dengan pelarangan mudik, sebagai bentuk social engineering, berbagai respon muncul dari masyarakat, ada yang mengatakan negara terlalu dalam mencampuri urusan kerinduan hati pada kampung halaman. Negara melakukan intervensi sistemik untuk mengatur mobilitas warga, bahkan dilakukan secara represif, dijaga ketat oleh aparat sebagai upaya melindungi warganya.
“Inilah upaya negara menyelamatkan warganya dengan memutus rantai Covid-19, oleh karena itu mari kita di rumah saja, tidak usah mudik. Baik sebelum maupun setelah lebaran. (Untuk saat ini) risikonya lebih besar. Tundalah untuk beberapa saat hingga benar-benar aman. Ini perlu pemahaman dan kesadaran bersama dari semua pihak agar penularan-penyebaran virus corona bisa ditekan sambil menunggu dihasilkan vaksinnya,” imbuh Puji.
Sementara pakar sejarah STKIP PGRI Sidoarjo, Jawa Timur Franciscus Xaverius Wartoyo membahas mengenai peran negara dan masyarakat dalam menghadapi Covid-19 menegaskan bahwa selama ini negara telah hadir, baik pada kondisi normal maupun pada kondisi pandemi seperti ini. Mengutip dari Pembukaan UUD 1945, “….melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum….”
FX Wartoyo menambahkan sejarah mudik dalam bangsa Indonesia tidak pernah lepas dari Pemerintah dengan memberikan pelayanan-pelayanan untuk mendukung terselenggaranya mudik, seperti mudik gratis, pos pelayanan kesehatan, pos pelayanan keamanan, hingga mengamati dan mengawasi adanya THR.
Dalam suasana pandemi saat ini, yang dilakukan Pemerintah adalah bukan melarang adanya mudik, namun menunda kegiatan tersebut. Penundaan ini juga dilakukan dalam rangka mengatasi penyebaran Covid-19 supaya tidak lebih lama mewabah di Indonesia.
“Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Perhubungan No. 25 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi selama Musim Mudik Idul Fitri 1441 H dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Covid-19 demi keselamatan warga negara, dan tetap mengikuti protokol kesehatan yang berlaku, khususnya daerah-daerah yang menerapkan PSBB,” jelas FX Wartoyo.
Prof. Dr. Edy Suandi Hamid, M.Ec selaku keynote speech webinar memberikan penekanan bahwa mudik atau pulang kampung menjadi tradisi luar biasa di Indonesia, khususnya saat momentum Hari Raya, yang belum tentu di negara lain, sekalipun negara Islam, juga memiliki tradisi seperti ini.
“Ikatan primordial kita sangat kuat, momen Idul Fitri menjadi sarana untuk memperkuat ikatan itu, sehingga masyarakat kita ingin tetap melakukan aktivitas mudik, walaupun harus melanggar PSBB dan aturan semacamnya. Namun demikian, dalam kondisi tanggap pandemi Covid-19 kita harus mengikuti himbauan pemerintah. Social Cost dan juga Traffic Cost terlalu besar pada kondisi seperti ini dan hal ini juga mempengaruhi pada keluarga yang berangkat mudik ataupun kepada keluarga yang didatangi.” pungkas Edy Suandi Hamid yang juga Rektor UWM.
Webinar nasional yang dihelat secara interaktif live streaming selama dua jam melalui kanal Zoom dan YouTube dihadiri sekitar 300-an pengunjung daring dari berbagai kota diantaranya Semarang, Sidoarjo, Cepu-Blora, Salatiga, Makassar, dan juga Yogyakarta.
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...