Muhammad Najib Azca: Perlu Gerakan Kontra Gagasan Radikalisme
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Muhammad Najib Azca, mengatakan bahwa diperlukan konsensus lebih luas mengenai isu anti-radikalisasi dan gerakan bersama oleh para aktor anti-radikalisasi di tengah masyarakat. Fatwa dapat diperlukan sebagai salah satu upaya wacana kontra gagasan terhadap kelompok radikal.
Pernyataan itu disampaikan sosiolog M. Najib Azca kepada satuharapan.com, pada hari peluncuran Jurnal MAARIF 2013 yang bertemakan “Menghalau Radikalisasi Kaum Muda: Gagasan dan Aksi”, di kantor MAARIF Institute, Rabu (3/07), Jakarta. Berikut petikan wawancaranya:
Satuharapan.com: Apakah perlu semacam fatwa atau semacam kesepakatan kolektif dari lembaga-lembaga Islam untuk menangkal radikalisasi?
Muhammad Najib Azca: “Mungkin ada baiknya juga dan mungkin akan lebih bagus juga, tapi itu bukan jaminan. Tidak ada jaminan bahwa dengan adanya fatwa, serta merta itu akan dipakai, disepakati. Paling tidak itu dapat dipakai sebagai bagaian kontra wacana yang saya sebutkan tadi, itu mungkin ada gunanya.
"Artinya, semakin luas konsensus dibangun mengenai isu (anti radikalisasi) ini, maka saya kira mengenai isu ini akan memungkinkan lebih menjamin resonansinya akan lebih besar ya. Saya kira itu, tidak serta merta fatwa itu menjadi jaminan akan berhasil.
"Tapi lebih dari itu bagaimana wacana itu (fatwa) memiliki memiliki akar ke bawah, bagaimana dapat bergerak di level masyarakat yang saya kira itu dilakukan oleh para aktornya. Ketika berhenti sebagai kertas mati, fatwa akan berhenti menjadi sebuah kertas. Dan fatwa demikian tidak memiliki resonansi politik.
"Sebaliknya, ketika itu dihidupkan oleh aktor-aktornya, oleh agen-agennya, oleh teman-teman aktivis misalnya, seperti Muhammadiyah, NU, dan media, hal itu bisa menjadi gerakan yang hidup di masyrakat.”
Satuharapan.com: Apakah ketika ada aksi bersama lintas kelompok akan bisa mempengaruhi?
Muhammad Najib Azca: “Saya kira dalam kesempatan itu, dapat dilakukan diskusi sehat dan terbuka. Saya masih percaya bahwa kita dalam posisi yang memimpin. Problemnya, ketika anak-anak tidak memiliki diskusi kritis terhadap dogma-dogma dan terhadap pikiran-pikiran radikalisasi, itu menjadi persoalan bagi saya.
"Ketika kita tandingkan dengan gagasan-gagasan, dan diminta memilih, saya kira itu lebih sehat. Misalnya ketika kita mengadakan kamping linstas agama, lintas kelompok, pasti kan ada supervise (yang mengawasi) ya? Lalu mereka melakukan intervensi yang dianggap perlu. Yang utama dapat melakukan diskusi sehat. Itu perlu dan sangat penting dalam konteks anti radikalisasi.”
(Ketika disinggung mengenai aksi ”menyiram teh” ala Munarman di salah satu stasiun tv swasta nasional beberapa waktu lalu, sosiolog UGM ini mengatakan bahwa itu sebagai contoh nyata tindakan radikal).
”Ha-ha-ha ... Menurut saya, aksi itu sangat bagus sebagai exemplar (lembaran) mengenai bagaimana tidak siapnya kelompok-kelompok radikal untuk bertukar-pikiran, bahwa mereka tidak siap bertukar pikir dalam gagasan yang baik. Kualitas mereka ya seperti itu... hanya siap bertarung melalui otot, bukan otak. Begitu ya? Tidak bisa bertukar argumen, tapi justru bertukar ”air teh”.
"Saya kira itu sebagai contoh yang ada, kita tidak perlu cari contoh lainnya dulu yang mengada-ada, tapi justru dia (kelompok radikalis) menyediakan contoh yang kasat mata mengenai mentalitas radikal, ketidaksiapan untuk berdiskusi, berdialog.”
Upaya Deradikalisasi
Hari Rabu itu, M. Najib Azca menjadi salah satu nara sumber diskusi publik yang diselenggarakan MAARIF Institute, dia memaparkan bahwa setidaknya ada tiga faktor yang bisa digunakan untuk menjelaskan fenomena radikalisme di kalangan kaum muda.
Pertama, dinamika sosial politik di fase awal transisi menuju demokrasi yang membuka struktur kesempatan politik (political opportunity structure) yang baru di tengah tingginya gejolak dan ketidakpastian. Faktor kedua adalah transformasi gerakan radikal Islam yang sebagian memiliki geneologi pada awal kemerdekaan. Ketiga, tingginya angka pengangguran di kalangan kaum muda di Indonesia.
“Ketiga faktor inilah yang berjalin erat menyebakan radikalisme mendapat tempat yang subur di kalangan generasi muda,” ungkap sosiolog, yang menjabat sebagai direktur Youth Studies Center (YouSure) UGM.
Dalam diskusi publik tersebut, ada dua hal yang diusulkan M. Najib Azca berdasarkan refleksinya, pertama, melakukan kontra wacana, argumentasi, gagasan dan narasi, serta kedua, membuat relasi sosial yang majemuk.
“Upaya-upaya membuat wacana tandingan, argumen, narasi tandingan mengenai kebenaran anti-terorisme, anti-radikalisisme. Misalnya, argumen mengenai kebenaran perjuangan kekerasan yang digunakan untuk membenarkan perjuangan para terorisme. Pada zaman Nabi, kita juga menyajikan narasi tandingan dengan mengunakan narasi mengenai nabi yang anti kekerasan,“ kata Najib Azca, yang setuju menghentikan radikalisme melalui jalur demokratik.
“Kedua, pentingnya membuat relasi sosial yang semakin majemuk. Orang yang memiliki relasi lebih banyak dengan banyak orang atau banyak kelompok, maka kemungkinan besar akan menjadi radikal semakin kecil," ujar Najib Azca, yang memilki pengalaman berinteraksi dengan kelompok radikal.
Editor : Sabar Subekti
Albania akan Blokir TikTok Setahun
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Pemerintah Albania menyatakan akan memblokir media sosial TikTok selama s...