Musala Kecil Jantung Kebinekaan Indonesia
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Berawal dari sebuah bilik kecil kemudian berkembang menjadi musala. Meski tidak besar, keberadaan Musala Al-Barakah mencerminkan kebinekaan Indonesia. Musala yang berdiri sejak tahun 50-an ini memiliki peran penting dalam menciptakan ketentraman dan kerukunan di lingkungan Jalan Salak dan sekitarnya, di Kelurahan Cawang, Jakarta Timur.
Kebinekaan Indonesia, bagi salah satu pengurus aktif musala, merupakan sikap saling menghargai antaragama dan antaretnis meski di lingkungannya mayoritas beragama Islam.
“Kebinekaan ya (kondisi) rukun (kalau) di sini. Di sini (masyarakatnya) campur. Meski masyoritas muslim, tetapi non-muslim tetap ada,” ujar laki-laki yang biasa disapa Mimik ini kepada satuharapan.com, hari Jumat (14/8).
Dia mengatakan bahwa kebinekaan di lingkungan musala juga diwujudkan dengan adanya rasa aman dan perlindungan bagi warga sekitar. Hal tersebut tampak dari suasana saling menghargai dan memberi bila hari raya tiba.
Hari raya Idul Adha, misalnya, kata dia selalu ada kebiasaan membagi-bagikan kurban kepada warga. Namun ternyata, daging kurban tidak hanya diberikan kepada kelompok warga muslim yang merayakan Lebaran Haji, tetapi daging kurban juga diberikan kepada masyarakat non-Islam di lingkungan musala.
“Jadi (daging kurban) tidak hanya dibagikan kepada yang merayakan, tetapi semua yang ada di lingkungan ini dikasih walau ia non-muslim,” ujar Mimik.
Selain itu, kerukunan juga ditunjukkan di antara etnis yang berbeda. “Kalau tinggal di sini, walaupun bukan muslim, enak. Aman. (Etnis) Tionghoa, Ambon, Batak semua aman di sini,” kata dia.
Meskipun demikian, Mimik prihatin dengan situasi konflik antaragama di Indonesia. Ia melihat kerusuhan agama terjadi lantaran praktik politik yang menunggangi agama untuk meraup massa yang besar. Ia juga mencontohkan kelompok militan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) yang justru tidak menunjukkan ajaran Islam yang benar.
“Seperti sekarang politik menunggangi agama. Lihat kelompok ISIS yang bunuh-bunuhan. (Sebenarnya) Islam nggak ada (praktik) bunuh-bunuhan,” ujar Mimik.
Menurutnya, yang paling mudah membuat kericuhan adalah kegiatan politik berkedok agama. Mimik mengatakan, oknum-oknum yang kerap menjadi pemberontak atas nama Islam belum tentu merupakan penganut Islam yang baik dan benar.
“KTP (tercantum) agama Islam. Namun kalau ia (oknum) orang Islam, akan betul-betul menjaga cara beragama. Kekerasan tidak boleh ada, sebab di dalam Islam tidak ada paksaan,” kata dia.
“Maka dari itulah, mempelajari agama harus menyeluruh dan jangan tanggung-tanggung. Pelajari betul-betul,” ujar Mimik. Ia melanjutkan, kalau seseorang mempelajari agama secara menyeluruh, orang tersebut bisa membedakan mana yang benar dan yang tidak benar agar tidak mudah terpancing dengan ajaran Islam yang tidak damai.
Usia 70 Tahun Indonesia, Kemakmuran Belum Merata
Bagi Mimik, Indonesia memang sudah merdeka dari bangsa penjajah. Akan tetapi bila dilihat dari wajah setiap warganya, kondisi bangsa Indonesia masih jauh dari kata ‘merdeka’.
Tujuh puluh tahun usia Indonesia, menurut dia, tidak membawa perubahan yang baik bagi masyarakat di bumi pertiwi. Ia melihat bahwa Indonesia memang negara yang makmur namun kemakmuran tersebut tidak ditampakkan secara merata di setiap warganya.
“Sebetulnya Indonesia ini makmur. Walaupun makmur, tapi tidak merata. Usia 70 tahun Indonesia saya melihat masih biasa-biasa saja. (Indonesia) tidak ada perubahan dan seperti jalan di tempat,” ujar dia.
Pria yang juga berprofesi sebagai wiraswasta ini pun mempertanyakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sebab masih banyak sekolah-sekolah di daerah lain dengan kondisi memprihatinkan dan pasokan listrik yang masih langka. Padahal pendidikan dan listrik adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh negara karena menyangkut hajat hidup orang banyak.
Perjalanan bangsa Indonesia selama 70 tahun ini dipandang Mimik merupakan pengembaraan yang lamban. Ia pun pesimistis dengan kemajuan Indonesia 10 tahun mendatang, kelak Indonesia mencapai 80 tahun.
Ia berharap, 70 tahun Indonesia bisa menunjukkan kemajuan yang menyeluruh. Keadilan juga sebaiknya dirasakan oleh kaum muda karena generasi inilah yang akan memimpin bangsa nantinya.
Mimik pun cemas dengan maraknya tempat-tempat nongkrong anak muda yang memberikan fasilitas hingga 24 jam. Sebab, hal tersebut merupakan salah satu faktor pemicu tindakan kriminal dan kenakalan yang mengancam anak muda generasi masa depan.
“Anak muda maunya jangan dijauhi, melainkan dibimbing, diarahkan, dan dibina ke arah yang bermanfaat. (Selain itu) dikasih fasilitas dan sarana yang agak murah,” ujar dia.
Meskipun demikian, ia bersyukur karena masih banyak anak muda yang mau menjadi penerus untuk memperhatikan Musala Al-Barakah ini. Ia mengaku, banyak pula anak-anak dari pesantren yang rela memberikan diri dan waktu untuk mengajar agama.
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...