Musdah: Negara Tak Boleh Diam pada Anarkis Berbau Agama
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Siti Musdah Mulia, Ketua Umum Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) mengatakan kepada satuharapan.com bahwa negara tidak boleh diam saat terjadi kekerasan bernuansa perbedaan agama. Musdah Mulia mengemukakan hal ini pada Rabu (15/10) seusai acara Peresmian Graha Oikoumene di Jalan Salemba Raya No.10, Jakarta Pusat, Rabu (15/10).
“Negara harus hadir negara tidak boleh kalah dengan premanisme apa pun alasannya negara tidak boleh kalah oleh kelompok preman berkedok apa pun,” kata Musdah Mulia.
Beberapa waktu lalu ICRP mengeluarkan pernyataan sikap tetang kebebasan beragama sebagai semangat dalam menjalani kehidupan bernegara dan berbangsa sesuai Pancasila dan konstitusi UUD 1945. Pernyataan tersebut terbagi dalam beberapa poin-poin penting antara lain
Pertama, Indonesia merupakan negara hukum yang berdasarkan pada konstitusi. Hukum Indonesia tidak membernarkan adanya diskriminasi terhadap kelompok agama atau keyakinan tertentu seperti tertuang pada pasal 29 ayat 2 UUD 1945 leh sebab itu, upaya-upaya diskriminasi berbasis agama merupakan tindakan melanggar hukum dan inkonstitusional.
Kedua, pemerintah terpilih harus menegakkan hak-hak warga negara dan melindungi semua warganya dari ancaman pelanggaran Hak Asasi Manusia, selanjutnya yang ketiga ICRP mengingatkan pemerintah terpilih untuk melaksanakan janji-janji kampanye terkait kebebasan beragama. Keempat, ICRP mendukung aparat negara untuk tegas terhadap pelaku kekerasan. Kelima, mendukung pemerintah untuk merancang Undang-undang perlindungan hak-hak beragama dan berkeyakinan. Keenam, ICRP mengajak segenap lapisan masyarakat untuk bersikap arif dalam menyikapi gejolak perpolitikan di Indonesia pasca pemilihan umum presiden 2014.
Musdah Mulia berpendapat bahwa seluruh aksi kekerasan tanpa merinci kasus merupakan sebuah kemunduran bagi Indonesia, dan bertentangan dengan konstitusi sehingga pemerintahan baru harus bertindak tegas. “Menurut hemat saya seluruh aksi yang berusaha untuk memecah belah konstitusi saya anggap sebagai premanisme itu jelas sekali itu tidak boleh dibiarkan,” Musdah Mulia melanjutkan.
Tentang Basuki Tjahaja Purnama
Siti Musdah Mulia mengatakan dia tidak ingin terlalu mencampuradukkan masalah agama dan politik seperti kasus aksi penolakan Basuki Tjahaja Purnama sebagai gubernur oleh sekelompok organisasi kemasyarakatan (ormas) tertentu yang menggelar unjuk rasa setiap Jumat di depan Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi DKI Jakarta.
“Indonesia berjalan berdasarkan konstitusi jadi kalau konstitusi membolehkan siapa pun warga negara Indonesia menjadi seorang gubernur, maka sebagai konsekuensinya siapa pun yang tidak setuju dengan hal itu maka dia harus berhadapan dengan konstitusi,” Musdah Mulia melanjutkan.
“Di negeri ini tidak ada istilah ada mayoritas dan minoritas, di negeri ini kita semua setara sebagai warga negara,” Musdah Mulia menambahkan
Musdah Mulia menambahkan bahwa kepemimpinan Basuki dan pola komunikasi sejauh ini cukup baik sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta
“Kalau komunikasi kurang baik maka itu adalah masalah yang sangat sangat relatif dan subyektif, karena setiap orang menilai berbeda-beda tentang kepemimpinan pak Ahok (Basuki Tjahaja Purnama), kalau saya ditanya tentang hal itu maka Ahok sangat baik,” Musdah Mulia melanjutkan.
Musdah Mulia mencermati bahwa yang harus ditekankan kepada masyarakat Indonesia, warga Jakarta khususnya kepada seorang pemimpin kepala daerah adalah tidak perlu melihat kepercayaan yang dianut sama atau tidak akan tetapi seorang pemimpin daerah tersebut memerintah dalam koridor konstitusi atau tidak.
Editor : Bayu Probo
Kekerasan Sektarian di Suriah Tidak Sehebat Yang Dikhawatirk...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Penggulingan Bashar al Assad telah memunculkan harapan sementara bahwa war...