Loading...
BUDAYA
Penulis: Diah Anggraeni Retnaningrum 07:12 WIB | Jumat, 09 Mei 2014

Museum Kontemporer Tarik Minat Kunjungi Museum

Museum Kontemporer Tarik Minat Kunjungi Museum
Dr. Clementine Deliss, seorang kepala museum dari Welkulutren Museum di Frankfurt, Jerman. (Foto: Diah A.R)
Museum Kontemporer Tarik Minat Kunjungi Museum
Beberapa display pameran yang ada di Welkulutren Museum. (Foto: facebook Welkulturen Museum)
Museum Kontemporer Tarik Minat Kunjungi Museum
Contoh seni kain tenun asli Indonesia dipamerkan di Wlkulturen Museum dan menarik banyak pengunjung.

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Museum yang dianggap oleh sebagian masyarakat saat ini merupakan tempat yang tidak menarik. Namun, Dr. Clementine Deliss, seorang kepala museum dari  Welkulutren Museum di Frankfurt, Jerman membuatnya sangat berbeda untuk menarik minat masyarakat mengunjungi museum. Museum ini disebut sebagai museum kontemporer.

“Museum kami terdiri dari beberapa bangunan dan ruangan yaitu ruang pameran, perpustakaan, ruang arsip film dan foto, laboratorium, studio, ruang proyek dan apartemen,” kata dia dalam presentasi “Menuju Museum Pasca Ethnografi di Abad ke-21” di Auditorium Gedung 10 Universitas Indonesia, Jakarta, Kamis (8/5).

“Saat ini, banyak museum yang masih tertidur. Untuk membangunkannya berarti kita tidak bisa menutup diri dari luar dan keberadaan teknologi. Itu artinya, kita bisa membangun kerja sama dengan beberapa pihak luar seperti seniman, pengacara, para ahli bidang ethnografi dan fotografer.”

Menurutnya, pihak-pihak tersebut sangat dibutuhkan dan menunjang museum untuk tetap hidup. Misalnya, seniman dan desain interior dapat bekerja sama untuk menata ruang, lampu dan beberapa hal yang berhubungan dengan artisitik. Keberadaan pengacara juga diperlukan untuk mengurusi kepentingan yang ada kaitannya dengan hukum.

Dalam presentasinya, Deliss menyimpulkan bahwa untuk membuat museum kontemporer merupakan potensi yang sangat besar apalagi bagi Indonesia yang memiliki banyak sejarah dan kaya akan budaya. Menurutnya, akan lebih menarik lagi untuk mengajak seniman dari luar untuk membuat museum hidup kembali. Tentu biaya yang dikeluarkan akan banyak mengingat peralatan dan perawatan akan sangat mahal.

Dia juga berpendapat bahwa jangan membuat museum menjadi sesuatu yang ortodoks. Maksudnya adalah museum juga harus mengikuti perkembangan zaman walaupun isinya adalah barang-barang purbakala peninggalan zaman kolonial.

Selain itu, saat memutuskan untuk mengajak beberapa seniman dalam mendirikan atau memperbarui museum dengan gaya kontemporer, sebagai pengembang ataupun orang yang bergerak dalam bidang ini harus menghargai mereka dengan cara sering berdialog dan bertukar pikiran untuk mengetahui apa yang menjadi kebutuhan dan kesulitan mereka.

Welkulturen Museum Frankfurt

Museum Welkulturen Frankfurt, Jerman didirikan pada tahun 1904 sebagai lembaga sipil untuk menyatukan koleksi etnografi kota Frankfurt. Pada tahun 1908 museum ini  pindah ke Palais Thurn un Taxis di pusat kota.

Beberapa bagian penting dari koleksi museum ini hilang ketika Palais dihancurkan oleh bom pada Perang Dunia II. Namun, beberapa koleksi yang berhasil diselamatkan dari PD II sudah dievakuasi dari Palais dan pada tahun 1973, mereka dipajang di sebuah vila tua di tepi Utama, di mana tempat itulah mereka berasal. Oleh karena itu, museum ini dianggap sebagai museum tertua di dunia.

Museum ini telah berkembang sejak tahun 1973 dan sekarang menempati tiga bangunan yang berdekatan di Schaumainkai - nos. 29 (bangunan utama), 35 (villa asli), dan 37 ("Galeri 37"), yang diperoleh dan  dibangun kembali pada 1980-an. Koleksi yang ada meliputi lebih dari 65.000 objek dari Oceania, Australia, Asia Tenggara, Amerika, Afrika dan Eropa. Dalam galeri ada 37 titik pameran dari karya-karya kontemporer dengan seniman India, Afrika, Oseania dan Indonesia.

Pada tahun 2010, museum ini kembali direnovasi dan ditata dengan sangat baik untuk menarik lebih banyak lagi pengunjung museum dengan gaya kontemporer. (wikipedia.org)

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home