Musim Semi di Turki
ISTANBUL, SATUHARAPAN.COM – Sungguh di luar dugaan semua pihak, langkah pemerintah Turki untuk membongkar Taman Taksim Gezi di Istanbum guna dijadikan perumahan dan kompleks perbelanjaan yang mewah malah menimbulkan protes yang terus meluas sampai sekarang.
Diawali protes damai sekitar 100 orang aktivis lingkungan hidup pada 28 Mei, pihak kepolisian menanggapinya dengan keras untuk mengusir mereka dari Taman Taksim Gezi. Langkah ini mengundang simpati banyak orang, apalagi sejak CHP (Partai Republik Rakyat Turki) sebagai partai oposisi mendukung protes itu. Pada 1 Juni, sekitar 10.000 orang membanjiri Taman Taksim memberi dukungan, sembari meneriakkan yel-yel “Jatuhkan pemerintahan diktator!” dan “Bersatu melawan fasisme!”
Bentrokan pun tak terelakkan antara pihak kepolisian dengan massa. Gas air mata dan semprotan air dari polisi dijawab lemparan bom Molotov dan batu dari pihak demonstran. Dalam sekejap, protes itu menyebar ke wilayah-wilayah lain, dan menggoncang Ankara, ibukota Turki. Soalnya bukan lagi pengalihfungsian Taman Taksim Gezi, melainkan sudah berubah menjadi demonstrasi anti-pemerintah.
Gelombang demonstrasi besar ini terutama dipicu oleh kebijakan Perdana Menteri Recep Tayyip Erdogan yang menanggapi protes tersebut dengan cara keras. Lembaga HAM di Turki, melaporkan lebih dari 1000 demonstran “diperlakukan tidak baik dan disiksa” oleh pihak kepolisian. Kekerasan itu bahkan sudah menelan korban jiwa. Hal ini, pada gilirannya, memicu simpati yang makin meluas. Bahkan serikat pekerja di Turki memutuskan untuk melakukan mogok massal guna mendukung demonstrasi tersebut.
Tindakan keras pemerintah ini disesalkan oleh banyak pihak, termasuk Orhan Pamuk, novelis Turki pemenang hadiah Nobel. Saat menghadiri acara jumpa dengan pembaca yang dirancang oleh koran Italia, La Republica 7 Juni lalu di Florensia, Pamuk mengaku sangat prihatin dengan situasi terakhir di negaranya. “Saya prihatin pada negara saya dan mengikuti perkembangan di sana dengan sedih,” ujarnya. “Tidak ada tanda solusi damai [akan diraih segera] antara pihak pemerintah dengan para demonstran.”
Apa yang sebenarnya mendorong gelombang protes besar-besaran itu? Banyak analis melihat, faktor penentunya bukanlah kondisi ekonomi. Pertumbuhan GDP di negara itu tergolong tinggi, sekitar 6,8% dalam tiga tahun terakhir, jauh lebih tinggi jika dibandingkan pertumbuhan antara 1995 – 2004 yang mencapai 4,2%. Akar gejolaknya lebih pada aspek kultural. Menurut lembaga analisis internasional, Stratfor, sebagaimana dikutip oleh Forbes
“Perlawanan terhadap partai penguasa yang makin meluas bukanlah soal pertarungan antara kaum Islamis dengan sekuler. Makin banyak penduduk Turki melihat, partai penguasa menempuh kebijakan pro-kapitalisme yang agresif yang tidak menggubris baik pertimbangan ekologis maupun nilai-nilai Islami. Sementara kalangan bisnis makin merasa frustasi melihat banyak konsesi yang diberikan PM Erdogan pada sekutu dekatnya.”
Apakah gelombang demonstrasi itu akan benar-benar menjadi “Musim Semi” yang membawa perubahan pemerintahan di Turki, masih harus ditunggu. Yang jelas, kebijakan PM Erdogan yang hanya mementingkan pembangunan mal ketimbang taman kota, sudah memicu gelombang penolakan yang besar.
KPK Geledah Kantor OJK Terkait Kasus CSR BI
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah kantor Otoritas J...