Muslim Brunei Anggap Larangan Perayaan Natal di Negaranya Konyol
KOTA KINABALU, SATUHARAPAN.COM - Tidak ada yang berubah bagi keluarga Chang yang tinggal di ibukota Brunei, Bandar Seri Begawan, pada Natal kali ini. Walaupun larangan merayakan Natal di tempat umum oleh pemerintah kesultanan negara itu telah menjadi buah bibir dunia, Chang dan keluarga akan tetap melanjutkan rutinitas Natal yang sudah bertahun-tahun mereka jalankan: membuka kado di tengah malam, pergi ke gereja, dan kemudian makan siang keluarga besar yang mencakup kalkun-panggang halal, sup labu dan pai apel bikinan nenek.
Meskipun Natal telah dilarang secara terbuka oleh kesultanan, anak-anak masih akan menyanyikan lagu-lagu Natal dengan sepupu mereka, saling berkunjung, menonton film bertema natal, dan orang dewasa menikmati anggur atau kopi.
"Kami masih pergi ke gereja, masih menempatkan pohon Natal di rumah," kata seorang ibu yang hanya ingin dipanggil sebagai Nicky, sebagaimana dikutip oleh themalaymailonline.com.
Menurut dia, Natal di tengah keluarga Kristen di Brunei masih bisa dijalankan. Kalau pun ada larangan, dalam perspektif dia, adalah larangan terhadap komersialisasi Natal secara berlebihan.
Nicky, seorang ibu berusia 32 tahun dan ibu dari dua anak, menanggapi berita pelarangan Natal di Brunei dengan enggan. Apalagi, menurut dia, larangan merayakan Natal di depan umum di negara itu sudah berlangsung bertahun-tahun.
"Setahun yang lalu, bisnis besar dan mal masih memasang pohon dan lampu mewah tapi (sekarang) mereka diberitahu untuk tidak melakukannya. Tahun ini, banyak yang tidak lagi melakukan itu. Tapi Anda masih bisa membeli (pohon Natal) untuk rumah Anda, " kata warga Brunei beragama Kristen itu.
Brunei berpenduduk mayoritas Muslim, dan Kristen hanya sekitar 10 persen dari sekitar 430.000 penduduk.
Kantor berita AFP melaporkan dua hari lalu bahwa para pejabat di kesultanan Asia Tenggara yang kaya minyak itu akan menegakkan larangan dekorasi Natal dan perayaan Natal di depan umum, sejalan dengan penerapan hukum Islam yang ketat. Hal itu telah memicu riak kegelisahan di seluruh wilayah.
Non-Muslim di Malaysia terus mencermati kejadian di Brunei sejak kesultanan mengadopsi hudud seiring dengan pemerintah negara bagian Kelantan yang dipimpin oleh partai PAS menerapkan hukum agama yang sama.
Nicky mengatakan sebagian masyarakat telah menerima keputusan penguasa itu, walaupun dengan tidak rela.
"Ini tidak seburuk yang digambarkan media. Kami tidak senang dengan (larangan) itu tapi pada saat yang sama itu bukan larangan. Kristen masih bisa merayakan secara pribadi, kami hanya beradaptasi," kata dia.
"Kebanyakan orang tidak akan mengeluh atau protes secara terbuka. Tidak ada yang bisa kami lakukan. Kami sudah terbiasa dengan ini," kata seorang insinyur berusia 42 tahun, yang hanya ingin dikenal sebagai Pete.
Pete mengatakan bahwa hubungan antara ras di Brunei berlangsung hangat dan damai tapi dominasi agama pemerintah selalu menggelayut di atas mereka.
"Akhir-akhir ini saya mendengar semakin banyak yang mengeluh, biasanya dilakukan diam-diam melalui saluran online, tapi mereka tahu tidak ada yang dapat diperbuat tentang hal ini sekarang.
"Saya pikir banyak umat Kristen Brunei menemukan cara mereka sendiri merayakan Natal dengan pergi di akhir Tahun berlibur. Banyak yang mampir ke Kota Kinabalu atau Kuala Lumpur," katanya, mengacu pada dua kota terdekat di negara tetangga Malaysia. "Atau ke luar negeri jika mereka mampu."
Di sisi lain, beberapa warga Muslim Brunei telah menyatakan empati terhadap rekan Kristen mereka, dengan mengatakan bahwa larangan itu "konyol" untuk masyarakat multiras seperti Brunei.
Mereka yang disurvei oleh Malay Mail Online mengatakan bahwa pembatasan baru, yang telah melarang umat Muslim menyanyikan lagu-lagu religius, mengirimkan salam Natal atau memakai topi atau pakaian yang "menyerupai Santa Claus," tidak akan mengubah rasa hormat mereka terhadap agama.
Ibrahim, seorang PNS 38 tahun, mengatakan ia memiliki saudara yang merayakan Natal dan meskipun ada larangan, ia masih akan mengunjungi mereka pada hari raya Natal.
"Tentu saja saya akan tetap pergi, dan membawa hadiah untuk keponakan saya. Tidak ada yang berubah. Perubahan hanya terjadi pada dekorasi di mal. Dan tidak ada lagi jingle ketika kita berbelanja.
"Ini sedikit konyol untuk berpikir bahwa lagu-lagu Natal akan mengguncang iman saya. Kami telah terbuka untuk semua agama dan perayaan lainnya selama ini. Saya tidak melihat mengapa hal itu harus berubah sekarang, "katanya.
Untuk Hashima, 26 tahun, dan teman-temannya, mereka akan mengunjungi rumah teman-teman Kristen mereka untuk dalam masa hari raya ini.
"Saya hanya akan mengatakan bahwa beberapa orang paranoid. Sebagian besar teman-teman saya cukup terbuka untuk hal-hal ini jadi hanya karena hukum, itu tidak harus menghentikan kita dari menikmatinya dan membatasi kita untuk bergabung dalam kegembiraan Natal.
"Saya tidak berpikir menemukan teman Muslim yang karena takut pada larangan ini lalu menghentikan mereka dari pergi keluar," katanya.
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...