Naomi Osaka, Juara Tenis yang Hadapi Stereotip Identitas dan Ras
SATUHARAPAN.COM – Bintang tenis Jepang yang tengah naik daun, Naomi Osaka, tiba di Yokohama, Jepang, Kamis (13/9/20108). Osaka kini menjadi pusat perhatian di Jepang setelah mengalahkan legenda tenis AS, Serena Williams di final Amerika Terbuka (US Open), Sabtu (8/9/2018). Petenis berusia 20 tahun tersebut menjadi petenis Jepang pertama yang menjuarai sektor tunggal kejuaraan Grand Slam.
Osaka tiba di Bandara Haneda, Tokyo, sekitar pukul 4 pagi, Kamis lalu. Dalam keterangan pers yang dihadiri banyak media, seperti dilaporkan Televisi NHK, Osaka mengatakan ada banyak orang yang menunggunya di bandara dan ia merasa terkejut sekaligus bahagia.
Ia mengatakan kemenangannya mulai benar-benar terasa dalam hati. Saat ditanya tempat tertentu di Jepang yang ingin ia kunjungi, sambil tersenyum ia menyebutkan Harajuku dan menaiki wahana roller coaster di taman hiburan di dekat Tokyo Dome.
Mengalahkan Idolanya: Serena Williams
Kemenangan Naomi Osaka di ajang Amerika Terbuka memang menjadi buah bibir. Bukan saja keberhasilannya mengalahkan Serena Williams, namun terlebih karena saling klaim warganet Jepang dan Haiti di media sosial atas sosoknya.
BBC melaporkan, banyak yang memuji ketenangan Naomi Osaka, petenis berusia 20 tahun itu, saat tampil di babak final tunggal putri turnamen Grand Slam Amerika Serikat Terbuka melawan Serena Williams. Ketika Williams melampiaskan kemarahan ke wasit, dengan menyebut wasit pencuri dan pembohong, Osaka tetap fokus hingga menjuarai turnamen bergengsi ini.
Gangguan terjadi tak hanya saat pertandingan, tetapi juga ketika digelar penyerahan trofi.
Osaka, yang menempati unggulan ke-20, menurut laporan BBC,menghadapi cercaan penonton, yang memaksanya menurunkan topi untuk menyembunyikan linangan air mata.
“Saya minta maaf karena pertandingan harus berakhir seperti ini,” kata Osaka, masih sambil menangis.
Williams kemudian meminta para penonton tenang dan mengajak pendukung agar menghargai apa yang dicapai Osaka.
Nama Osaka melambung dalam beberapa bulan terakhir setelah untuk pertama kalinya jadi juara di ajang Indian Wells.
Kini, catatan prestasinya makin mengkilap setelah juara di AS Terbuka, mengalahkan idolanya ketika kecil, Serena Williams. Per 10 September 2018, ia naik ke peringkat 7 dari peringkat 20.
Diskriminasi hingga Pelecehan Rasial
Naomi Osaka beribu orang Jepang, sementara ayahnya berasal dari Haiti. Ia lahir di Jepang, namun hampir sepanjang hidupnya tinggal di Amerika. Ia memegang dua kewarganegaraan, Jepang dan Amerika.
Ia meniti karier di dunia tenis profesional dengan tekun, sementara pada saat yang sama menghadapi stereotip tentang identitas dan ras.
Jepang, seperti dituliskan BBC, dikenal punya masalah dengan keberagaman. Survei yang dilakukan Kementerian Kehakiman pada 2016 menunjukkan hampir sepertiga warga asing pernah menerima perkataan yang bersifat menghina.
Sekitar 40 persen warga asing juga mengatakan mengalami diskriminasi ketika menyewa rumah.
Ariana Miyamoto, model berdarah campuran yang memenangkan lomba kecantikan di Jepang pada 2015, contohnya, menjadi korban pelecehan rasial karena dianggap “tak memiliki wajah Jepang yang sebenarnya”. Seperti Naomi Osaka, salah satu orang tua Miyamoto berkulit hitam.
Yang berbeda, sejauh ini Osaka belum menghadapi pelecehan seperti yang pernah dialami Miyamoto. Publik Jepang mendukung Osaka saat ia bertanding di lapangan dan beberapa perusahaan sudah mengontrak Osaka untuk menjadi bintang iklan.
Organisasi tenis Jepang mengatakan Osaka diharapkan menyumbang medali di ajang Olimpiade 2020 di Tokyo.
Meski demikian, beberapa petenis Jepang menganggap Osaka petenis yang “tidak memiliki darah Jepang murni”.
“Saya tak merasa saya orang Amerika. Saya mengerti dan bisa berbicara bahasa Jepang. Saya tumbuh di tengah budaya Jepang dan Haiti,” kata Osaka kepada The New York Times bulan lalu.
Ia menambahkan kalau selama ini tak sering berbicara memakai bahasa Jepang di depan umum, itu karena ia pemalu dan merasa dirinya perfeksionis.
Dianggap Memalukan
Perkawinan orang tua Osaka, Tamaki dan Leonard “San” Francois, sempat tak direstui pihak keluarga Tamaki. Bertemu ketika Leonard menjalani studi di Jepang, Tamaki mengatakan kehadiran Leonard yang berkulit hitam di keluarga Tamaki dianggap sebagai “sesuatu yang memalukan”.
Karena tidak mendapat restu, Tamaki dan Leonard memutuskan pindah ke Osaka. Di kota itulah Naomi lahir, 16 Oktober 1997. Selama lebih dari sepuluh tahun tidak ada kontak antara Tamaki dan keluarga besarnya.
Sekarang, mengutip laporan BBC, hubungan Tamaki dan keluarga besarnya jauh lebih baik dan hangat. Ayah Tamaki pernah bertemu Naomi saat berusia 11 tahun, meskipun saat itu tak setuju dengan pilihan Naomi yang ingin menjadi pemain tenis. Bagi ayah Tamaki, tenis adalah “hobi”, bukan cabang olahraga yang perlu ditekuni.
Setelah Naomi Osaka menjuarai turnamen Indian Wells, ayah Tamaki mengirim ucapan selamat dan hadiah. Ia juga memberikan wawancara kepada media Jepang untuk menunjukkan di dalam diri cucunya “mengalir darah Jepang”.
Keberhasilan Osaka menjadi pemain Jepang pertama yang menjuarai turnamen Grand Slam diyakini akan berdampak sangat positif untuk mendorong masyarakat untuk semakin menghargai keberagaman.
Editor : Sotyati
Laporan Ungkap Hari-hari Terakhir Bashar al Assad sebagai Pr...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Presiden terguling Suriah, Bashar al Assad, berada di Moskow untuk menghad...