Nasib Kaum Minoritas di Timur-Tengah
SATUHARAPAN.COM - Ketidakpastian dan goncangan politik pasca-revolusi di sejumlah dunia Arab telah melahirkan dampak serius bagi masa depan kaum minoritas, khususnya umat Kristiani, Yahudi, Syiah, dan Baha’i. Padahal revolusi memberikan mandat bagi tumbuhnya keadilan dan kesetaraan bagi setiap golongan dan warga negara.
Di Mesir, pasca-jatuhnya rezim Ikhwanul Muslimin, setidaknya 42 gereja diserang. 37 gereja dibakar, dijarah dan mengalami kerusakan yang cukup parah, serta beberapa penganut Kristen Koptik mengalami diskriminasi, bahkan diantara mereka dipaksa membayar upeti dan dibunuh. Menurut Muhammad Abou el Ghar, nasib umat Kristen Koptik di pedalaman Mesir sangat buruk, karena absennya militer dan aparat kepolisian (www.almasryalyoum.com, 16 September 2013).
Mereka yang hidupnya berkecukupan melakukan eksodus ke kota-kota besar, seperti Kairo dan Alexandria. Bahkan, di linimasa, saya menemukan sejumlah penganut Kristen Koptik eksodus ke Eropa dan Amerika Serikat. Tetapi, mereka yang berasal dari kalangan miskin harus menerima nasib buruk dari mereka yang meyakini ideologi kebencian terhadap umat Kristiani. Sementara aparat keamanan tidak memberikan perlindungan yang maksimal terhadap mereka.
Di Suriah, nasib umat Kristiani tidak kalah tragisnya. Sekitar 40 gereja dirusak, ribuan umat dibunuh, dan ratusan ribu mengungsi di beberapa camp pengungsian yang berada di Turki, Mesir, Jordania, dan Lebanon. Nasib mereka lebih buruk dari umat Kristiani di Mesir, karena situasi politik di Suriah tidak memungkinkan mereka untuk mendapatkan perlindungan dan tempat yang aman. Pilihan eksodus ke negara-negara terdekat dengan Suriah adalah pilihan yang paling mungkin untuk sekadar bertahan hidup. Sebagian dari mereka yang bertahan tinggal di Suriah harus tunduk pada otoritas oposisi dari Front Nushra, sayap jaringan al-Qaeda atau berada di bawah perlindungan rezim Bashar al-Assad.
Di Irak, umat Kristiani menjadi korban kebijakan buruk AS yang secara brutal menginvasi dan menjatuhkan rezim Saddam Husein. Ada sekitar 60 gereja yang dirusak sejak jatuhnya rezim Saddam Husein, ribuan umat dibunuh dan sekitar satu juta umat eksodus ke luar negeri. Bahkan, sebagian dari mereka eksodus ke Suriah. Padahal, rezim Saddam dikenal sangat toleran terhadap umat Kristiani dan kelompok minoritas lainnya. Di tengah krisis politik yang akut dan hujan bom bunuh diri di Irak, nasib umat Kristiani semakin tidak menentu.
Eksodus
Maka dari itu, eksodus umat Kristiani di Timur-Tengah merupakan pemandangan yang tidak terelakkan. Revolusi telah berubah menjadi mimpi buruk bagi kaum minoritas. Menurut Reza Aslan dalam The Cristian Exodus, eksistensi umat Kristiani pasca-revolusi sedang memasuki masa-masa tersulit dalam sejarah mereka. Padahal dalam sejarahnya, kekristenan merupakan ajaran yang lahir dan tumbuh di Timur-Tengah, mendahului Islam yang datang setelah beberapa ratus tahun kemudian. Pada perang dunia I, populasi umat Kristiani di Timur-Tengah mencapai 20 persen, tapi sekarang ini jumlah tersebut terus berkurang hingga 4 persen. Jumlah terbesar saat ini berada di Mesir dan Suriah. (www.foreignaffairs.com, 11 September, 2013).
Nasib umat Yahudi Arab tidak lebih baik, karena mereka harus menanggung resiko konflik Israel-Palestina yang hingga saat ini belum menemukan titik-terang. Mereka adalah warga negara yang tersebar di seluruh negara Arab jauh sebelum konflik Israel-Palestina pada tahun 40-an.
Di sejumlah negara Arab, umat Yahudi Arab hidup tanpa hak-hak politik. Umat Yahudi Arab di Israel pun mengalami hal yang tidak kalah tragisnya. Mereka dicurigai oleh rezim Israel karena kerap berpihak kepada Palestina. Umat Yahudi yang mendapatkan hak politik sebagaimana layaknya warga negara, yaitu umat Yahudi di Iran. Mereka mempunyai kursi di parlemen Iran, yang tidak mereka dapatkan di parlemen Israel dan beberapa parlemen negara Arab lainnya.
Begitu pula, penganut Syiah merupakan pihak yang kerap mendapatkan perlakuan diskriminatif. Perbedaan beberapa pemahaman antara Sunni-Syiah bermetamorfosa menjadi konflik yang bersifat politis. Bahkan, di sejumlah dunia Arab muncul fatwa pengafiran (al-takfir) terhadap penganut Syiah, yang menyebabkan hak-hak warga negara mereka tidak terpenuhi. Di Mesir, warga Syiah dibunuh. Di Irak, konflik antara Sunni-Syiah memasuki ranah politik dan berdarah-darah. Begitu halnya, di Suriah muncul kecenderungan konflik politik dialihkan menjadi konflik Sunni-Syiah.
Harapan
Mesir, Suriah, dan Irak merupakan negara-negara Arab yang selama ini menjadi harapan bagi kaum minoritas, karena tiga alasan penting: Pertama, secara politik negara-negara tersebut sebenarnya mempunyai komitmen yang kuat pada platform nasionalisme Arab. Meskipun partai-partai yang beraliran agama tumbuh, tapi diskursus negara yang harus melindungi semua kelompok berkembang dengan pesat. Bahkan, diskursus sekularisasi politik dan nasionalisme menjadi perdebatan publik yang sangat menarik.
Kedua, wacana keislaman yang moderat senantiasa mengemuka menjadi pilar yang memperkuat solidaritas kebangsaan. Di Mesir terdapat Universitas al-Azhar yang menjadi benteng moderasi Islam menjadi penyeimbang atas dominasi Ikhwanul Muslimin dan kaum salafi yang kerap memonopoli paham keagamaan untuk kepentingan ideologi politiknya. Bahkan, al-Azhar bersama Kristen Koptik membentuk organisasi yang mencerminkan kebersamaan, yaitu Rumah Keluarga (bayt al-‘ailah).
Ketiga, pluralisme menjadi salah satu paham yang mendarah-daging di ketiga negara tersebut. Arab pada hakikatnya adalah entitas yang di dalamnya memayungi pluralitas agama, keyakinan, dan kabilah. Salah satu cara untuk menjaga eksistensi negara, maka harus menjaga pluralitas yang ada di dalamnya. Sebab itu, meskipun rezim yang berkuasa di negara-negara tersebut adalah rezim otoriter, tetapi pluralisme senantiasa dijaga sebagai bagian dari khazanah peradaban Arab.
Pasca-revolusi yang ditandai dengan menguatnya Islamisme, yaitu faksi yang mempunyai agenda mendirikan Negara Islam dengan prioritas menegakkan Syariat Islam, nasib kelompok minoritas berada di persimpangan jalan. Mereka kerapkali menghadapi diskriminasi dan persekusi, yang menyebabkan posisi mereka tidak aman. Apalagi dalam sejarahnya, kelompok minoritas senantiasa berseberangan dengan ideologi kaum Islamis sejak awal abad 20.
Krisis politik di Suriah semakin mencemaskan, karena nasib kelompok minoritas semakin tidak menentu. Umat Kristiani berada di bawah otoritas al-Qaeda dan makin menguatnya polarisasi sektarian antara Sunni dan Syiah. Barangkali situasi di Mesir jauh lebih baik, karena pemerintahan sementara mulai mampu mengendalikan keamanan dan memberikan perlindungan terhadap kelompok minoritas, yang didukung sepenuhnya oleh pihak al-Azhar.
Dengan demikian, Mesir menjadi pertaruhan terakhir bagi eksistensi 8 juta penganut Kristen Koptik. Nasib mereka ditentukan sejauhmana konstitusi yang sedang dirancang Dewan Konstituante mampu menjamin hak-hak kewarganegaraan. Langkah ini penting agar mereka yang mempunyai ideologi kebencian terhadap kelompok minoritas tidak bisa memancing di air keruh, apalagi dengan mengatasnamakan revolusi.
Penulis adalah Analis Pemikiran dan Politik Timur-Tengah di The Middle East Institute
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...