“Natal Bukan Sesuatu yang Turun dari Langit”
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Staf pengajar di Sekolah Tinggi Teologi (STT) Jakarta, Martin Lukito Sinaga, mengatakan Natal sesungguhnya bisa dirayakan oleh semua orang, melampaui ruang Kristiani. Karena, Natal bukanlah sesuatu yang turun dari langit lantas manusia menuruti begitu saja untuk merayakannya. Dalam Natal, yang hendak ditetapkan ialah ada yang bisa lahir di tengah rutinnya kematian.
”Natal bukanlah sesuatu yang turun dari langit lantas kita manut dan rutin merayakannya. Natal adalah kemungkinan rohani yang manusia ajukan di tengah berbagai ketidakmungkinan,” kata Martin dalam diskusi film ‘Joyeux Noel’ di Pisa Cafe, Jalan Mahakam, Jakarta Selatan, hari Jumat (11/12) malam.
”Dalam Natal, yang hendak ditetapkan ialah bahwa ada yang bisa lahir di tengah rutinnya kematian,” dia menambahkan.
Dia pun mengangkat beberapa kisah dari film ‘Joyeux Noel’–disutradarai oleh Christian Carlon–yang mengisahkan peristiwa pada Perang Dunia I, dimana terdapat tiga pasukan (Prancis, Jerman, dan Inggris) berada di garis kematian saling mengincar nyawa lawannya. Tetapi mereka dikejutkan dengan suara tenor seorang pria menyayikan lagu ‘Malam Kudus’, bahkan suara itu menghentikan keinginan para serdadu untuk menembak.
Menurut Martin, hal tersebut menunjukkan kemungkinan terwujudnya kemungkinan lain di malam Natal, yakni perdamaian bersama musuh. “Kesenyapan Natal telah membuka ruang untuk merenung, menangis, meratap, tapi juga untuk bertindak lain,” kata dia.
Buka Ruang Kemungkinan
Lebih lanjut, Martin mengatakan ada catatan menarik tentang Natal dalam khazanah rohani kekristenan, sebab Natal bukan festival yang utama dalam agama Kristiani dan model perayaannya pun diambil dari adat istiadat kuno Romawi, diperkaya dengan berbagai ornamen.
Menurut dia, Kekristenan secara mendasar lahir dan bertolak dari suatu peristiwa testimoni, yakni Yesus yang disalibkan karena tuduhan makar oleh penjajahan Romawi, namun ternyata di mata para muridnya dibangkitkan oleh Allah.
“Atas pokok iman ini, maka penerjemahannya ke dalam irama hidup manusia yang menjadikan Natal sedemikian besar dirayakan. Artinya, iman akan kebangkitan tadi hendak dihubungkan dengan siklus hidup manusia, sehingga perayaan lokal ikut mewarnai Natal itu sendiri,” kata Martin.
Dia pun berkesimpulan, Natal adalah pesta yang hendak mengikutsertakan serba festival yang ada di tengah kehidupan masyarakat yang sedang mencari jalan menemukan tunas kehidupan. Makanya, berbagai simbol biologis yang menandakan siklus hidup manusia menyerta pesta natal, seperti bayi yang rapuh, pohon yang hijau, dan domba-domba.
“Ini semua hendak membuka ruang kemungkinan bagi manusia akan jalan kehidupan dan kecambah yang masih terbuka,” tutur Martin.
Editor : Eben E. Siadari
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...