Neo-Populisme Agraria
SATUHARAPAN.COM - Perdebatan agraria secara ilmiah berlangsung sejak 1920 hingga 1929. Perdebatan ini terjadi di Rusia, antara kelompok Agrarian Marxist School (AMS) dengan kelompok Chayanov (Organization and Production School/OPS)”.
Kelompok Marxist memandang masyarakat desa sebagai sisa-sisa formasi sosial masa lalu (masyarakat pra-kapitalis) sehingga untuk memodernisasi desa perlu dilakukan integrasi horizontal, artinya melakukan penyatuan lahan pertanian milik petani di bawah kontrol negara (sosialisme negara). Sedangkan pandangan Chayanov, desa merupakan struktur sosial dengan sistem ekonomi yang sangat khas dan kekhasan tersebut terletak di “usahatani keluarga”. Untuk memodernisasi desa maka perlu dilakukan integrasi vertikal, artinya negara beserta perangkatnya seperti, militer, birokrasi, hukum dan kebijakannya melindungi usahatani keluarga melalui koperasi. Pada prosesnya, 1960/1970 ilmuan sosial memberikan lebel pemikiran Chayanov sebagai “Neo-Populis” walau Chayanov tidak pernah mengatakan dirinya sebagai seorang populis. Bagaimana perkembangan agraria di Indonesia?
Pemikiran Chayanov masuk ke Indonesia dibawa oleh ilmuan Belanda pada 1926. Sedangkan pemikiran Marxis mulai masuk ketika Sneevliet datang ke Indonesia tahun 1913. Namun pemikiran yang dibawa Sneevlit masih bersifat ideologis tentang komunisme dan hampir tidak ada tulisan mengenai agraria.
Pada saat Indonesia merdeka, khususnya pada 1950an mahasiswa dan dosen-dosen pertanian sudah mengenal karya-karya Chayanov. Bahkan dalam penyusunan Undang Undang Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA 1960), pakar-pakar akademiknya sangat dipengaruhi oleh pemikiran Chayanov. Di dalam UUPA 1960, sejatinya melindungi usahatani keluarga dan menjamin tanah untuk petani (landreform).
Hanya saja dalam implementasinya, landreform di Indonesia berbeda dengan neo-populis karena tidak merata. Semua disesuaikan dengan kepadatan penduduk dan jenis tanah (kering atau sawah) serta batas minimum yakni, 2 ha dan maksimal 7,5 ha untuk tanah kering. Secara kebijakan politik, program ini akan dijalankan secara serentak pada 1965, ketika semua perangkat hukum telah selesai. Namun sayang terjadi kudeta terhadap Soekarno yang kemudian digantikan oleh Soeharto. Di masa pemerintahannya, Soeharto menabukan landreform dan mempolitisir bahwa program tersebut adalah agenda komunis. Alhasil, landreform menghilang bersama dengan PKI berserta pendukung Soekarno lainnya.
Agraria ORBA
Agenda agraria di masa Orde Baru lebih berorientasi pada pengelolaan lahan luas dengan mengandalkan kekuatan modal bukan usahatani keluarga. Sistem ini lebih cenderung disebut sebagai pendekatan kapitalistik. Dalam pembagian tanah, pendekatan kapitalistik juga melakukan integrasi horizontal terhadap lahan-lahan pertanian. Namun negara mengakui kepemilikan tunggal atas tanah dengan skala luas sehingga menyebabkan ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah.
Ciri lain dari sifat agraria Orde Baru adalah jenis pertanian yang homogen dengan teknologi kimiawi. Sistem tanaman homogen dan kimiawi ini didorong melalui program “Revolusi Hijau”. Dikatakan sebagai Revolusi Hijau karena terjadi difusi dengan skala yang sangat besar dan cepat. Pada tahun 1976 ada 24 juta hektar tanah di Asia yang dijadikan sebagai sawah untuk ditanami Padi Unggul Baru (PUB).
Revolusi Hijau mengalami kegagalan total walau berhasil menjadikan Indonesia sebagai negara swasembada pangan. Faktor utama yang menyebabkan program ini gagal adalah struktur kepemilikan tanah tidak dirubah dan tidak adanya pasar yang sehat mengingat meledaknya jumlah produksi padi. Untuk yang pertama, petani yang tidak bertanah atau bertanah sempit dipaksa menanam padi dengan cara bertanam kimiawi sehingga secara perlahan skill bertani mereka hilang (kemampuan bertahan hidup di tanah sempit). Selain itu, petani Indonesia ketergantungan terhadap bibit dan pupuk kimia yang disediakan pemerintah.
Untuk penyebab yang kedua, jumlah produksi padi yang meningkat tidak dibarengi oleh pasar yang sehat sehingga harga gabah padi menjadi murah, akhirnya biaya produksi tidak sebanding dengan harga jual. Daya beli petani menjadi menurun sehingga mereka harus mencari pinjaman untuk kebutuhan sehari-hari dan modal bertanam berikut. Pada masa ini kelompok yang diuntungkan adalah tengkulak dengan sistem “patron-klien”.
Namun setelah masa Orde Baru berakhir program revolusi hijau juga berakhir dan digantikan menjadi revolusi perkebunan sawit. Sejak awal 2000 hingga sekarang lahan sawit sudah dibuka lebih dari 13 juta hektar. Dalam perkembangannya sawit menghasilkan tiga masalah besar, yaitu ketimpangan penguasaan dan pemilikan lahan, land grabbing dan kerusakan lingkungan.
Darurat Agraria
Telaah masalah agraria di Indonesia pertama kali dilakukan oleh Ahmad Tauchid dalam bukunya “Masalah Agraria”. Beliau menuliskan berbagai macam masalah agraria Indonesia dari zaman Kolonial Belanda hingga disusunnya UUPA 1960.
Harapan mulai muncul terhadap perombakan struktur agraria ketika UUPA 1960 disahkan untuk menggantikan UU Agraria Kolonial Belanda. Undang Undang ini tidak berdiri sendiri namun dia lahir dari UUD 45, khususnya pada pasal 33 ayat 3. Kata kuncinya terletak pada “mengusai dan adil makmur”. Artinya negara mengatur penguasaan, pemilikan dan pemanfaatan kekayaan alam, khususnya tanah, sesuai dengan UUPA 1960. Undang Undang Pokok Agraria yang dipengaruhi oleh Chayanovian (neo-pupulisme) bertentangan dengan konsep “efesiensi tanah” yang diusung oleh kelompok kapitalisme dan sosialisme.
Dalam logikanya kapitalisme dan sosialisme beranggapan bahwa satuan usahatani dalam skala luas dianggap lebih memberikan keuntungan daripada satuan usahatani kecil (keluarga). Dasar perbedaan pemikiran ini adalah terletak pada pandangan ekonomi politik dalam mengelola tanah. Sosialis dan kapitalisme beranggapan jika tanah dikelola secara luas dan homogen sesuai kebutuhan pasar akan memberikan keuntungan yang berlipat ganda. Pola kapitalis dan sosialis sama-sama ditentukan permintaan pasar namun dalam pembagian keuntungan berbeda, kelompok kapitalis keuntungan dinikmati pemodal, kelompok sosialis keuntungan dibagi oleh negara.
Sedangkan usahatani keluarga bersifat subsisten karena membangun dan menjaga keseimbangan kehidupan para penggarap tanah. Dalam Chayanovian, tanah yang dikelola bisa diwujudkan dengan tanaman jenis kebutuhan pokok manusia dan tanaman kebutuhan Industri. Surplus produksi pertanian yang berasal dari akumulasi produksi pertanian keluarga disimpan dalam bentuk koperasi untuk didistribusikan ke wilayah yang defisit produksi pertanian.
Dari uraian di atas maka timbul pertanyaan, masih relevankah UUPA 1960 saat ini? Masih mungkinkah Indonesia menciptakan masyarakat tani yang harmonis di tengah gempuran pemodal? Melihat meningkatnya konflik agraria dan pembangunan pertanian skala luas yang merusak lingkungan, menandakan bahwa masalah agraria harus menjadi prioritas utama pemerintah.
Pada 1978, MPR kala itu sebagai lembaga tertinggi negara, mengeluarkan TAP MPR No.IV/1978 untuk menjernihkan UUPA 1960 bukan produk PKI. Hal ini didasari oleh munculnya konflik agraria di Jawa dan Sumatera pada 1974-1978. Kondisi ini memaksa Presiden Soeharto membentuk panitia kecil untuk meninjau ulang permasalahan tanah di Indonesia. Hasil dari panitia kecil yang dipimpin oleh Prof.Soemitro Djojohadikoesomo adalah UUPA 1960 tetap sah sebagai panduan dasar dalam menyelesaikan persoalan tanah di Indonesia.
Semenjak Indonesia mengutamakan investasi sebagai kekuatan dalam membangun ekonomi, maka disaat itu desa mulai diganggu keharmonisannya. Seluruh investasi yang menyerbu berbagai sektor, seperti tambang, kebun dan laut hanya menjadikan masyarakat desa sebagai “objek peratap” yang haknya dirampas.
Neo-populisme mencegah terjadinya poletarisasi masyarakat desa. Pengakuan terhadap penguasaan dan pemilikan tanah menjadikan masyarakat desa produktif sehingga tidak menjadi buruh perkebunan maupun terlempar menjadi buruh pabrik akibat pembangunan. Neo-populisme yang berbasiskan usahatani keluarga menjaga kerharmonisan dan keseimbangan, khususnya masyarakat desa yang menggarap tanah.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik pada 2013, jumlah petani Indonesia menurun dari 31 juta menjadi 26 juta. Ini menandakan bahwa tanah sebagai sarana produksi sudah tidak produktif lagi sehingga lima juta petani mengkonversi mata pencahariannya ke non-pertanian. Di samping itu, konflik agraria juga ikut meningkat yang menelan korban jiwa dan memberikan trauma kepada perempuan dan anak-anak ketika mempertahankan haknya atas tanah.
Saat ini pemerintah dihadapkan pada kenyataan pahit yang merupakan warisan dari rezim-rezim sebelumnya. Untuk itu perlu kiranya presiden melakukan kajian untuk melahirkan konsep baru dalam menjalankan reforma agraria sesuai dengan kondisi saat ini. Pilihan hukumnya bisa dimulai dari TAP MPR No.IX/2001 tentang Pembaruan Agraria. Dalam TAP MPR IX pasal 6 sudah mengamanatkan agar DPR dan Presiden menjalankan pembaruan agraria dengan mencabut dan mengganti semua instrumen hukum dan peraturan yang bertentangan dengan pembaruan agraria.
Tentu belum terlambat bagi Presiden Joko Widodo untuk melaksanakan reformasi agraria sejati. Langkah pertama yang dilakukan adalah menyelesaikan tumpang tindih hukum dan peraturan agraria. Kedua melakukan pendataan yang lengkap mengenai kondisi agraria, khususnya desa. Ketiga menetapkan objek agraria yang akan ditata ulang dan subjek penerimanya. Terakhir Presiden menyiapkan program pendukung, seperti modal, teknologi pertanian dan teknologi pengelolaan hasil pertanian, pasar produksi yang sehat serta infrastruktur. Memang pada implementasi reforma agraria ala neo-populisme membutuhkan kesabaran karena Indonesia sudah terlanjur bergantung kepada modal.
Satu tahun Presiden Jokowi belum melakukan langkah yang signifikan untuk menyelesaikan masalah agraria dan belum menetapkan posisi UUPA 1960 dalam pembaruan agraria. Pada tahun kedua ini kita berharap Presiden mulai memprioritaskan reforma agraria.
Penulis adalah Dewan Pengurus Pusat Persatuan Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (DPP PA GMNI), Anggota Kompartemen Agraria.
Joe Biden Angkat Isu Sandera AS di Gaza Selama Pertemuan Den...
WASHIGTON DC, SATUHARAPAN.COM-Presiden Amerika Serikat, Joe Biden, mengangkat isu sandera Amerika ya...