Ngayogjazz 2016, Sebuah Pesan dari Desa untuk Indonesia
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Ngreksa Bumi Satata Mukti, tulisan hitam pada sebuah papan putih berjarak beberapa puluh meter dari gapura pedukuhan menyambut tamu yang memasuki kawasan sentra genteng tradisional Kwagon, Desa Sidorejo yang kurang lebih memiliki arti merawat bumi serta menjaganya untuk kesejahteraan. Sebagaimana desa-desa di Kabupaten Sleman, sebagian besar mata pencaharian masyarakat Desa Sidorejo adalah bertani yang memanfaatkan jaringan irigasi teknis di sekitar desanya.
Industri tradisional genteng tanah di tengah-tengah pertanian seolah menjadi paradoks bagi keduanya. Tanah menjadi tempat untuk bercocok tanam, di sisi lain industri genteng memerlukan pasokan tanah liat sebagai bahan bakunya. Dalam realitasnya, apakah keduanya saling mematikan? Tidak. Hingga saat ini bahan baku genteng tanah dipasok dari tanah liat sekitar diambil dari lahan marjinal, sementara lahan pertanian di pedukuhan Kwagon sejauh ini masih cukup terjaga luasannya. Setidaknya masyakat masih menanam padi dua kali setahun serta sekali ditanami palawija.
Pada hari Sabtu (19/11), pedukuhan Kwagon menjadi tempat perhelatan Ngayogjazz 2016. Pedukuhan Kwagon Desa Sidorejo, Godean-Sleman berjarak 14 km dari Titik Nol Yogyakarta. Di sela-sela aktivitasnya bertani, membuat genteng-batu bata, dan aktivitas lainnya, warga bergerak bersama panitia Ngayogjazz 2016 mempersiapkan segala hal berkaitan dengan acara. Lokasi panggung, area parkir, akomodasi pengunjung, pernik-pernik hiasan, hingga kepanitian yang melibatkan masyarakat setempat, semuanya dipersiapkan secara bersama dengan mengangkat potensi lokal sebagai warna lain dari Ngayogjazz 2016.
Dalam pola kerja demikian, Ngayogjazz 2016 sebagaimana penyelenggaraan-penyelenggaraan Ngayogjazz sebelumnya adalah kerja bersama dalam sebuah irama. Selalu ada hal menarik dengan keterlibatan masyarakat dalam penyelenggaraan Ngayogjazz dimana masyarakat tidak semata-mata menjadi tuan rumah yang hanya menonton, namun sekaligus tuan rumah yang menyambut tamunya dengan sajian a'la desa: masakan setempat yang beragam, akomodasi, dan tentu saja keramahan. Dalam hal ini seniman Komunitas Lima Gunung Tanto Mendut memberikan gambaran masyarakat desa yang senang suguh, lungguh, senang menawarkan sajian dan tempat singgah/duduk ketika kedatangan tamu.
Ngayogjazz 2016 dikunjungi tidak kurang 40 ribuan pengunjung yang datang berangsur-angsur sejak selepas tengah hari. Dalam hitungan sederhana kehadiran pengunjung dengan jumlah besar dalam waktu yang relatif bersamaan pada sebuah pedukuhan bisa memunculkan banyak hal mulai dari perputaran ekonomi lokal yang relatif singkat dan cepat, penyediaan akomodasi, sampah, hingga potensi crowded di berbagai titik. Komunikasi, koordinasi, serta kerjasama antara masyarakat setempat-panitia-pengunjung menjadi kunci keberhasilan. Sejauh ini, hingga perjalanannya yang kesepuluh kalinya, Ngayogjazz selalu memberikan oleh-oleh bagi pengunjungnya: kegembiraan serta kehangatan sambutan masyarakat desa.
Dalam hitungan sederhana, 40 ribu pengunjung yang membelanjakan untuk konsumsi minimal Rp. 10.000,00 telah memutarkan uang mininal 400 juta rupiah. Belum lagi dari pengelolaan parkir pengunjung, penyediaan kamar mandi. Bisa dibayangkan, jika perputaran uang tersebut terserap oleh masyarakat setempat akan menjadi modal usaha yang cukup signifikan bagi pengembangan usahanya. Dalam setiap penyelenggaraan Ngayogjazz, usaha masyarakat setempat dalam menyediakan konsumsi dan akomodasi selalu mendapat tempat.
Suasana yang hangat dalam komunikasi multi-arah tersaji pada semua panggung. Panggung yang tidak berjarak di setiap stage tidak menjadikan panggung Kodok, panggung Kripik, panggung Morando, panggung Krepus, panggung Garuda, panggung Wuwung, dan panggung Paris sebagai wilayah yang eksklusif bagi pementas (talents). Tanpa barikade, tidak menjadikan para penonton dalam jumlah ribuan berkeinginan untuk naik menghampiri bintang pujaannya. Yang terjadi justru berbagi saling berbagi tempat antara sesama pengunjung. Berbagi kegembiraan dalam merayakan kebersamaan.
Tidak berlebihan ketika Fariz RM, Tohpati, Harvey Malaihollo, Bonita, , Harvey Malaihollo, Nikita Dompas, Mian Tiara, Ricad Hutapea, Renata Tobing, menjadikan ruang pembakaran dan pengolahan tanah untuk genteng-batu bata sebagai backstage yang nyaman serta tidak berjarak dengan penonton.
Fenomena perhelatan festival jazz di desa, Tanto Mendut menggarisbawahi bahwa tidak penting masyarakat tahu apa itu musik jazz, lebih penting adalah perjumpaan itu sendiri dan berbagi cerita kegembiraan. Ngayogjazz dengan desa sebagai tempat perhelatan merupakan gambaran bagaimana desa adalah sebuah entitas masyarakat paling jazzy dan multikultur. Dan Indonesia dengan lebih dari 73.000 desa, menyaksikan Ngayogjazz adalah menyaksikan keindonesiaan dari sebuah desa yang selalu menawarkan sapaan, kehangatan, persaudaraan, dan kegembiraan.
Masih terdengar lamat-lamat suara Kua Etnika ketika menutup penampilan Ngayogjazz 2015 setahun yang lalu saat mengajak seluruh penonton bersama-sama menyanyikan lagu Indonesia Pusaka karya Ismail Marzuki, dengan satu harapan: Indonesia bisa menjadi tempat yang aman untuk berlindung bagi seluruh warga(negara)nya yang beragam.
"...Di sana tempat lahir beta/Dibuai, dibesarkan bunda/Tempat berlindung di hari tua/ Tempat akhir menutup mata..."
Editor : Sabar Subekti
Gereja-gereja di Ukraina: Perdamaian Dapat Dibangun Hanya At...
WARSAWA, SATUHARAPAN.COM-Pada Konsultasi Eropa tentang perdamaian yang adil di Warsawa, para ahli da...