Ngejazz: Ketika Bonita and the Hus Band Kangen Rumah.
BOGOR, SATUHARAPAN.COM - Rumah Kopi Ranin menjadi persinggahan keenam Bonita and the Hus Band (BNTHB) dalam tour #BelongToEachOther, hari Rabu (8/9). Tempat ngopi berkonsep rumahan yang berada di Jalan Kresna Raya 46, Bantarjati, Kota Bogor dipilih mengingat konsep yang ditawarkan memiliki kemiripan dengan tema album terbaru yang diluncurkan BNTHB: Rumah.
Perform diawali pada pukul 19.00 WIB dengan dengan lagu Bromo yang bercerita tentang suasana alam pegunungan. Eksplorasi suara khas vokalis Bonita diiringi dengan permainan akustik gitar dan tiupan saxofon dengan sesekali timpaan bunyi jimbe dengan mudah membawa pengunjung pada suasana pegunungan: Bromo. Pada beberapa kali penampilan BNTHB saat membawakan lagu Bromo, kesederhaan musik cukup kuat terasa. Dalam suasana berbeda pun tidak mengurangi suasana bahwa lagu yang sedang dibawakan berkisah tentang kesederhanaan dalam menikmati alam sekitar.
BNTHB melanjutkan dengan lagu Lord guide me, sebuah gambaran universal dari kemanusiaan itu sendiri dalam hubungannya antar sesama. Semangat lagu itu tercermin dari personil BNTHB yang berbeda keyakinan, namun memiliki napas yang sama dalam menyampaikan pesan-pesan kemanusiaan. Lagu Rumah dan Rumah teman kami menjadi persembahan BNTHB pada Rumah Kopi Ranin dengan suasana rumahan dalam menyajikan konser tour #BelongToEachOther.
Selain lagu-lagu di album kedua, BNTHB membawakan juga lagu dari album Small miracle. Dalam lagu "Satu Hari Sebelum Esok" yang dinyanyikan dalam empat bahasa: Indonesia, Nias, Batak Toba, dan Jawa menjadi representasi dari asal keempat personil BNTHB selain menjadi eksplorasi dari kekuatan masing-masing personil seolah menjadi katarsis sebuah karya lagu yang melintasi unsur etnik-religi-keyakinan dalam sebuah irama yang padu. Indonesia menjadi indah ketika beragam warna menghiasi kehidupan masyarakatnya.
"Ini diluar dugaan kami. Bukan weekend tapi pengunjung cukup banyak dan apresiatif," kata gitaris BNTHB Petrus Briyanto Adi melihat pengunjung yang memenuhi Ranin-Bogor. BNTHB berencana mengakhiri tour #BelongToEachOther chapter#1 di tempat kelahiran pemain perkusinya Bharata Eli Gulo: Nias.
Perform yang dikemas secara sederhana dengan tempat duduk dari kayu panjang (dhingklik) membuat antar penonton maupun dengan BNTHB tidak berjarak ditutup dengan lagu Juwita Malam dalam permainan khas BNTHB sebelum melanjutkan tour ke Kota Bandung, Sabtu (11/3). Dan hujan yang turun selama pementasan tidak mengurangi antusias penonton.
Ngejazz di Kota Hujan
Sebagaimana kota-kota lainnya di Indonesia, jejak perkembangan musik jazz di kota Bogor setidaknya bisa dilihat dari berbagai gelaran jazz di kota ini. Pertengahan tahun 1990-an bersama violis Luluk Purwanto, musisi jazz asal Belanda Rene van Helsdingen & Trio pernah melakukan tour dengan tajuk The Stage Bus singgah di kampus IPB Dramaga melengkapi tur keliling Indonesia. Kedua musisi kembali menggelar tour dengan bus (stage bus jazz tour) bertema Mahabharata pada tahun 2006 dan lagi-lagi Kampus IPB dan Bogor menjadi salah satu kota yang disinggahi.
Bogor Jazz Reunion ataupun Bogor Jazz Festival yang selalu memanfaatkan keasrian alam Bogor menjadi salah satu acara yang ditunggu penikmat musik jazz meskipun dengan tata panggung sederhana. Tercatat pada tahun 2014, saat digelar Bogor Jazz Festival sebanyak 34 musisi Jazz dari 8 negara turut meramaikan.
Dalam lingkup yang lebih kecil, Fakultas Kehutanan IPB dalam dua kali acara pulang kampus para alumninya menghelat Dramaga Jungle Jazz pada tahun 2013 dan tahun 2015 dengan menghadirkan musisi Rieka Roeslan, Mus Mujiyono, Iwan Wiradz, maupun Idang Rasjidi Syndicate.
Yang mungkin agak ketinggalan dari kota lainnya adalah komunitas jazz di Kota Hujan. Di beberapa kota komunitas jazz sudah lama tumbuh dengan acara reguler yang dibuat dalam komunitas yang cair mewadahi minat generasi mudanya dalam musik jazz. Jazz Soringin sering membuat acara jamming bagi penikmat jazz di Semarang. Begitupun dengan Jazzthilan yang dihelat secara reguler oleh komunitas jazz di Ponorogo.
Di Balikpapan dan Pekanbaru komunitas jazz berkembang dalam satu dasawarsa terakhir, Gubug Jazz dan Sunday Jazz menjadi langganan tetap yang tampil di Ngayogjazz setiap tahunnya. Komunitas Sunday jazz sendiri yang tahun ini memasuki tahun kelimanya sering membuat gelaran jazz di Balikpapan. Solo Jazz society menjadi penggerak berkembangnya komunitas jazz di Solo dan sekitarnya. Di Pekalongan dan Purwokerto pun komunitas jazz berkembang cukup pesat. Melihat perkembangan tersebut, tahun 2016 Rene van Helsdingen sempat memberikan workshop di Museum Batik Pekalongan untuk komunitas jazz di kota tersebut.
Yogyakarta yang terkenal dengan komunitas musik yang cair, hingga saat ini Jazz Mben Senen telah menggelar lebih 300 episode acara jamming bagi komunitas jazz setiap Senin malam di pelataran Bentara Budaya Yogyakarta tanpa putus, sementara acara jamming Etawa Jazz di depan Pyramid jl. Parangtritis-Bantul setiap Rabu malam sudah berjalan dua tahun terakhir.
BNTHB yang kental dengan genre musik pop progressive dengan dibumbui nuansa etnik pun kental dengan nuansa jazz. Dan dengan membawa album Rumah ke Rumah Kopi Ranin, BNTHB seolah hendak membangunkan suasana kota Bogor yang sesungguhnya memiliki banyak "ruang publik" yang hommy dan jazzy ketika budaya menjaga lingkungan, terjaganya ruang terbuka hijau, kemacetan, dan praktik-praktik intoleransi tidak menghantui kotanya.
Hujan selalu menjadi warna lain setiap penyelenggaraan Ngayogjazz. Ngejazz di Kota Hujan dalam suasana rintik hujan? Di Rumah Kopi Ranin, BNTHB telah menyajikan salah satu perform terbaiknya.
Tiga Bahasa Daerah Maluku Telah Punah
AMBON, SATUHARAPAN.COM - Kantor Bahasa Provinsi Maluku menyatakan bahwa tiga dari 70 bahasa daerah y...