Loading...
Penulis: Moh. Jauhar al-Hakimi 15:27 WIB | Sabtu, 15 Agustus 2015

Niroke-Niteni-Nambahi

sebuah tafsir atas ajaran Ki Hadjar Dewantara dalam panggung kesenian
Niroke-Niteni-Nambahi
Tata panggung pementasan Repertoar Cipta Rasa Karsa oleh Lumbung Artema di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta ,Jumat (14/8). (Foto-foto: Moh. Jauhar al-Hakimi)
Niroke-Niteni-Nambahi
Repertoar Keep Moving karya Herdian Dwi Saputra
Niroke-Niteni-Nambahi
Dua orang pengarang repertoar, Amanata Siti Sapnarani (The Wheel of Fortune) dan Herdian Dwi Saputra (Keep Moving, Menyesal, Tepo Sliro)
Niroke-Niteni-Nambahi
Repertoar Menyesal karya Herdian Dwi Saputra
Niroke-Niteni-Nambahi
Koreografi repertoar Menyesal oleh mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta.
Niroke-Niteni-Nambahi
Koreografi repertoar Menyesal.
Niroke-Niteni-Nambahi
Koreografi repertoar Menyesal.
Niroke-Niteni-Nambahi
Repertoar Pasundan karya Herdian Dwi Saputra dengan eksplorasi pada gamelan dan seruling.
Niroke-Niteni-Nambahi
Repertoar Wake up karya Pranasmara dengan eksperimen instrumen saxophone.

YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM - "Sekarang selalu menjadi masa lalu walaupun hanya satu detik setelahnya” (Keep moving)

Sepenggal kalimat mengawali pementasan Lumbung Artema dalam repertoar Cipta Rasa Karsa di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta, Jumat (14/8) malam. Repertoar pertama dengan judul Keep Moving  karya Herdian Dwi Saputra menjadi pembuka kesepuluh repertoar yang dimainkan pada malam itu. Kesepuluh repertoar tersebut merupakan lagu baru yang dipersiapkan untuk pementasan tersebut.

Sepuluh repertoar itu adalah: Keep Moving, The Wheel of Fortune, Menyesal, Labirin, Bali Deso Bangun Deso, Untitled, Pasundan, Tepo Sliro, Songkran, dan Wake up.

Menarik mencermati tiga repertoar dalam bahasa Inggris, seolah menyiratkan keinginan Lumbung Artema untuk memperkenalkan gamelan kontemporer berikut aransemen yang disusunnya kepada dunia internasional. Dalam repertoar Menyesal, koreografi dari dua orang penari mampu menghidupkan panggung meskipun dalam tata panggung-pencahayaan yang sederhana. Eksperimen dengan memasukkan unsur saxophone pada repertoar Menyesal dan Wake up, juga cukup menarik perhatian penonton.

Lumbung Artema adalah komunitas kesenian anak muda yang lahir di lingkungan Pendopo Agung Tamansiswa Kota Yogyakarta pada tanggal 5 Januari 2010, yang memainkan aransemen lagu ciptaannya sendiri dengan menggabungkan antara instrumen gamelan dengan alat musik modern atau lebih dikenal dengan gamelan kontemporer. Memadukan dua instrumen yang berbeda memerlukan kekompakan dalam bauran nada saat penggarapannya, mengingat gamelan sendiri bernada pentatonis sementara alat musik modern bernada diatonis.

Disini kelebihan Lumbung Artema bisa dilihat: menggabungkan berbagai ide dalam sebuah pementasan tanpa meninggalkan filosofi yang ingin disampaikan. Dan itu semua dilakukan dengan gembira. Dalam perkemban­gan sekarang ini anggota Lumbung Artema tidak hanya dari alumni Tamansiswa namun juga berasal dari anak-anak muda pelajar maupun mahasiswa yang kuliah di Yogyakarta.

Ajaran-ajaran Ki Hadjar Dewantara menjadi pijakan awal Lumbung Artema dalam berkesenian melalui seni pertunjukan baik teater ataupun pementasan musik. Salah satu dari seki­an banyak ajaran KI Hajar Dewantara adalah Ni­teni (memperhatikan), Niroke (menirukan), Nam­bahi (Mengembangkan) menjadi salah satu penanda dalam berkarya baik teater dan musik.

Beberapa karya Lumbung Artema yang telah dipentaskan diantaranya dalam bentuk teatrikal Kembali ke Asal (kolaborasi komunitas seni pelajar dan mahasiswa Yogyakarta), Abdi Dalem, Mangsa. Pada tahun 2013 bersama dengan Sanggar Sangkala Univ. Negeri Yogyakarta mementaskan kembali Opera Kembali ke Asal dengan menggabungkan naskah Semar Gugat (karya N. Riantiarno) di Concert Hall TBY.

Dalam pementasan repertoar Cipta Rasa Karsa, Lumbung Artema menyuguhkan hal baru kepada penikmat musik tradisi ataupun musik barat ketika mengalami kejenuhan dengan musik yang biasan­ya mereka nikmati dalam pagelaran-pagelaran lain. Cipta, Rasa dan Karsa sendiri berperan penting dalam proses kali ini, ajaran tersebut secara tidak langsung menjadi semangat Lumbung Ar­tema dalam berkarya.

Melalui pementasan tersebut diharapkan bisa men­imbulkan ketertarikan kepada kaum muda lainnya untuk terus melestarikan kebudayaan. Tidak hanya menjadi penikmat semata kaum muda juga dapat menunjukan eksistensinya dalam mencintai ke­budayaan tentu dengan caranya masing-masing.

Ada hal menarik dalam pementasan repertoar Cipta Rasa Karsa dimana Lumbung Artema membiayai sendiri sebagian besar pengeluaran selama persiapan hingga pementasan. Adanya fasilitasi tempat pementasan dari instansi terkait dalam hal ini Dinas Kebudayaan DIY melalui UPT Taman Budaya Yogyakarta cukup membantu suksesnya penyelenggaraan.

Di sela-sela persiapan pementasan, R. Windhy Y Dhitama, salah satu pembina Lumbung Artema mengatakan, "Dengan keterbatasan dana yang ada, kami akan terus berkarya. Sekiranya masyarakat berkenan memberikan apresiasi dalam bentuk donasi, tentunya kami terima dan kami sangat  berterima kasih. Namun apresiasi terbesar adalah ketika masyarakat berkenan hadir menyaksikan kami berkesenian, menampilkan karya terbaik. Bagi kami, inilah apresiasi yang tidak ternilai bagi pengembangan Lumbung Artema di masa datang, terlebih bagi ajaran Ki Hadjar Dewantara melalui kesenian."

Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani, nilai-nilai luhur yang diajarkan oleh Ki Hadjar Dewantara hingga saat ini telah menjadi ruh bagi pengembangan pendidikan di Indonesia melalui cipta, rasa, dan karsa yang menuntut peran aktif dari seluruh lapisan masyarakat didalam berbagai aspek kehidupan. Tidak terkecuali dalam berkesenian dan berkebudayaan.

 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home